Setiap tanggal 29 Mei, Organisasi Masyarakat Sipil memperingati hari anti tambang. Hari yang menjadi pengingat ketika semburan lumpur Lapindo hingga hari ini masih menyisakan penderitaan bagi masyarakat. Tahun ini, tepat 11 tahun, peristiwa semburan lumpur Lapindo menjadi pengingat, bahwa industri keruk tambang atau fossil fuel yang menjadi andalan pemerintah justru menghasilkan berbagai persoalan yang terus terjadi. Bukan hanya kerugian ekonomi atau kehilangan ruang hidup, bahkan industri yang rakus tanah dan air ini juga telah menjadi industri mematikan bagi anak-anak di Kalimantan Timur. Selain di Jakarta, suara untuk menyerukan mengakhiri industri mematikan ini juga dilakukan di berbagai daerah antara lain oleh WALHI Jatim, WALHI Kalimantan Selatan, WALHI Jawa Timur, WALHI Yogyakarta, WALHI Jawa Barat, WALHI Sulawesi Utara, dan WALHI Nusa Tenggara Timur dengan berbagai kegiatan antara lain aksi, diskusi, pameran foto, maupun peluncuran film tentang potret buruk tambang batu bara di Kalimantan Selatan. Pada peringatan hari anti tambang dan 11 tahun kasus semburan lumpur Lapindo, WALHI Jatim mendesak agar negara Pemerintah harus mulai membaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukkan pemenuhan sepenuhnya hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntaskan.
Karena tugas negara untuk memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan hak-haknya. Link siaran pers WALHI jawa Timur http://walhijatim.or.id/2017/05/dampak-multidimensional-11-tahun-kasus-semburan-lumpur-lapindo/ Pun demikian, kebijakan ekonomi dan pembangunan negara tidak berubah, industri keruk, datang dan pergi bernama tambang ini terus saja menjadi “primadona” ekonomi dengan atas nama pertumbuhan ekonomi. Ini dapat kita tengok dari RPJMN 2014-2019, pembangunan 35.000 megawatt PLTU, sebagian besar masih ditopang energi kotor batubara, juga dengan atas nama kebutuhan pemenuhan energi dalam negeri. Padahal fakta di depan mata menunjukkan daerah-daerah yang menjadi lumbung energi, justru selalu byarpet, langganan mati lampu! Lalu kemana larinya sumber energi tersebut? Pemerintah bukan tidak tahu buruknya praktek industri keruk dan dampaknya bagi masyarakat dan lingkungan hidup, batubara misalnya. Tapi orang nomer dua republik ini, Wakil Presiden justru pernah mengatakan bahwa “batubara memang berdampak buruk, tapi itulah yang murah”. Batubara selalu dianggap sumber energi yang paling murah sebagai penopang pembangunan bangsa ini, karena kerugian lingkungan akibat pencemaran, ekonomi, sosial dan budaya tidak pernah masuk dalam hitungan bagi negara. Pada akhirnya negara selalu menjadi bagian yang menghancurkan ruang hidup warga negaranya sendiri, melalui izin-izin yang dikeluarkan kepada perusahaan-perusahaan tambang, baik dalam negeri maupun asing. Setelah pulau-pulau besar yang ditambang, kini industri tambang menyasar pulau-pulau kecil. Potret buruk tambang dan penegakan hukum menjadi sorotan pada peringatan hari anti tambang ini. Karenanya mengingatkan kembali kewajiban negara menjadi desakan yang kuat pada peringatan hari anti tambang tahun 2017 ini, khususnya pemerintahan Jokowi-JK yang sudah memasuki tiga tahun pemerintahannya. Eksekutif Nasional dan Eksekutif Daerah WALHI bersama Jaringan Advokasi Tambang dan organisasi masyarakat sipil lainnya mendesak agar pemerintah segera mengakhiri dan meninggalkan industri ekstraktive pertambangan, baik untuk pemenuhan energi maupun penopang ekonomi dan segera beralih ke energi terbarukan yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi rakyat dan lingkungan hidup. Inilah kesempatannya, jika tidak menggunakan momentum ini, maka masa depan anak-anak negeri bangsa ini akan semakin suram.