slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Maraknya Kriminalisasi Anak Perusahaan Astra Group Terhadap Masyarakat Adat di Kabuyu | WALHI

Maraknya Kriminalisasi Anak Perusahaan Astra Group Terhadap Masyarakat Adat di Kabuyu

Maraknya Kriminalisasi Anak Perusahaan Astra Group Terhadap Masyarakat Adat di Kabuyu 

WALHI–Pada Rabu, 9 Maret 2022, Polsek Pasangkayu, Sulawesi Barat menangkap lima orang petani yang tergabung dalam perjuangan masyarakat adat Kaili Tado di Dusun Kabuyu, Desa Mertasari, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Kelima petani tersebut sebelumnya dilaporkan oleh sopir truk PT Mamuang, Andi Alamsyah, dalam kasus dugaan tindak pidana pengancaman sebagaimana dimaksud dalam pasal 335 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana. Penangkapan ini dilakukan setelah polisi mengeluarkan surat panggilan kedua kepada lima petani, di mana panggilan polisi pertama tidak diterima oleh petani. 

Kelima petani tersebut dicegat dalam perjalanannya untuk mendapatkan bantuan hukum, setelah berhasil diberhentikan oleh polisi, mereka dibawa ke Polsek Pasangkayu pada pukul 10.00 WITA dengan alasan akan dilakukan proses BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh pihak kepolisian atas laporan tindakan mengancam yang dilaporkan sebelumnya. 

Kelima petani tersebut adalah Agus (laki-laki, 66 tahun), Suarka (laki-laki, 66 tahun), Lodra (laki-laki, 58 tahun), Halima (perempuan, 55 tahun) dan Dedi (laki-laki, 30 tahun). Setelah melalui proses BAP yang panjang, tiga dari lima orang yang semula menjadi saksi kini ditetapkan sebagai tersangka, yakni Dedi, Agus, dan Suarka. 

Sejak masuknya PT Mamuang di wilayah mereka pada tahun 1991, kehidupan masyarakat di Dusun Kabuyu telah mengalami perubahan yang signifikan. Awalnya, masyarakat di Dusun Kabuyu mengelola tanah nenek moyang mereka untuk lahan pertanian produktif. Masyarakat menanam padi, jagung, kakao, kelapa dan berbagai jenis tanaman lainnya untuk menunjang penghidupan mereka. Namun, sejak PT Mamuang datang ke wilayah mereka, masyarakat hanya diperbolehkan mengelola lahan sempit di bantaran sungai Pasangkayu. Mereka kehilangan areal pengelolaannya karena diambil alih oleh PT Mamuang. Sejak awal perusahaan beroperasi, PT Mamuang telah menanam di luar HGU mereka. Hal ini dibuktikan dengan perkebunan kelapa sawit yang ditanam di sepanjang DAS Pasangkayu dengan jarak kurang dari 50 meter dari tepi sungai. PT Mamuang terbukti melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai, yang mengatur bahwa perusahaan kelapa sawit tidak boleh menanam di dalam garis sempadan, yaitu 50 meter dari tepi sungai. 

PT Mamuang yang merupakan anak perusahaan PT Astra Agro Lestari, perusahaan kelapa sawit terbesar kedua di Indonesia, memiliki daftar panjang kriminalisasi yang dilakukan terhadap masyarakat petani. Menurut catatan WALHI, sejak 2017 PT Mamuang mengkriminalisasi 7 petani yang sudah lama tinggal di dalam areal perkebunan, memperebutkan tempat tinggal karena disita oleh PT Mamuang. Dalam upaya kriminalisasi yang dilakukan oleh PT Mamuang, dilaporkan bahwa masyarakat adat Kaili Tado berjuang untuk mendapatkan tempat tinggalnya di tengah gempuran investasi kelapa sawit oleh PT Mamuang. Sejak PT Mamuang masuk ke wilayah masyarakat pada tahun 1991, PT Mamuang telah menanam 100 hektar di luar HGU mereka, yang merupakan tanah adat masyarakat Kaili Tado. Selama hampir 32 tahun, total 107 rumah tangga (KK) di Kabuyu hidup di tengah krisis ruang hidup yang terbatas, terpinggirkan oleh investasi kelapa sawit PT Mamuang. Mereka tinggal dan bertani di bantaran sungai Pasangkayu dan menjadi “tanggul hidup” perkebunan PT Mamuang. Perampasan ruang hidup masyarakat adat merupakan pola awal dari rusaknya kontrol investasi, memanfaatkan akses informasi yang terbatas dan keadaan miskin menutup hak-hak sipil untuk mengakui entitas warga, yang menjadi terbukanya ASTRA Investment untuk merampas tanah masyarakat sejak tahun 1991. 

Perlawanan masyarakat di Dusun Kabuyu untuk merebut kembali lahan mereka dimulai pada tahun 2003, ketika masyarakat menyadari bahwa PT Mamuang telah menanam di luar HGU mereka, seperti kelapa sawit yang terletak di sepanjang DAS Pasangkayu yang berjarak kurang dari 50 meter dari tepi sungai. Sejak saat itu, masyarakat Kaili Tado perlahan-lahan menempati lahan sawit yang ditanam PT Mamuang dan mengelola lahan di sekitar kawasan mereka. Perlawanan juga disampaikan dengan mengambil tindakan/aksi terhadap perusahaan dan pemerintah daerah untuk menuntut pengembalian tanah mereka. Pada tahun 2006, perusahaan kemudian mengerahkan sejumlah polisi dan preman perusahaan (centeng) untuk menindas dan mengintimidasi masyarakat agar membungkam perlawanan mereka yang telah berlangsung selama tiga tahun. 

Pada awal Januari 2022, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan No. SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 tentang Pencabutan Izin Pengusahaan Kawasan Hutan, meskipun konsesi PT Mamuang tidak termasuk dalam daftar perusahaan yang izin hutannya dicabut meski bermasalah, masyarakat adat Kaili Tado menganggap momen tersebut untuk melakukan reklamasi kembali lahannya. Setelah keluarnya SK tersebut, mereka kembali menempati areal lain yang sebelumnya ditanami oleh PT Mamuang yang diyakini sebagai tanah adat dan berada di luar areal HGU PT Mamuang. Setelah dua bulan menduduki, pada 27 Februari 2022 PT Mamuang, dengan pengawalan lengkap dari Polsek Pasangkayu, mengisolasi Desa Kabuyu dengan memutus sejumlah akses jalan bagi masyarakat Kaili Tado dengan membuat parit untuk menutup jalan. Mereka juga mengintimidasi masyarakat adat Kaili Tado dengan mengerahkan sejumlah preman. 

Penting untuk dicatat bahwa maraknya kriminalisasi yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit tidak hanya terjadi di Kabuyu atau dilakukan oleh PT Mamuang. Konflik yang kerap terjadi dan tak terhindari di lingkar perkebunan kelapa sawit tak luput dari kesalahan pemerintah dalam memastikan semua persyaratan terpenuhi. Sebagai contoh, dalam proses penerbitan izin perkebunan kelapa sawit, setiap perusahaan diwajibkan untuk memenuhi sejumlah persyaratan seperti seperti IUP, INLOK (Izin Lokasi), Pembebasan Lahan, dan HGU (Hak Guna Usaha). Namun, dalam setiap tahapan proses perizinan ada persyaratan yang tidak diselesaikan setiap tahapan perizinan sehingga menimbulkan masalah di proses perizinan selanjutnya. Hal ini juga dikarenakan lemahnya prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent) persetujuan bebas tanpa paksaan yang diberikan oleh masyarakat terdampak oleh perusahaan kelapa sawit. 

Merespon kriminalisasi yang sering dilakukan oleh PT Mamuang, Khairul Syahputra, Kepala Departemen Kampanye dan Advokasi WALHI Sulawesi Tengah menyatakan,”Hampir setengah abad Grup ASTRA di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat telah melakukan bisnis perkebunan sawit dengan merampas ruang penghidupan rakyat, dan menyebabkan kemiskinan struktural bagi masyarakat di lingkar investasinya. Masifnya konflik lahan antar masyarakat dan ASTRA hari ini merupakan akumulasi dari imbas bisnis yang dimulai dengan perampasan lahan. Kriminalisasi dan intimidasi dijadikan sebagai senjata oleh ASTRA untuk meredam perlawanan masyarakat yang hari ini menuntut kembalinya hak mereka.” Jelasnya. 

“WALHI mendesak ASTRA untuk mengembalikan tanah masyarakat yang telah dirampas dan menghentikan segala upaya kriminalisasi dan intimidasi terhadap warga. WALHI juga mendesak pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan audit kembali seluruh perolehan izin lahan milik ASTRA di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.” Tambah Khairul. 

 

Bukti video represifitas polisi:

https://youtu.be/9HZgCq6u9L0
https://youtu.be/jwk-giqv5ak

 

--- --- ---

Rampant Criminalization of ASTRA Group’s Subsidiary Against Indigenous People in Kabuyu

On Wednesday, March 9, 2022, the Pasangkayu Police, West Sulawesi, arrested five farmers who are members of the Kaili Tado indigenous people's struggle in Kabuyu sub-village, Mertasari Village, Pasangkayu Regency, West Sulawesi. The five farmers were previously reported by a PT Mamuang truck driver, Andi Alamsyah, in an alleged case threatening crime. This arrest came after the police issued a second summons to five farmers, in which the first police summons were not accepted by the farmers.

The five farmers were intercepted on their way to obtain legal assistance, after being successfully dismissed by the police, they were taken to the Pasangkayu Police Station at 10.00 WITA on the grounds that a BAP (Minutes of Investigation) process would be carried out by the police, on reports of threatening action that was previously reported.

The five farmers are Agus (male, 66 years old), Suarka (male, 66 years old), Lodra (male, 58 years old), Halima (female, 55 years old) and Dedi (male, 30 years old). After going through a long BAP process, three of the five people who were originally witnesses are now named suspects, they are Dedi, Agus and Suarka.

Since the entry of PT Mamuang in their area in 1991, the lives of the people in Kabuyu Village have undergone significant changes. Initially, the people in Kabuyu sub-village managed their land of their ancestors for productive agricultural land. The community grew rice, corn, cocoa, coconut and various other types of crops to support their livelihoods. However, since PT Mamuang came to their area, the community was only allowed to manage a narrow space on the Pasangkayu river banks. They lost their management area because it was taken over by PT Mamuang. Since the start of the company's operations, PT Mamuang has planted outside their HGU. This is evidenced by the oil palm plantations planted along the Pasangkayu River watershed at a distance of less than 50 meters from the river bank. PT Mamuang has been proven to have violated Government Regulation No. 38 of 2011 concerning Rivers, which stipulates that oil palm companies are not allowed to plant within the boundary line, which is 50 meters from the riverbank.

PT Mamuang, which is a subsidiary of PT Astra Agro Lestari, the second largest palm oil company in Indonesia, has a long list of criminalizations committed against the farmers community. According to WALHI records, since 2017 PT Mamuang has criminalized 7 farmers who have long lived within the plantation area, fighting for their living space because PT Mamuang confiscated them. In the criminalization effort carried out by PT Mamuang, it is reported that the indigenous people of Kaili Tado are fighting for their living space in the midst of crushing palm oil investment by PT Mamuang. Since PT Mamuang's entry into community areas in 1991, PT Mamuang has planted 100 hectares outside their HGU, which is the customary land of the Kaili Tado community. For almost 32 years, a total of 107 households in Kabuyu has been living in the midst of the crisis of limited living space, marginalized by PT Mamuang's palm oil investment. They live and farm on the banks of the Pasangkayu river and become the “living embankment” of PT Mamuang's plantation. The deprivation of the living space of indigenous peoples is the initial pattern of depraved investment control, taking advantage of limited access to information and the poor state of shutting down civil rights to recognize citizens' entities, which are the openings for ASTRA Investment to confiscate land since 1991.

The community's resistance in Dusun Kabuyu to reclaim their living space began in 2003, when the community realized that PT Mamuang had planted outside their HGU, such as oil palm which is located along the Pasangkayu watershed which is less than 50 meters from the edge of the watershed. Since then, the people of Kaili Tado have been slowly occupying the oil palm land planted by PT Mamuang and managing the land around their area. The resistance was also conveyed by taking action against companies and local governments to demand the return of their land. In 2006, the company then mobilized a number of police and company thugs to repress and intimidate the community to silence their resistance that had been going for three years.

In the beginning of January 2022, the Indonesian government issued a Decree No. SK.01/MENLHK/SETJEN/KUM.1/1/2022 concerning Revocation of Forest Area Concession Permit, although PT Mamuang’s concession is not listed one the list of companies whose forest permits is revoked despite the being problematic, the Kaili Tado indigenous group deemed the moment to reclaim again their land. After the issuance of the decree, they have again occupied another area previously planted by PT Mamuang which is believed to be customary land and is outside the HGU area PT. Mamuang. After two months of occupation, on February 27, 2022 PT. Mamuang, with complete escort from the Pasangkayu Police, isolated Kabuyu Village by severing a number of access roads for the Kaili Tado community by making a ditch to block the road. They also intimidated the Kaili Tado indigenous community by mobilizing a number of thugs (centeng).

It is important to note that the rampant criminalization by palm oil companies does not only occur in Kabuyu or committed by the PT Mamuang. The inevitable conflicts that often occur around oil palm plantations are also the fault of the government in ensuring that all requirements are met. For instance, in the process of issuing oil palm plantation permits, each company is required to meet a number of requirements, such as IUP, INLOK (Location Permits), Land Acquisition, and HGU (Land Use Rights). However, in each stage of the licensing process there are requirements that are not completed at each stage of the licensing process, causing problems in the next licensing process. This is also due to the weakness of the principle of Free Prior Informed Consent (FPIC) given by communities affected by palm oil companies.

In response to the rampant criminalization committed by ASTRA Group’s subsidiary, Khairul Syahputra, the Head Department of Campaign and Advocacy of WALHI Central Sulawesi stated. “ASTRA group in Central and West Sulawesi have been in the palm oil plantation industry for about half a century, robbing people of their livelihoods and producing structural poverty in the affected community. Today's massive land conflicts between communities and ASTRA are the result of a cascade of business effects that began with land grabbing. ASTRA has used criminalization and intimidation as weapons to subdue the struggle of the community, which now seeks the restoration of their rights.”

“WALHI demands that ASTRA return the confiscated community lands to the community and stop any means of Stop criminalizing and threatening the community, and reconstruct and re-evaluate all of Astra’s permits.” he adds.

See the footages below:

https://youtu.be/9HZgCq6u9L0

https://youtu.be/jwk-giqv5ak