Melawan Kolonialisme Ibu Kota Nusantara

 

Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI

Pada penghujung periode kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pernyataan yang sangat ironis mengenai bau-bau kolonialisme (reek of colonialism) yang ada di Istana Merdeka Jakarta dan Istana Bogor. Pernyataan ini dikemukakan Jokowi beberapa hari menjelang peringatan 17 Agustsus 2024 yang akan diperingati di Ibu Kota Nusantara (IKN), di Kalimantan Timur.

Istilah ‘bau-bau kolonialisme’ yang keluar dari mulut Jokowi penting untuk dikritik secara serius. Pasalnya, di balik nama Jakarta, sebagai kota pelabuhan terpenting di Asia Tenggara pada lampau, tersimpan aroma harum para pejuang yang telah mengorbankan harta, jiwa, dan raga mereka untuk merebut kemerdekaan. Oleh karena itu penamaan Jakarta, yang diambil dari dua kata jaya dan karta, menggambarkan spirit kemerdekaan melawan kolonialisme.

Tak hanya itu, untuk menggenapi makna dan perjuangan mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, dicetuskanlah ide pembangunan masjid yang menjadi simbol perjuangan rakyat Indonesia. Pencetusnya adalah Menteri Agama yang pertama, yaitu KH Wahid Hasyim. Ide ini kemudian realisasikan dengan membangun Masjid Istiqlal. Secara kebahasaan, Istiqlal bermakna kemerdekaan.

Pembangunan Masjid Istiqlal melambangkan bahwa kemerdekaan Republik Indonesia diraih bukan karena keberhasilan aspek materil semata, seperti senjata. Lebih jauh, menggambarkan keberhasilan para pendiri Indonesia menaklukkan ambisi pribadi dan hawa nafsu mereka sehingga mampu melawan koloniaslime serta mendirikan negara yang didesain untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Inilah inti terpenting dari spiritualitas yang terkandung di balik nama Istiqlal. Hanya tunduk kepada Tuhan Yang Maha Esa, anti terhadap penjajahan, dan melayani kepentingan bersama tanpa membeda-bedakan.

Lebih dalam lagi, pembangunan Masjid Istiqlal menjadi penanda bahwa mengisi kemerdekaan jangan hanya berhenti pada perayaan material semata. Kemerdekaan wajib diwujudkan dengan cara menciptakan keadilan dalam semua aspek kehidupan publik di Indonesia.

Begitu pula dengan Istana Bogor, Jokowi wajib dikritik karena setelah dua periode menikmati Istana ini ia menyebut bau kolonialisme. Jokowi lupa, bahwa nama yang diberikan oleh pemerintah kolonial, yaitu Gemeente Buitenzorg telah diubah menjadi Bogor pada tahun 1950. Pengubahan nama ini jelas menunjukkan bahwa pengaruh kolonial telah dihilangkan oleh para pendiri Republik ini.

Kolonialisme IKN

Pernyataan Jokowi mengenai ‘bau kolonialisme’ seolah membuka kontak pandora. Bau Kolonialisme yang ia sebut ada di Istana Jakarta dan Bogor, sesungguhnya ia hidupkan di istana baru di jantung lokasi IKN. Meminjam pandangan Naomi Klein, kolonialisme selalu memandang dunia ini sebagai ruang kosong dan karena itu diperlakukan sebagai wilayah penaklukan, bukan sebagai rumah bersama. Pikiran kolonial memupuk keyakinan bahwa selalu ada tempat lain untuk dituju dan dieksploitasi begitu saja.

Pandangan Klein tersebut dapat kita temukan di IKN dalam sejumlah bukti sebagai berikut: Pertama, wilayah IKN dan sekitarnya diperlakukan sebagai ruang kosong tanpa masyarakat yang hidup dan mengelola sumber daya alam yang ada. Padahal telah terdapat masyarakat adat, baik di darat maupun di Pesisir Balikpapan, yang telah hidup jauh sebelum Indonesia Merdeka pada tahun 1945.

Karena wilayah IKN dianggap kosong, Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN. Perpes ini memberikan konsesi Hak Guna Usaha (HGU) yang sangat panjang bagi pengusaha untuk berinvestasi selama 190 tahun. Selain HGU, Perpres tersebut memberikan konsesi Hak Guna Bangunan selama 160 tahun.

Perpres ini menjelaskan bahwa di IKN hanya ada kepastian hukum untuk investor, tetapi tak ada kepastian hukum untuk masyarakat.

Kedua, kawasan Teluk Balikpapan yang merupakan perairan tradisional bagi lebih dari 10 ribu nelayan tradisional dianggap sebagai ruang kosong. Pembangunan IKN terbukti Teluk Balikpapan yang memiliki luas 16.000 hektar, serta memiliki 33 pulau kecil ini.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (IKN) yang kemudian diubah menjadi UU No. 21 Tahun 2023 menyebutkan bahwa untuk mendukung proyek IKN akan dibangun dua pelabuhan penting, yaitu: pertama, Pelabuhan Semayang yang terletak di Teluk Balikpapan. Fungsinya, sebagai pelabuhan umum yang memiliki jalur pelayaran internasional serta melayani rute penumpang jarak jauh; kedua, Terminal Kariangau berada lebih jauh ke pedalaman di Teluk Balikpapan. Fungsinya sebagai pelabuhan kargo internasional.

Rencana pembangunan dua pelabuhan skala besar tersebut akan semakin memperburuk daya dukung dan daya tampung bentang alam Teluk Balikpapan yang kini telah dibebani izin industri seluas 3.917 hektar. Dalam narasi pembangunan IKN, Teluk Balikpapan hanya ditempatkan sebagai pelengkap bahkan objek eksploitasi. Nasibnya tak jauh berbeda dengan Teluk Jakarta. Lebih jauh, UU IKN tidak memasukan Teluk Balikpapan sebagai kawasan perlindungan yang dikelola oleh masyarakat.

Sebelumnya, Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2021-2041 (Perda Zonasi Kalimantan Timur) telah mengalokasikan Teluk Balikpapan sebagai zona pelabuhan. Akibatnya regulasi tersebut, keluarga nelayan yang tinggal di 27 desa pesisir di sepanjang Teluk Balikpapan, dipaksa harus menangkap ikan lebih jauh ke Laut Jawa atau Selat Makasar.

Merujuk pada Perda Zonasi Kalimantan Timur Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Tahun 2021-2041, pemukiman nelayan hanya dialokasikan seluas 31,80 hektare. Ini adalah peminggiran terencana bagi lebih dari 10 ribu nelayan yang setiap hari pergi melaut di Teluk Balikpapan.

Pembangunan IKN juga terbukti mempercepat hilangnya ekosistem mangrove. Perda Zonasi Kalimantan Timur Tahun 2021 bahkan tidak mengalokasikan satu hektar pun mangrove. Padahal di kawasan perairan ini terdapat mangrove seluas 16.800 hektar yang terdiri dari 33 spesies. Berbagai kajian yang disusun oleh aliansi masyarakat sipil di Kalimantan Timur menyebut setidaknya 1.800 hektar ekosistem mangrove di Teluk Balikpapan telah hilang akibat aktivitas industri dan pembangunan dua pelabuhan besar untuk mendukung IKN.

Demikianlah, watak kolonialisme selalu memandang dunia sebagai ruang kosong. Di situlah ia melakukan reteritorialisasi dan reorganisasi ruang untuk melayani kepentingan modal, dengan menyingkirkan masyarakat dan menghancurkan lingkungan hidup. Pada titik ini, Jokowi sedang menghidupkan kolonialisme di IKN. (*)

Tulisan dimuat di Koran Tempo pada Jum’at 30 Agustus 2024
(https://koran.tempo.co/read/opini/489719/watak-kolonialisme-ikn)