Kebijakan Land Swap; Melegalkan Deforestasi & Ancaman Bagi Reforma Agraria

 width=

Siaran Pers Bersama WALHI – KPA – TuK Indonesia Jakarta, Rabu, 28 Maret 2018 —Tahun 2017 lalu, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan landswap yang diterbitkan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 40/MENLHK/SETJEN/ KUM. 1/6/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (Permen LHK Nomor 40/ 2017. Kebijakan “keterlanjuran” yang konon bertujuan melindungi ekosistem rawa gambut, sesungguhnya akan mengorbankan ekosistem hutan di tanah mineral. Sama artinya, negara tengah merancang bencana ekologis demi mengambilalih tanggungjawab korporasi, atas nama keterlanjutan investasi. Penerbitan Permen LHK No. 40/ 2017 sebenarnya juga bertentangan dengan Instruksi Presiden Joko Widodo yang dimuat dalam Inpres No. 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Meskipun jauh dari kebijakan moratorium yang diharapkan, Inpres ini pada prinsipnya memuat perintah pembenahan tata kelola sumber daya alam, agar tidak ada penerbitan izin baru di hutan primer dan ekosistem rawa gambut. Selain itu, Inpres ini secara tidak langsung mempunyai relasi untuk mendukung komitmen Presiden dalam mengatasi krisis lingkungan dan mengatasi ketimpangan penguasaan struktur agraria dan sumber daya alam yang selama ini didominasi penguasaannya oleh korporasi. “Dari luasan 2,4 juta area gambut yang harus direstorasi dan 1,4 juta hektar merupakan konsesi perusahaan. Bukannya menciutkan perizinan dan melakukan penegakan hukum, pemerintah terus memfasilitasi korporasi dengan berbagai kebijakan, seperti Permen P. 40/2017 yang memfasilitasi land swap untuk perusahaan hutan tanaman industri dengan atas nama keterlanjuran. Meskipun perusahaan sendiri terus merongrong pemerintah agar mereka terus mendapatkan "privilege", dengan berupaya terus mereduksi kebijakan pemerintah untuk memproteksi ekosistem gambut, sehingga mereka tetap bisa menjalankan bisnisnya di kawasan gambut yang telah melanggar aturan hukum”. Kebijakan land swap ini dikhawatirkan justru akan menambah deretan angka konflik agraria, karena sudah dapat dipastikan bersinggungan dengan perdesaan sebagai sebuah satu kesatuan wilayah, sosial, ekonomi dan budaya”, tegas Wahyu Perdana, Pengkampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial WALHI. Even Sembiring, Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan menyatakan bahwa “ secara tegas menolak kebijakan land swap. Dalam kajiannya, WALHI menilai terdapat ambiguitas antara penerbitan Inpres No.6/2017 dengan Permen LHK No. 40/2017. “Seharusnya, semangat perlindungan ekosistem gambut dan moratorium pemberian izin harus diikuti dengan semangat penegakan hukum, bukan malah memberikan lahan pengganti yang akan bersumbangsih dengan laju deforestasi, serta melanggengkan dominasi penguasaan ruang atas nama investasi”. WALHI juga mencatat bahwa, terdapat 2.516.758 hektar konsesi HTI yang berada di eosistem gambut dan sebagain besarnya berada di fungsi lindung. “Apabila ada komitmen perlindungan ekosistem rawa gambut, seharusnya ada dorongan review perizinan dengan menciutkan areal konsesinya, serta diikuti komitmen penegakan hukum yang tegas,” tambah Even.

Transformasi untuk Keadilan Indonesia menyebutkan bahwa kebijakan landswap akan menjadi peluang dan keuntungan bagi korporasi hutan tanaman industri untuk memperluas penguasaan ruang. Khususnya, adanya pernyataan Presiden Jokowi agar tidak lagi ada aturan atau kebijakan yang menghambat investasi. “Hutan alam dan ekosistem rawa gambut akan terus diintai oleh korporasi, baik untuk ekspansi bisnisnya maupun sebagai modus untuk land banking. Terlebih, landswap sama sekali tidak mengencilkan areal konsesi korporasi, namun hanya sekedar areal kerjanya, sehingga lahan pengganti menjadi alat memperluas penguasaan ruang, sedangkan penciuatan areal kerja menjadi lokasi landbanking yang bisa dimanfaatak kembali ketika ada perubahan regulasi mengenai gambut,” sebut Edi Sutrisno dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia. .Yahya Zakaria, Kepala Departemen Advokasi Kebijakan KPA menambahkan, kebijakan tersebut juga bertentangan dengan agenda reforma agraria yang salah satu fokusnya merombak ketimpangan penguasaan tanah dalam kawasan hutan. Hingga saat ini terdapat lebih dari 30 juta hektar konsesi perusahaan dan sebagian besar terlibat konflik dengan masyarakat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama Jokowi-JK memimpin (2015-2017) terdapat 79 konflik sektor kehutanan yang melibatkan lahan seluas 639.595 Ha. Tak hanya itu, tahun lalu terdapat 26 orang petani yang terlibat konflik dalam kawasan hutan dikrimanalisasi. Melalui target seluas 4,1 juta Ha dari kawasan hutan yang dilepaskan untuk Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) seharusnya menyasar lokasi-lokasi konflik dan memangkas monopoli perusahaan. Namun, hingga lebih dari tiga tahun reforma agraria berjalan, belum ada sejengkal TORA kawasan hutan yang dilepaskan untuk masyarakat. Dengan situasi seperti ini, kebijakan landswap dapat dipastikan semakin mempertegas status quo krisis ekologis dan darurat agraria. Terlebih, pada tahun-tahun politik cenderung terdapat trend peningkatan penerbitan izin baru, sehingga landswap rawan dijadikan kedok politik transaksional penerbitan perizinan baru. Apabila komitmen perlindungan ekossitem gambut dan reforma agraria hendak dipertegas, maka seharusnya Pemerintah ini harus menjawab berapa izin yang sudah dicabut, untuk diserahkan kepada rakyat miskin? Berapa perusahaan perusak lingkungan yang telah dijerat hukum? Jika pertanyaan ini tidak mampu dijawab dengan angka yang signifikan, janji merubah ketimpangan struktur agraria/ sumber daya alam hanya ilusi, dan landswap sebagai salah satu kebijakan yang dipergunakan untuk mempertegas akar penguasan ruang oleh korporasi. Berdasarkan uraian di atas, maka WALHI-KPA-TuK Indonesia menyatakan dan menuntuk hal sebagai berikut: 1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk segera mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 40/MENLHK/SETJEN/ KUM. 1/6/2017 tentang Fasilitasi Pemerintah Pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut; 2. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan review perizinan terhadap keseluruhan izin yang berada di ekosistem rawa gambut; 3. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kapolri untuk melakukan penindakan hukum kepada korporasi-korporasi yang melakukan pelanggaran hukum dan ketentuan pengelolaan ekosistem rawa gambut; 4. Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk mengarahkan restorasi ekosistem rawa gambut pada dorongan tanggungjawab korporasi, tanpa mengurangi tindakan hukum yang harus dilakukan oleh pemerintah. 5. Presiden segera menjalankan Reforma Agraria yang diorientasikan untuk merombak ketimpangan struktur agraria dan menyelesaikan konflik-konflik agraria dalam kawasan hutan secara berkeadilan; Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Konsorsium Pembaruan Agraria Transformasi untuk Keadilan Indonesia Narahubung : Even Sembiring (WALHI) : 0852-7189-7255 Yahya Zakaria (KPA) : 0857-2618-6561 Edi Sutrisno (TUK-Indonesia) : 0877-1124-6094 Catatan untuk Editor: Ketentuan Dasar Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 40 Tahun 2017 Tentang Land Swap Secara umum, ketentuan Permen LHK Nomor P. 40/MENLHK/SETJEN/KUM. 1/6/2017 semakin mempertegas keberpihakan Pemerintah terhadap investasi perkebunan kayu.

Permen ini berisi keistimewaan-keistimewaan terhadap korporasi, walaupun dalam proses perizinan tercatat telah menyalahi kriteria perizinan, khususnya perizinan di atas ekosistem gambut. Untuk lebih lengkapnya, dapat dilihat hak ekslusif yang diperoleh korporasi melalui penerbitan Permen ini, yaitu: 1. Konsideran Menimbang huruf a dan c Peraturan Menteri LHK No. 40 Tahun 2017 menyebutkan bahwa penerbitan regulasi ini diterbitkan guna menjaga kesinambungan usaha dan kontinuitas ketersediaan bahan baku industri 2. Konsideran Menimbang huruf b Peraturan Menteri LHK No. 40 Tahun 2017 menyebutkan penyesuaian tata ruang HTI yang dituangkan dalam revisi Rencana Kerja Usaha (RKU) dan Rencana Kerja Tahunan (RKT) lUPHHK-HTI, didasarkan atas Fungsi Lindung Ekosistem Gambut agar fungsi hidrologis Ekosistem Gambut dalam mendukung kelestarian keanekaragaman hayati, pengaturan air, sebagai penyimpan cadangan karbon, penghasil oksigen tetap terjaga 3. Pasal 3 ayat (1) Fasilitasi Pemerintah bagi pemegang lUPHHK-HTl dalam rangka perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut dilakukan dalam bentuk: a. dukungan penanganan dan penyelesaian konflik dalam areal lUPHHK-HTl b. dukungan pengembangan perhutanan sosial melalui kerjasama antara pemegang lUPHHK-HTl dengan kelompok masyarakat/Koperasi dalam bentuk Hutan Tanaman Rakyat c. dukungan penyediaan areal lahan usaha pengganti (land swap) sebagai bentuk penggantian areal kerja lUPHHK-HTl yang telah berubah menjadi Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Pasal 3 Ayat (2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dimaksudkan dalam rangka menjaga kontinuitas ketersediaan bahan baku, Ayat (4) Fasilitasi Pemerintah untuk pemberian areal lahan usaha pengganti (land swap) atas dasar pengajuan oleh pemegang lUPHHK-HTl kepada Menteri. 4. Pasal 6 ayat (1) Fasilitasi Pemerintah berupa pemberian areal lahan usaha pengganti (land swap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c dapat diberikan kepada Pemegang lUPHHK-HTl atas pertimbangan terjadinya penyesuian tata ruang HTI untuk menjamin kesinambungan usaha, memenuhi skala kelayak ekonomi dan untuk kesejahteraan masyarakat. Ayat (2) Fasilitasi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada pemegang lUPHHK-HTl yang areal kerjanya ditetapkan menjadi Fungsi Lindung Ekosistem Gambut, seluas di atas atau sama dengan 40% (empat puluh perseratus). Ayat (4) Areal lahan usaha pengganti (land swap) yang dapat diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak seluas areal kerja pemegang lUPHHK-HTl pada blok Tanaman Pokok yang berubah menjadi Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Ayat (5) Areal lahan usaha pengganti (land swap) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan hutan produksi yang berupa tanah mineral. Ayat (6) Pemberian areal lahan usaha pengganti (land swap) bukan merupakan izin baru, tapi merupakan penggantian areal kerja yang dalam penyesuaian tata ruang HTI berubah fungsi menjadi Fungsi Lindung Ekosistem Gambut. Analisis Risiko 1. Kebijakan land swap dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P. 40/MENLHK/SETJEN/KUM. 1/6/2017 semakin mengukuhkan kekuatan dominasi korporasi terhadap penguasaan ruang.

Hal ini dikarenakan kebijakan land swap hanya merubah RKT dan RKU pada tata ruang dalam konsesi IUPHHK-HT, tidak mengurangi atau mengeluarkan kawasan fungsi lindung dari konsesi, dengan adanya penambahan lahan pengganti seluas kawasan lindung maka sesungguhnya Land Swap ini justru menambah penguasaan lahan baru atau land banking korporasi terhadap hutan di Indonesia. 2. Skema land swap malah melegitimasi „keterlanjuran‟ penerbitan izin perkebunan kayu yang dalam proses penerbitan izinnya telah melanggara kriteria yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Ketentuan tersebut secara sistematis melemahkan penegakan hukum; 3. Skema land swap akan membuka peluang korporasi melakukan pemanfaatan kayu alam sebagai bahan baku industri pulp and paper yang bersumber dari lokasi land swap di kawasan hutan dengan tanah mineral; 4. Skema penyelesaian konflik dengan pilihan Hutan Tanaman Rakyat tidak menguntungkan bagi masyrakat dan lingkungan karena hanya berorientasi pada pemenuhan baku industri pulp and paper. Bahkan hal ini bertentangan dengan komitment Presiden untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan upaya struktural penanganan konflik lingkungan hidup dan agraria; 5. Ketiadaan syarat amdal dalam proses land swap akan memperbesar resiko terhadap lingkungan, sosial dan proses kontrol pemenuhan kewajiban hukum korporasi sesuai dengan ketentuan UU 32 Tahun 2009; 6. Tanpa amdal dengan waktu proses pemeriksaan UKL/UPL hanya 14 hari, kebijakan ini akan menambah konflik baru, dikarena wilayah yang menjadi area pengganti merupkan hutan produksi tanah mineral, sampai saat ini tanggung jawab pemerintah untuk menyelesaikan tata batas dalam penetapan status kawasan hutan belum selesai, belum melakukan konsolidasi dan identifikasi serta pengakuan keberadaan hak rakyat; 7. Tanpa Amdal dan hanya berorientasi kepada kebutuhan pelaku usaha IUPHHK-HT, kebijakan ini akan menghantarkan pemerintah kepada status baru mengganti malapetaka asap dengan meningkatnya laju deforestasi, yang berpotensi melahirkan malapetaka banjir tahunan; 8. Adanya target peningkatan kapasitas pabrik pulp sebesar 26,5% menjadi sekitar 10 juta ton. Peningkatan tersebut tentu saja akan berdampak terhadap kebutuhan bahan baku kayu. Mulai tahun ini kebutuhan bahan baku akan mencapai 45 juta meter kubik (m3). Seperti halnya industri pulp, kapasitas produksi kertas pada 2017 juga diprediksi meningkat menjadi 17 juta ton atau naik 22,3% ketimbang 2013 yang sebanyak 13,9 juta ton. Peningkatan kapasitas terpasang industri pulp dan kertas dalam negeri tersebut disebabkan karena kebutuhan kertas dunia yang meningkat rata-rata 2,1% per tahun. Pada 2020 kebutuhan kertas dunia diperkirakan mencapai 490 juta ton,i Ditengah realisasi tanam yang hanya 45 % dari rencana, maka- kekurangan bahan baku akan ditutup dari pasokan kayu hutan alam. Penerbitan Permen ini tentunya menjadi basis legal bagi laju deforestasi dan pemenuhan bahan baku dari hutan alam; Wahyu A. Perdana 0821-1239-59191 Manajer Kampanye Pangan, Air, & Ekosistem Esensial WALHI