slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Larangan Ekspor Batubara bukan Disebabkan Krisis Energi, namun Krisis Ketergantungan Bahan Bakar Fosil | WALHI

Larangan Ekspor Batubara bukan Disebabkan Krisis Energi, namun Krisis Ketergantungan Bahan Bakar Fosil

RILIS MEDIA
WAHANA LINGKUNGAN HIDUP INDONESIA

LARANGAN EKSPOR BATUBARA BUKAN DISEBABKAN KRISIS ENERGI, NAMUN KRISIS KETERGANTUNGAN BAHAN BAKAR FOSIL

 

Membuka tahun 2022, dunia energi Indonesia dibuat riuh rendah dengan Surat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor B-1605/MB.05/DJB.B/2021 mengenai Pemenuhan Kebutuhan Batubara Untuk Umum yang melarang ekspor batubara ke luar negeri. Dalam suratnya Menteri ESDM meminta pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau IUPK tahap kegiatan Operasi Produksi, IUPK Sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian dan PKP2B untuk memasok hasil produksinya ke PLTU grup PLN dan Independent Power Producer (IPP). Pemerintah menyatakan bahwa larangan ekspor batubara ke luar negeri ini terpaksa dilakukan demi menghindarkan Indonesia dari krisis energi akibat tidak terpenuhinya kewajiban persentase penjualan batubara untuk kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO) yang harusnya diberikan oleh pengusaha batubara.

Menyikapi situasi ini, WALHI menyatakan bahwa apa yang tengah terjadi sekarang bukanlah krisis energi, melainkan krisis ketergantungan bahan bakar fosil. Problem utama tata kelola energi di Indonesia hingga sekarang adalah pembangkitan energi listrik di Indonesia masih sentralistik dengan bauran energi yang masih terbelenggu dengan sumber energi fosil yang dikuasai oleh oligarki. Penyediaan listrik Indonesia hanya dijalankan melalui PLN dengan 60 persen lebih pasokan listrik Indonesia tergantung oleh batubara. Sehingga pasokan listrik menjadi rentan disandera oleh kepentingan oligarki, sebagaimana yang sekarang tengah mendera.

Sektor Batubara sebagai salah satu Industri ekstraktif berbasis bahan bakar fosil telah lama ditempatkan sebagai anak emas. Melalui Undang-Undang Cipta Kerja pada Pasal 128 A, dan dipertegas lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah menyatakan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi, Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi dan IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian untuk komoditas batu bara yang melakukan kegiatan Peningkatan Nilai Tambah Batu Bara di dalam negeri dapat diberikan perlakuan tertentu berupa pengenaan royalti sebesar 0 persen.

Kemanjaan ini terlanjur diperparah dengan ketidak-tegasan regulasi. Tidak ada pemberian sanksi terhadap perusahaan batubara pemegang IUP maupun IUPK yang membandel dari kewajibannya. Sebagaimana Pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menyatakan bahwa, "perusahaan pemegang IUP atau IUPK tahap kegiatan operasi produksi dapat melakukan penjualan ke luar negeri komoditas batubara yang diproduksi setelah terpenuhinya kebutuhan batubara dalam negeri." Namun sayang, Pasal 158 ayat (3) PP Nomor 96 Tahun 2021 ini menjadi loyo, dengan tidak adanya penegakan hukum (law enforcement) terhadap implementasinya. Sebab, tidak termasuk dalam ancaman sanksi administratif Pasal 185 PP Nomor 96 Tahun 2021.

Ketiadaan pasal sanksi terhadap kewajiban pemenuhan batubara dalam negeri ini, akan menjadikan pengusaha memilih menjual produksinya ke pasar, jika dianggap harga pasar bisa memberi mereka keuntungan. Dengan demikian bahan bakar fosil menjadi produk yang rentan langka akibat mekanisme pasar dalam mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ketergantungan besar pembangkit energi Indonesia terhadap bahan yang rentan langka akibat mekanisme pasar ini tentu menjadi kelemahan besar dalam upaya kepastian pemenuhan energi di Indonesia. Bahkan di dalam RPJMN tahun 2015-2019 telah ada upaya pembatasan produksi dan kewajiban supply domestik ini, yang kemudian dilanggar dan tidak dilanjutkan lagi. Padahal upaya pembatasan produksi dibuat untuk mengingatkan bahwa sumber energi berbasis bahan bakar fosil tidak terbarukan, dan satu saat akan habis.

Oleh sebab itu, situasi yang tengah dihadapi sekarang harus menjadi momentum percepatan transisi energi di Indonesia ke arah sumber energi terbarukan. Kita telah mengetahui bahwa problem utama tata kelola energi di Indonesia adalah ketergantungan besar terhadap energi fosil yang rentan dimainkan oligarki yang mencari keuntungan dalam mekanisme pasar. Pemerintah harus berani mengambil Langkah ambisius dalam upaya memastikan Indonesia tidak lagi mengalami ketergantungan terhadap energi fosil. Sumber energi berbasis bahan bakar fosil tidak bisa dieksploitasi tanpa batas, seolah-olah kita bisa terus menerus memanfaatkannya tanpa konsekuensi. Sudah saatnya juga menghentikan mengandalkan perolehan devisa/pendapatan dari menjual bahan alam yang justru mengancam diri sendiri.

Tahapan pertama dari upaya penghentian terhadap ketergantungan terhadap energi fosil adalah dengan menutup PLTU Batubara tua yang telah beroperasi lebih dari 30 tahun, serta pembangkit dengan efisiensi rendah. Selain itu sejalan dengan komitmen global pada COP26 yang tertuang dalam Pakta Iklim Glasgow, pemerintah harus menghentikan pemberian izin untuk PLTU baru dan pemberian subsidi pada energi fosil.

Ancaman krisis akibat ketergantungan terhadap energi fosil membutuhkan langkah cepat dan mempertahankan pembangkit berbahan bakar fosil seperti yang sekarang berjalan tidak lagi masuk akal. Karena hanya dengan transisi menuju penggunaan energi dari sumber energi terbarukan akan menghindarkan kita dari resiko krisis energi dan krisis iklim yang terus berulang.

 

Kontak:

Fanny Tri Jambore
Manajer Pengkampanye Tambang dan Energi WALHI
083857642883
trijambore@walhi.or.id