slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Melampaui Diplomasi Kompensasi dan Dana Mitigasi | WALHI

Melampaui Diplomasi Kompensasi dan Dana Mitigasi

Beberapa hari lalu, Presiden Joko Widodo dan Presiden Brasil Luis Inacio Lula da Silva bertemu dan membicarakan aliansi hutan tropis di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi G7 di Hiroshima, Jepang. Aliansi ini didorong untuk ”menyelamatkan” sembari terus ”memanfaatkan hutan tropis”.

Sayangnya, ”memanfaatkan hutan tropis” seolah lebih diutamakan oleh aliansi ini. Sebab, pembicaraan Jokowi dan Lula dititikberatkan hanya pada dua hal, yaitu menagih komitmen penyediaan dana mitigasi dan menagih kompensasi dari negara-negara maju. Kritik pertama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) tidak ada yang berubah dari paradigma para pemimpin negara ini, yaitu komodifikasi hutan.

Sebagai pemilik hutan tropis terbesar dunia, seharusnya Indonesia, Brasil, dan Kongo meletakkan pengakuan dan pelindungan hak rakyat atas hutan, serta berhenti mengubah hutan menjadi konsesi-konsesi izin ekstraktif menjadi dasar penyelamatan hutan tropis tersisa di tiga negara ini.

Bukan hanya itu, menagih tanggung jawab negara-negara maju untuk mengurangi konsumsi mereka atas industri berbasis ekstraktif, serta berhenti mendanai korporasi-korporasi yang terbukti merusak lingkungan, hutan, dan ruang hidup rakyat menjadi poin diplomasi yang seharusnya dibangun oleh ketiga pemimpin negara ini. Sebab, eksploitasi roh material yang masif terjadi di Indonesia salah satunya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi negara-negara maju.

Misalnya perkebunan sawit yang luasnya melejit. Pada 2009, perkebunan sawit di Indonesia seluas 7,2 juta hektar, tetapi kini mencapai 16 juta hektar. Ekspansi sawit ini tidak bisa dilepaskan dari permintaan global, salah satunya Uni Eropa. Sejak pemberlakuan Renewable Energy Directive pada 2008, konsumsi sawit untuk biodiesel di UE meningkat secara signifikan. Konsumsi ini dipenuhi melalui impor minyak sawit dan Indonesia menjadi pengekspor minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Setidaknya pada 2018, Uni Eropa mengonsumsi 53 persen dari semua minyak sawit impor untuk biodiesel, selain itu 12 persen dari impor minyak sawit digunakan untuk pemanas dan listrik. Artinya, 65 persen dari impor minyak sawit dibakar untuk menjadi biofuel, sedangkan sisanya untuk pangan dan keperluan industri oleokimia (Transport and Environment, 2019). Bukan hanya memenuhi konsumsi Uni Eropa, Indonesia juga memenuhi konsumsi negara-negara di benua lainnya, seperti Asia, Afrika, Australia, dan Amerika.

Alih-alih menekan konsumsi, sebagai upaya mendasar menekan eksploitasi material di negara-negara produsen, salah satunya Indonesia, justru negara-negara maju di Uni Eropa dan Amerika memainkan beberapa strategi, seperti mendorong ekosistem kendaraan listrik dengan membangun beberapa industri baterai serta kendaraan listrik, seperti di Jerman, Perancis, Spanyol, dan Finlandia.

Bencana Ekologis
Saat ini sekitar 33 juta hektar hutan Indonesia sudah dibebani izin di sektor kehutanan. Sementara lebih kurang 4,5 juta hektar wilayah izin usaha pertambangan berada di wilayah tutupan hutan dan ada 3,3 juta hektar sawit dalam kawasan hutan. Ini belum termasuk proyek-proyek lumbung pangan (food estate) di kawasan hutan. Bukan hanya itu, hingga Juni 2022 berdasarkan catatan Walhi, sekitar 8,5 juta hektar hutan tropis Indonesia telah dilepaskan, 71 persennya atau 6 juta hektar untuk perkebunan monokultur sawit.

Masifnya izin konsesi di hutan ini pada akhirnya menyebabkan bencana ekologis di mana-mana. Walhi mendefinisikan bencana ekologis sebagai ”akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam sehingga mengakibatkan hancurnya daya dukung dan daya tampung lingkungan serta rusaknya ekosistem dan kehidupan rakyat”.

Walhi mencatat dalam delapan tahun terakhir (2015-2021) intensitas kejadian bencana terus meningkat yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi. Meskipun pada 2022 angka kejadian bencana menurun, jumlah korban meninggal meningkat dari tahun sebelumnya.

Kita harus membayar mahal atas kerusakan-kerusakan dan bencana ekologis yang disebabkan oleh gagalnya negara melakukan perlindungan hutan-hutan Indonesia.

Kebakaran hutan dan lahan akibat masifnya izin konsesi di kawasan hutan dan gambut juga tidak dapat dihindari setiap tahun. Per April 2023 terpantau 334 titik api dan berdasarkan pantauan Walhi 164 titik api berada di konsesi izin perusahaan. Hal yang sama juga terjadi pada 2015 dan 2019.

Fakta ini kemudian menunjukkan bahwa kita harus membayar mahal atas kerusakan-kerusakan dan bencana ekologis yang disebabkan oleh gagalnya negara melakukan perlindungan hutan-hutan Indonesia. Situasi ini tentu akan terus memburuk pasca Undang-Undang Cipta Kerja berlaku kembali sebab target utama menarik investasi sebanyak-banyaknya ke Indonesia disertai dengan melemahnya instrumen pelindungan lingkungan serta penegakan hukum adalah ruh dari undang-undang ini.

Jurang Ketimpangan
Bukan hanya menimbulkan bencana ekologis, timpangnya pemberian akses kepada rakyat atas hutan yang menjadi wilayah kelola mereka menambah panjang cerita konflik agraria. Dari 46 juta hektar hutan yang telah dibebani perizinan dan pelepasan kawasan hutan, akses kelola yang diberikan kepada rakyat hanya 5 juta hektar melalui hutan sosial.

Secara spesifik di era Jokowi yang memimpin dua periode, capaian perhutanan sosial melalui skema hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), kemitraan kehutanan (KK), hutan tanaman rakyat (HTR), izin pemanfaatan perhutanan sosial (IPPS), dan hutan adat hanya 3 juta hektar. Capaian ini hanya 21 persen dari target 12,7 juta hektar.

Di tengah capaian yang jauh dari target, banyak Wilayah Kelola Rakyat(WKR) yang diajukan untuk secara formal mendapatkan pengakuan dari negara masih terhambat, misalnya pengajuan hutan adat. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat adanya 19,5 juta hektar hutan adat yang secara faktual dikelola masyarakat adat di Indonesia.

Hal yang sama juga dialami oleh pengajuan Perhutanan Sosial dan Tanah Obyek Reforma Agraria (PS dan TORA) seluas 1,1 juta hektar yang diajukan Walhi, hanya 7 persen atau 82.000 hektar yang telah diakui secara formal melalui surat keputusan. Padahal, di atas wilayah kelola ada 150.000 keluarga yang menggantungkan hidup mereka. Sementara 46 juta hektar hutan yang telah dibebani perizinan ekstraktif dan pelepasan kawasan hutan tersebut dinikmati hanya oleh 10 besar grup perusahaan.

WKR Sebagai Basis
Hanya dengan perluasan pengakuan serta pelindungan WKR dari ancaman izin-izin ekstraktiflah Indonesia, Brasil, dan Kongo dapat memimpin aksi mitigasi iklim serta penyelamatan hutan tropis dunia. Maka dibutuhkan tindakan korektif terhadap kebijakan pelindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia, yang meletakkan pelindungan serta pemulihan hak rakyat dan lingkungan sebagai hal yang mendasar. Tindakan inilah yang akan membangun posisi tawar Indonesia di mata global untuk dapat mendesakkan tanggung jawab negara maju untuk penyelamatan iklim dan hutan tropis Indonesia.

Aliansi hutan tropis yang diinisiasi Indonesia, Brasil, dan Kongo ini tidak boleh hanya diarahkan kepada memanfaatkan hutan tropis untuk menagih komitmen penyediaan dana mitigasi, menagih kompensasi dari negara-negara maju, atau bahkan berdagang karbon, baik menggunakan skema offset maupun skema pasar. Sebab, hal ini akan terus melanggengkan paradigma komodifikasi alam dan tentu akan mengalienasi rakyat dari ruang hidup dan wilayah kelolanya.

Skema offset yang dianggap sebagai penyeimbang karbon menjadi roh dari proposal ini. Skema offset merupakan izin yang diberikan untuk tetap mencemari, merusak, dan melepas emisi dengan menjaga stok karbon di tempat lain. Penyeimbangan karbon ini akan terus memperpanjang usia industri berbahan bakar fosil secara khusus dan industri ekstraktif lainnya secara umum.

Sektor hutan dan lahan dijadikan sasaran offset. Solusi berbasis alam yang dirancang untuk penyeimbang karbon tidak lebih dari rebranding pendekatan lama pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi lahan (REDD). Penyerap karbon alami melalui penanaman pohon, pemulihan lahan dan tanah, ditambah dengan kredit karbon (REDD) kemudian membentuk solusi berbasis alam. Para kontributor besar emisi tentunya akan lebih memilih pendekatan Nature Based Solution karena lebih murah dan sudah tersedia di alam.

Perbedaan mendasar dari WKR dengan solusi berbasis alam (offset dan carbon market) adalah penghormatan terhadap keterhubungan antara manusia dan alam yang setara dan holistik. Alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sementara penyeimbang karbon (offset) meletakkan alam sebatas modal yang menyediakan jasa layanan ekosistem dan peluang untuk mendapat keuntungan.

Selain itu, WKR meletakkan hak rakyat atas wilayah kelolanya untuk membangun sistem tata kelola, tata produksi, dan tata konsumsi yang berangkat dari pengetahuan lokal dan pengalaman hidup bersama. Sementara penyeimbang karbon meletakkan kendali korporasi, lembaga kapital keuangan, dan perusahaan teknologi informasi atas aset fisik (tanah, hutan, dan ekosistem lainnya) yang ditujukan untuk meraup keuntungan dan mempertegas dampak lingkungan.

Uli Arta Siagian,
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional

Dimuat di https://www.kompas.id/baca/opini/2023/06/01/melampaui-diplomasi-kompensasi-dan-dana-mitigasi