WALHI dan Sawit Watch Jakarta, 6 November 2017. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan industri kelapa sawit sangat berperan dalam pengentasan kemiskinan. Pernyataan ini dikatakan pada 13th Indonesia Palm Oil Conference di Bali tanggal 02/11/2017. Menurut Walhi dan Sawit Watch, dengan pernyataan ini, Menteri Darmin Nasution seperti menutup mata atas kerusakan lingkungan dan eksploitasi buruh di Perkebunan kelapa sawit. Deforestasi, eksploitasi lahan gambut, perampasan tanah petani, kerusakan sungai, pencemaran, alih fungsi lahan, dan dampak buruk lainnya dari pembukaan perkebunan kelapa sawit sangat berpotensi merugikan rakyat bahkan negara. Pada kasus kebakaran hutan dan lahan tahun 2015, kerugian rakyat dan negara mencapai 200 trilyun dalam waktu tiga bulan, ini belum dihitung kerugian kesehatan dan kematian. Negara bahkan harus membentuk suatu badan khusus untuk memulihkan dan merestorasi lahan gambut yang rusak karena Karhutla tahun 2013, 2014, 2015. Hingga saat ini WALHI, Sawit Watch beserta jaringan masih terus mendorong moratorium izin untuk menekan kerusakan lingkungan. “Menteri Darmin Nasution tidak menghitung kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan sebagai potensi kemiskinan bagi rakyat.” Kata Fatilda Hasibuan, Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Alih fungsi lahan pertanian dan lahan pangan untuk perkebunan juga marak terjadi, sehingga banyak masyarakat yang kehilangan tanah dan sumber penghidupannya. Data BPS Provinsi Jambi tahun 2015, luas lahan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Tanjung Jabung Timur hingga tahun 2013 sekitar 593 ribu hektar, sementara itu penurunan lahan pangan mencapai 10 ribu hektar dalam 3 tahun, 2009-2013. Provinsi Riau kekurangan 415 ton beras akibat alih fungsi lahan pangan ke perkebunan kelapa sawit.
Seiring dengan itu tranformasi petani atau masyarakat adat menjadi buruh pekebuanan juga tinggi, hal ini diseabkan tingginya peralihan tanah pertanian dan tanah masyarakat ke perkebunan kelapa sawit. Masyarakat yang dulunya hidup mandiri sebagai petani menjadi hidup tergantung kepada perusahaan perkebunan sebagai buruh. Pada kenyataanya buruh perkebunan saat ini hidup di bawah garis kemiskinan. Jam kerja yang tinggi, status buruh yang tidak jelas, sistem upah rendah, tidak adanya jaminan dan keselamatan kerja, buruh anak, dan minimnya pemenuhan hak-hak normatif buruh menjadi praktek di hampir seluruh perkebunan di Indonesia. Eksploitasi buruh perkebunan semakin tinggi karena minimnya pengawasan dari Menteri Tenaga Kerja. “Hasil pengamatan dan penelitian kami, hidup buruh di perkebunan sangat memprihatinkan, mayoritas mereka dieksploitasi dan nyaris hidup dibawah garis kemiskinan, Hal ini telah pernah kami beritahukan kepada Menteri Tenaga Kerja. Harusnya ini menjadi pertimbangan Menteri Darmin Nasution dalam membuat pernyataan.” Kata Inda Fatinaware Direktur Eksekutif Perkumpulan Sawit Watch Pernyataan Menteri Darmin Nasution ini adalah pernyataan yang tidak menghitung dampak buruk pembukaan perkebunan terutama kelapa sawit, baik dampak ekologi, ekonomi, sosial dan budaya. Pernyataan ini hanya mewakili kepentingan pengusaha, tidak mewakili masyarakat, terutama masyarakat yang bersinggungan langsung dengan perkebunan kelapa sawit, seperti petani, buruh pekebunan dan Masyarakat Adat. “Pernyataan sawit mengentaskan kemiskinan ini belum berdasar, data riil buruh perkebunan di Indonesia saja belum ada, karena kebanyakan buruh yang bekerja di perkebunan adalah Buruh Harian Lepas, dapat dipastikan buruh ini tidak terdaftar di Dinas Tenaga Kerja.” Katan Inda Fatinaware.*
Narahubung:
- Fatilda Hasibuan (WALHI) 081260767526
- Maryo Saputra (Sawit Watch) 085228066649