Laut dan Pesan Keadilan Iklim Paus Fransiskus

Oleh:
Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI

Kunjungan resmi pastoral sekaligus kenegaraan Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Sedunia, ke Indonesia baru usai. Namun, pesan-pesan yang disampaikan akan abadi di memori dan sanubari masyarakat Indonesia. Dalam pembukaan pidato resmi di Istana negara, 4 September lalu, Paus mengatakan samudera merupakan unsur alami yang menyatukan seluruh kepulauan di Indonesia.

Pernyataan Paus Gereja Katolik ke-266 ini menunjukkan kedalaman pemahaman mengenai Indonesia sebagai negeri bahari atau negara kepulauan terbesar di dunia, yang bentang alam didominasi lautan.

Kita akan menemukan pemahaman Paus Fransiskus yang mendalam mengenai laut di dalam ensiklik Laudato Si (LS) dan Laudato Deum (LD). Dalam kedua ensiklik itu, kata laut dan atau samudera dan atau pantai serta pesisir, disebut lebih dari 30 kali dengan berbagai konteksnya. Namun secara umum, penyebutan kata laut dan atau samudera selalu dikaitkan dengan persoalan eksploitasi sumber daya alam serta krisis iklim yang kini mengancam planet bumi serta masa depan kehidupan seluruh makhluk.

Krisis iklim disebut Paus telah mengancam eksistensi lautan sebagai entitas ekologis terbesar di planet bumi, dengan seperempat penduduk dunia tinggal di pesisir atau pantai (LS 24). Selanjutnya, disebutkan, dalam lautan tropis dan subtropis kita menemukan terumbu karang yang sebanding dengan hutan besar di daratan, karena memberi tempat kepada sekitar satu juta spesies, termasuk ikan, kepiting, moluska, spons (bunga karang), alga, dan lain-lain. Banyak terumbu karang di dunia sudah mati atau menurun terus (LS 41).

Krisis iklim juga mengakibatkan kenaikan permukaan air laut dan mencairnya gletser dapat dengan mudah dilihat oleh seseorang dalam waktu hidupnya, dan mungkin dalam beberapa tahun mendatang banyak penduduk yang harus pindah rumah karena peristiwa-peristiwa ini (LD 6).

Beragam penegasan fakta krisis iklim, dampaknya terhadap laut sekaligus dampak buruk terhadap masyarakat yang hidup di pesisir penting menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia, mengingat persoalan itu terjadi sejak lama di negeri ini.

Setiap tahun, satu hektar tanah hilang di sepanjang pesisir utara Jawa Tengah karena meningkatnya permukaan air laut. Sebelum 2000, banyak desa di sana hilang. Dua dekade setelah itu, desa-desa pesisir lain di Bengkulu, dan Kalimantan Tengah juga tenggelam.

Pada masa mendatang, lebih dari 12.000 desa pesisir di Indonesia akan tenggelam kalau temperatur bumi naik di atas 1,5 derajat celcius. Nasib pulau-pulau kecil pun dipertaruhkan, lebih dari 26 pulau kecil telah tenggelam dan ratusan akan hilang dalam beberapa dekade mendatang.

Walhi mencatat, dampak krisis iklim dalam satu tahun nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan. Setiap tahun, rata-rata 100 nelayan hilang/meninggal di laut akibat melaut saat cuaca tidak menentu. Jumlah nelayan yang meninggal di laut terus mengalami peningkatan sepanjang 2010-2020.

Pada 2010, nelayan meninggal tercatat 87 orang dan 2020, meningkat jadi 251 orang.

Dampak krisis iklim mendorong empat warga Pulau Pari menempuh gugatan iklim internasional. Pulau dengan luas tak lebih dari 42 hektar mengalami penurunan lebih 11% akibat kenaikan air laut yang dipicu krisis iklim. Pada masa yang akan datang, lebih dari 1.500 orang khawatir menjadi pengungsi karena pulau mereka tenggelam.

Pesan keadilan iklim

Menurut Paus Fransiskus, krisis iklim merupakan masalah global dengan dampak sangat buruk bagi lingkungan hidup dan masyarakat. Persoalan ini merupakan tantangan besar yang dihadapi umat manusia zaman ini. Dampak terburuk akan dirasakan negara-negara berkembang, dengan banyak orang miskin tinggal di sana dan penghidupan sangat tergantung pada cadangan alam dan jasa ekosistem seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan (LD 25).

Di antara akar krisis iklim yang disebut Paus Fransiskus adalah politik pembangunan yang mengandalkan energi fosil sebagai bahan bakar serta paradigma pembangunan yang bersifat teknokratis. Teknokratisme yang mereduksi permasalahan sesungguhnya makin melanggengkan dampak buruk krisis iklim. paradigma ini mengandaikan kebaikan dan kebenaran secara otomatis mengalir dari kekuatan teknologi dan ekonomi (LD 20).

Pada titik inilah, politik pembangunan yang mengandalkan energi fosil sekaligus pendekatan teknokratis yang mengejar pertumbuhan ekonomi penting untuk dievaluasi sekaligus dikoreksi. Agenda pembangunan kita selama ini masih melihat bahwa alam adalah komoditas yang terus dieksploitasi demi mengejar pertumbuhan ekonomi.

Kemauan meninggalkan paradigma teknokratisme, yang mengejar pertumbuhan ekonomi, menuju paradigma integralisme, yang melihat bumi dan manusia memiliki hubungan abadi dan nilai spiritual sekaligus intrinsik harus dipahami sebagai artikulasi dari pertobatan ekologis yang diserukan dalam Laudato Si.

Paus Fransiskus mengajak kita melihat alam sebagai rumah bersama, bumi dan seluruh makhluk sebagai saudari. Dengan demikian, pendekatan pembangunan harus didesain untuk memuliakan dan melindungi keberlanjutan bumi. Juga, memuliakan masyarakat yang selama ini terbukti menjaga kelestarian alam, antara lain, masyarakat pesisir yang melindungi dan mengelola sumber daya laut supaya tetap lestari.

Masyarakat pesisir harus menjadi juru bicara mewakili dirinya di dalam forum-forum pengambilan keputusan penting terkait dengan masa depan pesisir, laut, dan pulau kecilnya. Mereka harus berdaulat di atas tanah dan lautnya. Inilah pesan keadilan iklim yang harus kita pahami dari Paus Fransiskus.

Hal ini sejalan dengan prinsip keadilan iklim yang berintikan pada sejumlah hal berikut:

  1. Menegaskan kesakralan bumi, kesatuan ekologi dan ketergantungan semua spesies.
  2. Menegaskan masyarakat memiliki hak untuk bebas dari krisis iklim, dampak terkait, dan bentuk lain dari perusakan ekologis.
  3. Menegaskan hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terkena dampak untuk mewakili dan berbicara untuk diri mereka sendiri.
  4. Menuntut masyarakat yang terkena dampak terutama memainkan peran utama dalam proses nasional dan internasional untuk mengatasi krisis iklim.
  5. Menuntut agar bahan bakar fosil dan industri ekstraktif bertanggung jawab penuh atas semua dampak siklus hidup masa lalu dan saat ini yang berkaitan dengan produksi gas rumah kaca dan polutan lokal terkait.
  6. Menuntut sumber daya energi bersih, terbarukan, dikendalikan lokal, dan berdampak rendah demi kepentingan planet yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup.
  7. Menyerukan moratorium pada semua yang baru eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar fosil.

Melalui Laudato Si dan Laudato Deum, Paus Fransiskus mengajak kita melihat kembali laut, yang merupakan bagian terbesar dari planet bumi, sebagai milik bersama umat manusia yang harus dilindungi dari dampak krisis iklim yang makin mengerikan. Pada saat sama, kita belajar bahwa masyarakat pesisir yang terdampak krisis iklim memiliki hak untuk bebas dari krisis iklim.

Pada titik inilah penting mendukung berbagai upaya masyarakat pesisir untuk menegakan keadilan iklim, salah satunya, melalui gugatan iklim yang ditempuh empat orang Pulau Pari ke dunia internasional.

 

********

Tulisan dimuat di Mongabay pada 10 September 2024 dengan judul: Laut dan Pesan Keadilan Iklim Paus Fransiskus