Media Rilis
KEMBALIKAN TANAH WARGA PAKEL, USUT TUNTAS PELANGGARAN HAM & CABUT HGU PT BUMI SARI
Perampasan Ruang Hidup Warga Pakel
Pada tanggal 24 September 2020, bertepatan dengan Hari Tani Nasional yang ke 60, dan hari lahirnya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960, warga Pakel, Licin, Banyuwangi, melakukan aksi pendudukan lahan kembali (reklaiming) di lahan mereka yang selama ini dirampas oleh PT Bumi Sari. Aksi tersebut terus berlangsung hingga kini, dan melibatkan sedikitnya 800-an orang.
Sebelum melakukan aksi reklaiming tersebut, warga Pakel telah menempuh berbagai cara selama puluhan tahun untuk mendapatkan kembali hak atas tanah mereka. Namun, segala usaha yang mereka lakukan kerap berujung buntu. Misalnya, pada tahun 1999-2001, aksi pendudukan lahan yang dilakukan oleh warga Pakel telah menyebabkan puluhan warga ditangkap, dipenjara, dan mengalami berbagai tindakan kekerasan fisik dari aparat keamanan keamanan negara.
Peristiwa kekerasan tersebut juga telah menyebabkan sebagian besar pemuda/i Pakel putus sekolah, dan membuat Pakel sepi dari laki-laki dewasa, karena mereka terpaksa mengungsi dan meninggalkan kampung untuk menghindari penangkapan dan kejaran aparat keamanan.
Selanjutnya, aksi reklaiming yang dilakukan pada Desember 2018, juga bernasib sama. Puluhan warga Pakel kembali mendapatkan surat panggilan dari pihak Polres Banyuwangi sepanjang tahun 2019. Bahkan, 1 orang diantaranya ditetapkan sebagai tersangka dan sempat ditahan, namun mendapatkan putusan tidak bersalah oleh PN Banyuwangi pada tahun 2020. Aksi itu bermula pasca terbitnya sebuah pernyataan dari BPN Banyuwangi nomor 280/600.1.35.10/II/2018, tanggal 14 Februari 2018, yang menyatakan bahwa tanah Desa Pakel tidak masuk dalam HGU PT Bumi Sari.
Kini di tengah penindasan dan ketiadaan lahan untuk dikelola sebagai lahan pertanian, beredar rumor secara luas, bahwa PT Bumi Sari telah mengantongi HGU terbaru, yang konon memasukkan sebagian wilayah Desa Pakel sebagai HGU mereka. Patut diketahui salinan dokumen tersebut tidak dimiliki oleh warga dan pemerintah Desa Pakel.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur, mencatat bahwa konflik agraria yang terjadi di Pakel semakin mengukuhkan Banyuwangi sebagai kabupaten penyumbang konflik agraria tertinggi di Jawa Timur. Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2014, selain kasus Pakel, juga terdapat 5 kasus agraria lainnya di wilayah Banyuwangi yang bersumber dari sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. 6 konflik tersebut, sedikitnya telah menyebabkan 105 orang warga menjadi korban (mengalami tindakan kekerasan, kriminalisasi, ataupun hukuman penjara).
Kronologi Singkat Kasus Pakel
Pada tahun 1925, sekitar 2956 orang warga mengajukan permohonan pembukaan hutan Sengkan Kandang dan Keseran, yang terletak di Pakel, Licin, Banyuwangi kepada pemerintah kolonial Belanda. Empat tahun kemudian, tanggal 11 Januari 1929, permohonan tersebut dikabulkan, dan mereka diberikan hak membuka lahan kawasan hutan seluas 4000 Bahu (3000 hektar) oleh Bupati Banyuwangi, R.A.A.M. Notohadi Suryo.
Dalam perkembangannya, walaupun telah mengantongi izin “Akta 1929”, warga Pakel kerap mengalami berbagai tindakan intimidasi dan kekerasan dari pihak aparat pemerintah kolonial Belanda dan Jepang.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia, warga Pakel terus berjuang untuk mendapatkan kepastian atas hak pembukaan hutan seperti yang tertuang dalam "akta 1929". Diantaranya adalah pada tahun 1960-an, mereka mencobanya dengan mengajukan surat permohonan untuk bercocok tanam di kawasan “akta 1929” yang berlokasi di hutan Sengkan Kandang dan Keseran kepada Bupati Banyuwangi. Namun, surat tersebut tidak mendapatkan jawaban apapun dari pemerintah.
Di tengah situasi itu, untuk sekedar menyambung hidup, sebagian kecil warga Pakel mulai bercocok tanam di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Taman Glugoh (berada di Pakel dan masuk dalam peta “akta 1929”). Namun, pasca meletusnya tragedi kemanusiaan ‘30 September 1965”, warga Pakel tidak berani menduduki lahan tersebut, karena takut dituduh sebagai anggota PKI.
Selanjutnya, pada tahun 1980-an, lahan yang mereka kelola tersebut, yang masuk dalam kawasan "akta 1929", tiba-tiba diklaim menjadi milik perusahaan perkebunan PT Bumi Sari.
Padahal jika merujuk SK Kementerian Dalam Negeri, tertanggal 13 Desember 1985, nomor SK.35/HGU/DA/85, PT Bumi Sari disebutkan hanya mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) dengan luas 1189,81 hektar, yang terletak di Kluncing dan Songgon.
Walaupun SK Kemendagri diatas menegaskan bahwa PT Bumi Sari tidak memiliki HGU di Desa Pakel, namun dalam praktiknya, PT Bumi Sari tetap menguasai dan melakukan kegiatan penanaman untuk perkebunan yang mereka kelola hingga Desa Pakel. Fakta penting lainnya adalah bahwa kawasan "akta 1929" yang semula hanya diklaim milik PT Bumi Sari, juga dikuasai oleh Perhutani.
Dari sinilah konflik agraria di Pakel semakin kompleks, dan perjuangan warga terus berlangsung hingga kini.
Tuntutan
Dengan sejarah panjang penindasan dan eksploitasi seperti yang telah dijelaskan diatas, kami WALHI Jawa Timur:
- Mendesak Kementerian ATR/BPN mencabut ijin HGU PT Bumi Sari demi kesejahteraan warga Pakel, Banyuwangi.
- Mendesak KPK RI untuk melakukan penyelidikan terkait dugaan tindak pidana korupsi dan pelanggaran perijinan yang dilakukan oleh PT Bumi Sari dan instansi terkait. Kami menduga, penguasaan lahan yang dilakukan oleh PT Bumi Sari selama puluhan tahun ini di Pakel, telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang cukup besar, dengan dugaan melibatkan beragam aktor baik pihak pejabat negara, atau atas nama negara, maupun pihak swasta.
- Mendesak Kapolri beserta jajarannya mengusut dugaan tindak pidana penguasaan lahan secara ilegal oleh PT Bumi Sari, seperti yang telah dijelaskan dalam surat Kemendagri tahun 1985 diatas dan Surat Keterangan BPN Banyuwangi tahun 2018. Sekaligus menghentikan seluruh tindakan kriminalisasi terhadap warga Pakel yang sedang berjuang atas kasus konflik agraria ini.
- Mendesak Komnas HAM melakukan investigasi dan pengumpulan data secara langsung, terkait pelanggaran HAM yang menimpa perjuangan warga Pakel selama ini.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur
Kontak: 0821-3936-5522