Mahkamah Agung Batalkan Peraturan Presiden No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan PLTSa di 7 kota

 width=

Jakarta, 28 Februari 2017 Permohonan Uji Materiil Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah terhadap Peraturan Presiden No. 18 tahun 2016 dengan Nomor Perkara 27 P/HUM/2016 dikabulkan Mahkamah Agung. Permohonan yang diajukan oleh 15 individu dan 6 LSM ini diajukan ke MA pada 19 Juli 2016 dan dikabulkan pada 2 November 2016. Salinan amar putusan para hakim yang diketuai oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum. dapat dilihat di laman Putusan Mahkamah Agung. Dengan dikabulkannya permohonan kami oleh Mahkamah Agung, kami meminta Presiden untuk mencabut dan membatalkan Perpres No. 18/2016 secepatnya sesuai dengan amar putusan MA. Pembatalan Perpres No.18/2016 ini merupakan kado Hari Peduli Sampah Nasional 2017 yang sangat penting dan mengingatkan kita semua bahwa pengelolaan sampah yang berkelanjutan adalah yang mengedepankan pertimbangan kesehatan manusia dan lingkungan dan mengedepankan prinsip kehati-hatian dini dalam penentuan teknologi. Kami berterimakasih kepada para hakim di Mahkamah Agung yang telah memproses permohonan kami dalam waktu 4 bulan sejak kami mengajukan permohonan,” ujar Dwi Retnastuti, salah satu pemohon individu yang tinggal di Griya Cempaka Arum, di daerah Gedebage yang merupakan salah satu opsi lokasi PLTSa. “Kami menghargai proses yang dilakukan MA yang telah memberi kesempatan kepada Termohon (dalam hal ini Presiden RI) untuk memberi tanggapan yang relevan dengan permohonan kami dan memberikan putusan terbaik dan adil bagi masyarakat luas. Optimisme pengurangan sampah dan perbaikan sistem pengelolaan sampah disampaikan pula oleh para pemohon, “Putusan ini memberi pelajaran bahwa percepatan pencapaian tujuan Undang-Undang Pengelolaan Sampah No.18/2008 harus dibarengi dengan strategi pengelolaan sampah yang menyeluruh, tidak hanya di ujung akhir pipa,” ujar Rahyang Nusantara, pengkampanye Indonesia Diet Kantong Plastik. “Upaya pengurangan timbulan sampah seharusnya semakin digencarkan di tingkat individu, sambil terus membangun sistem pengelolaan sampah yang mumpuni. Pemerintah seharusnya tidak cepat bosan mendisiplinkan warga,” tambahnya. Pemohon individu lainnya dari Makassar, Asrul Hoesein, menambahkan, “Dengan fokus ke pengelolaan di kawasan timbulan sampah dan optimalisasi fungsi TPS3R, sebetulnya pemerintah bisa meminimalisir sampah ke TPA.” Pengolahan sampah dengan teknologi termal seperti insinerator, gasifikasi dan pyrolysis sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Perpres 18/2016, membutuhkan kajian dan pertimbangan matang serta mendalam yang menyeluruh. Biaya investasi dan operasional yang tinggi serta dampak terhadap kesehatan dan lingkungan menjadi isu penting yang harus diantisipasi dalam penerapan teknologi termal tersebut.

Salah satu potensi emisi dan lepasan racun dari pengolahan sampah dengan teknologi termal adalah dioksin, yang telah disepakati oleh lebih dari 128 negara dalam Konvensi Stockholm untuk dicegah dan dieliminasi karena bersifat karsinogenik. “Dioksin adalah salah satu pencetus kanker yang dilepas dari proses pembakaran baik lewat udara, air maupun dalam sisa pembakaran,“ Yuyun Ismawati, Senior Advisor Balifokus, mengingatkan. “Sekitar 25% dari hasil pembakaran akan berupa abu, abu terbang dan kerak yang bersifat toksik dan harus diolah secara khusus karena termasuk kelompok limbah B3.” Bila setiap kota mengolah sekitar 1000 ton sampah per hari, potensi limbah B3 dari hasil pembakaran dengan teknologi termal akan menghasilkan sekitar 250 ton limbah B3 per hari. Hal ini akan membutuhkan penanganan di tempat pengolahan akhir sampah khusus untuk B3 dan tidak dapat dikirim ke TPA biasa. Baku mutu emisi dari fasilitas insinerator berkapasitas 1000 ton per hari baru dikeluarkan oleh Kementerian KLHK pada bulan Juli 2016 dan menyatakan bahwa pemeriksaan dioksin hanya cukup dilakukan setiap 5 tahun sekali. Meskipun baku mutu yang ditetapkan cukup ketat, tetapi arahan untuk pemeriksaan emisi dioksin hanya setiap 5 tahun sekali membuat Indonesia kelihatan tidak serius melindungi kesehatan masyarakat dan lingkungan. Padahal sebagai negara pihak dari Konvensi Stockholm yang sudah menyusun Rencana Implementasi Nasional penghapusan Polutan Organik yang Persisten sebagai persyaratan ratifikasi Konvensi Stockholm, seharusnya Indonesia mengurangi dan mencegah timbulnya emisi dioksin dan furan. “Pemerintah harus segera menyusun Strategi Nasional Pengelolaan Sampah yang terintegrasi dan menyeluruh, bukan hanya sampah rumah tangga saja,” ujar Dwi Sawung, Manager Kampanye Energi dan Urban WALHI Eksekutif Nasional, menegaskan. “Pembatalan Perpres 18/2016 seharusnya memberi pelajaran pada pembuat kebijakan agar mempersiapkan perangkat pengendalian potensi pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dari pengelolaan sampah di Indonesia agar berwawasan lingkungan, mendorong pemilahan sampah di sumber, minimisasi sampah, daur ulang dan circular economy serta mengadopsi pendekatan zero waste.” Adapun amar putusan MA adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh karenanya permohonan keberatan hak uji materiil dari Para Pemohon harus dikabulkan dan peraturan yang menjadi objek dalam perkara uji materiil a quo harus dibatalkan sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 2. Memerintahkan kepada Termohon untuk mencabut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar. 3. Memerintahkan kepada Panitera Mahkamah Agung untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara; 4. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta Rupiah). Kontak: Dwi Sawung, WALHI Eknas, 08156104606 | [email protected] Margaretha Quina, ICEL, 081287991747 | [email protected] Mochamad A. Septiono, BaliFokus, 081313653636 | tio@balifokus