slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Industri Plastik dan Industri Kimia Berkedok Delegasi RI (DELRI) dalam Negosiasi Perjanjian Internasional tentang Plastik | WALHI

Industri Plastik dan Industri Kimia Berkedok Delegasi RI (DELRI) dalam Negosiasi Perjanjian Internasional tentang Plastik

Siaran Pers Bersama WALHI dan Nexus3

Ottawa, 25 April 2024 - Saat ini negara-negara dunia sedang berkumpul di Ottawa, Kanada dalam pertemuan Komite Negosiasi Antar Pemerintah atau Intergovernmental Negotiating Committee (INC) keempat untuk membahas perjanjian internasional tentang plastik pada 23-29 April 2024. Dalam INC-4 ini, WALHI dan Nexus3 menyoroti kehadiran industri plastik dan industri kimia dalam proses negosiasi karena berpotensi membahayakan tercapainya tujuan dari perjanjian yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

Pada Selasa, 23 April 2024 bertepatan dengan pembukaan INC-4, Sekretariat INC merilis daftar sementara peserta konferensi (Provisional List of Participants) yang didistribusikan via email. Berdasarkan daftar tersebut, INC-4 diikuti oleh sekitar 4000 orang yang terdiri atas delegasi negara anggota (member states) dan peserta peninjau yang terdiri dari organisasi lingkungan, saintis hingga entitas bisnis seperti korporasi minyak bumi, gas, petrokimia, asosiasi industri kimia, industri alternatif plastik, dan FMCGs (Fast Moving Consumer Goods).

Dari data peserta sementara yang dirilis Sekretariat INC, 44 orang Delegasi Republik Indonesia (DELRI) terdiri dari perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kanada, dan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL).

Berdasarkan analisis cepat dari WALHI dan Nexus3, setidaknya ada empat orang anggota DELRI yang berasal dari industri plastik seperti dari Chandra Asri Petrochemical (CAP) dan Greenhope. Representasi produsen plastik tersebut didaftarkan sebagai pejabat dan ahli dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menjadi anggota resmi DELRI. Kehadiran dua produsen plastik dalam Delegasi Republik Indonesia jelas-jelas dapat memperlemah posisi Pemerintah Indonesia dalam negosiasi terkait pembatasan produksi plastik.

“Keterlibatan industri dalam pertemuan negosiasi plastik dapat memperlemah posisi Pemerintah Indonesia, dalam mengambil keputusan negosiasi terkait penghapusan bahan-bahan kimia berbahaya aditif plastik penyebab masalah kesehatan publik,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3.

“Kehadiran perwakilan industri plastik dalam ruang negosiasi perjanjian internasional tentang plastik, apalagi menjadi bagian dari delegasi negara, jelas-jelas menunjukkan konflik kepentingan dalam mencapai perjanjian yang kuat dan mengikat. Para negosiator, termasuk pemerintah Indonesia harus belajar dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Pengendalian Tembakau (UNFCTC) yang didukung WHO, berhasil menghalangi kepentingan komersial dan keterlibatan industri tembakau dalam proses negosiasi,” kata Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Alih-alih melibatkan perwakilan industri plastik dan industri kimia dalam delegasi, pemerintah Indonesia harusnya melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan dan perwakilan saintis yang dapat memberikan dukungan substantif pada proses penyusunan perjanjian internasional tentang plastik.

Merespon adanya konflik kepentingan industri plastik dan industri kimia, WALHI dan Nexus3:

  1. Mengecam Kementerian Perindustrian Republik Indonesia yang menyelundupkan perwakilan industri plastik dan industri kimia dalam DELRI dalam Perjanjian Internasional tentang Plastik;
  2. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk mengeluarkan wakil industri sebagai anggota delegasi resmi Indonesia;
  3. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk mengikutsertakan wakil Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan perwakilan saintis dalam komposisi DELRI untuk memperkuat negosiasi.
  4. Memastikan posisi Pemerintah Indonesia dalam negosiasi Perjanjian Internasional tentang Plastik tidak dipengaruhi oleh kepentingan industri plastik dan industri kimia;
  5. Mendesak Pemerintah Indonesia agar tidak mengakomodasi wakil dari industri plastik dan industri kimia dalam anggota DELRI pada negosiasi Perjanjian Internasional tentang Plastik, konferensi diplomatik, serta pertemuan-pertemuan formal lainnya;
  6. Mendesak Pemerintah Republik Indonesia agar mengkaji secara serius kerugian ekonomi, lingkungan dan biaya kesehatan masyarakat yang diakibatkan polusi plastik, serta meninjau kembali kebijakan dan peraturan yang memberi keringanan pajak dan finansial bagi industri pencemar.

 

Narahubung:
Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), +62 821-1200-1871

 

Dokumentasi selama INC4 dapat diakses di sini

----- ----- -----

Latar belakang

Para ahli memandang pentingnya Perjanjian internasional tentang plastik menyepakati ketentuan terkait pembatasan produksi plastik.[1] Produksi plastik saat ini lebih dari 460 juta[2] juta ton setiap tahun telah menimbulkan permasalahan pencemaran plastik yang signifikan di lingkungan, berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan ekosistem. Plastik adalah campuran karbon dan berbagai bahan kimia aditif. Saat ini, lebih dari 16.000[3] bahan kimia digunakan dalam plastik, namun hanya 128 kimia yang diatur secara global dan sekitar 6.300 bahan kimia plastik berpotensi berpajanan tinggi, termasuk 1.500 senyawa yang diketahui terlepas dari bahan plastik dan produk plastik. Para ahli juga mengungkapkan biaya kesehatan[4] yang tinggi, sekitar 250 milyar USD, dari tiga bahan kimia dalam plastik - PBDE, ftalat, dan PFAS.

Berdasarkan fakta pentingnya ketentuan pengurangan produksi plastik, terdapat banyak kepentingan dari berbagai pihak dalam pembahasan perjanjian internasional tentang plastik ini. Selain negara-negara yang bergabung dalam Global Coalition for Plastics Sustainability, [5] salah satu kelompok yang membuat perjanjian internasional tentang plastik menjadi lemah adalah kelompok industri, khususnya industri kimia, industri plastik, olefin dan aromatik.

Negara-negara dunia menyepakati proses penyusunan perjanjian internasional yang telah dimulai sejak tahun 2022 polusi plastik adalah satu dari tiga krisis besar planet atau triple planetary crisis. Melalui Resolusi UNEA 5/14[6] yang dikeluarkan di Nairobi, negara-negara dunia bersepakat untuk mengakhiri polusi plastik melalui perjanjian internasional yang mengikat.

  1. Bergmann, M. et. al., A global plastic treaty must cap production, Science, Vol. 376, Issue 6592, hlm. 469-470.
  2. Global Plastics Outlook: Economic Drivers, Environmental Impacts and Policy Options; Organisation for Economic Cooperation and Development: Paris, 2022.
  3. Martin Wagner, Laura Monclús, Hans Peter H. Arp, Ksenia J. Groh, Mari E. Løseth, Jane Muncke, Zhanyun Wang, Raoul Wolf, Lisa Zimmermann (2024) State of the science on plastic chemicals - Identifying and addressing chemicals and polymers of concern, http://dx.doi.org/10.5281/zenodo.10701706.
  4. Trasande, L., Krithivasan, R., Park, K., Obsekov, V., & Belliveau, M. (2024). Chemicals Used in Plastic Materials: An Estimate of the Attributable Disease Burden and Costs in the United States. Journal of the Endocrine Society, 8(2). https://doi.org/10.1210/jendso/bvad163
  5. https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/inside-tangled-negotiations-global-plastic-treaty#:~:text=Before%20the%20gathering%20in%20Nairobi,the%20%E2%80%9Clow%20ambition%20 coalition%E2%80%9D.
  6. https://wedocs.unep.org/bitstream/handle/20.500.11822/39812/OEWG_PP_1_INF_1_UNEA%20resolution.pdf