Lingkungan Hidup Terancam Rezim Investasi

Siaran Pers
Hari Lingkungan Hidup Sedunia

LINGKUNGAN HIDUP TERANCAM REZIM INVESTASI

Jakarta, 5 Juni 2020—Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020 hari ini telah memasuki lima dasawarsa. Rusaknya lingkungan dan berubahnya ekosistem akibat industri ekstraktif, baik di daratan maupun lautan masih terus terjadi. Pandemi yang terjadi saat ini harusnya juga menjadi catatan kerusakan lingkungan sebagai konsekuensi yang diterima semua makhluk hidup di bumi yang sama.

Hari Lingkungan Hidup 2020, seharusnya menjadi momentum negara untuk berhenti memberikan toleransi bagi korporasi perusak lingkungan. Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menegaskan, “Tidak ada ruang negosiasi bagi oligarki dan rezim investasi yang mencelakakan rakyat dan lingkungan hidup. Hentikan dan cabut semua pembahasan regulasi yang mengancam lingkungan, termasuk didalamnya Omnibus Law, dan UU Minerba”.

Ancaman terhadap lingkungan di Indonesia saat ini bukan hanya pandemi, tetapi juga makin mengguritanya rezim investasi. Ancaman pada lingkungan hidup yang masif bisa dilihat dalam catatan WALHI, bahwa sekitar 61,46%  daratan dikuasai oleh korporasi sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan dan migas. Ketimpangan yang sangat tinggi tersebut ditegaskan data rasio gini penguasaan lahan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 yang mencapai angka 0,68.31  Artinya 1% penduduk Indonesia  menguasai 68% lahan. Kerusakan lingkungan masih terus terjadi.

Dalam kondisi pandemi seperti saat ini, alih-alih memenuhi hak rakyat, negara justru mengeluarkan kebijakan yang justru memperkuat penguasaan korporasi melalui berbagai regulasi yang dikeluarkan. Pada periode kedua pemerintahan Jokowi, tercatat berbagai regulasi yang melemahkan perlindungan lingkungan hidup yang disahkan, dari UU KPK, UU Sumber Daya Air, UU Sistem Budidaya Pertanian, dan terakhir dengan menutup telinga dan mengabaikan berbagai aspirasi rakyat, UU Minerba disahkan, bahkan Omnibus Law (“RUU CILAKA”/ RUU Cipta Kerja) dipaksakan pembahasannya di tengah pandemi.

Kondisi rakyat dan Wilayah Kelola Rakyat juga tak kunjung membaik, bukannya dipenuhi haknya, dalam kondisi pandemi kriminalisasi dan konflik masih terus terjadi. Tercatat sepanjang pandemi kriminalisasi akibat industri ekstraktif masih menjadi. Pada awal Maret 2020, kriminalisasi terhadap petani Desa Penyang Kalimantan Tengah terjadi, diikuti oleh konflik dengan perkebunan sawit yang mengakibatkan dua petani di Desa Pagar Batu, Sumatera Selatan, terbunuh. Pada April, kriminalisasi terjadi pada masyarakat adat Sakai di Riau yang dipidanakan di tanah adatnya sendiri. Di Jambi, tanaman petani desa Lubuk Mandarsah diracun menggunakan drone oleh PT WKS (pemasok dari APP Sinar Mas). Alih-alih peka dengan kondisi rakyat, KLHK justru memilih “merayakan” Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan menfasilitasi korporasi-korporasi yang memiliki catatan panjang kejahatan lingkungan, pun ironisnya dibungkus dengan tajuk “kearifan lokal”, tanpa menghadirkan satupun masyarakat dalam panggung yang sama. WALHI juga mendesak agar negara berhenti memfasilitasi korporasi yang telah melakukan penghancuran lingkungan hidup, membakar iklim, merampas tanah rakyat, melanggar HAM.

Salam Adil dan Lestari

---------- ----------

Press Release
World Environment Day

The Environment ‘Living Space’ Threatened by Investment Regime

Jakarta, June 05 2020—Today's World Environment Day has entered the fifth decades. However, the environmental degradation and ecosystem changes due to extractive industries, both on land and sea are still rampant to happen. The current ongoing pandemic should also be a record of environmental damage as the consequences that would be accepted by all the living creatures on earth.

World Environmental Day 2020, should be a momentum the state to stop tolerating corporations that destroy environment. Nur Hidayati, WALHI National’s Executive Director states, "There is no room for negotiation for oligarchs and investment regimes that harm the people and environment, stop and revoke all discussions of regulations that threaten the environment, including Omnibus Law, and Minerba Law."

The current environmental threat in Indonesia is not only a pandemic, but also the rise of the investment regime. Massive threats to the environment can be seen in WALHI's record that 61.46% of the land is controlled by the plantation, forestry, mining and oil and gas sector corporations. The very high inequality is confirmed by the 2013 Central Agency on Statistics (BPS) land tenure ratio data which reached 0.68.31, meaning that 1% of the Indonesian population controlled 68% of the land. Environmental damage continues.

In current pandemic situation, instead of fulfilling people's rights, the state has issued policies that actually strengthen corporates’ control. In the second period of this Jokowi administration, a number of regulations which weaken environmental protection was passed, from Corruption Eradication Commission Law (KPK), Water Resources Law, Agricultural Cultivation Systems Law, and lastly, by turning a deaf ear and neglect various aspirations from the people, Minerba Law was passed and even the Omnibus Law ("CILAKA Bill" / Job Creation Bill) was forced into discussion amid a pandemic.

The people’s lives and Community’s Management Area (WKR) has experienced deterioration, instead of getting their rights fulfilled, criminalization during pandemic and conflicts continue to afflict the people. During the pandemic, criminalization of extractive industries is still happening. Since the beginning of March, there was criminalization of farmers in Penyang Village, Central Kalimantan, followed by the violence incident that took life two farmers in Pagar Batu Village, South Sumatra. In April, criminalization against Sakai indigenous community involved their customary land occurred in Riau. While in Jambi, the farmers' plantations in Lubuk Mandarsah Village poisoned using drones by PT WKS (supplier of APP Sinar Mas). Unfortunately, instead of being sensitive to the conditions of the people, Ministry of Environment and Forestry (KLHK) opt to "celebrate" World Environmental Day by facilitating corporations that have a long record of environmental crimes, and ironically wrapped with a heading of "local wisdom", without presenting any community on the same stage. WALHI also urges the state to stop facilitating corporations that have destroyed the environment, contributed to the climate change, seize people's land, violated human rights.