Siaran Pers
WALHI – SOB – ELSAM – Greenpeace – ICEL – LBH Palangkaraya – dst
Membuka Tabir Gelap Dampak Pahit Konflik Agraria di Desa Penyang
Jakarta, 5 Mei 2020 – Lebih seminggu Hemanus, pejuang agraria dan lingkungan hidup Desa Penyang, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah meninggal. Masa berkabung atas meninggalnya Hermanus tidak membuat sidang ditunda. Persidangan bernuansa kriminalisasi terhadap dua pejuang Desa Penyang lainnya, James Watt dan Dilik terus berlanjut. Bahkan konflik agraria sebagai akar persoalan meninggalnya Hermanus sedikitpun tidak diperhatikan oleh penegak hukum, Pemerintah Pusat dan Daerah. Investasi perkebunan kelapa sawit PT. Hamparan Masawit Bangun Persada terus beraktivitas normal di atas duka dan penderitaan masyarakat Desa Penyang.
Dimas N. Hartono, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah menyebut bahwa proses penegakan hukum yang sedang berlangsung berada di luar nalar kemanusiaan. Hilang tanah, hilang nyawa malah dijawab dengan proses penegakkan hukum yang hanya melayani kepentingan PT. HMBP. Investasi kelapa sawit lebih berharga dibanding nyawa masyarakat adat dayak Tomuan. Mahkamah Agung, Kejaksaan dan Polri harus melakukan pemeriksanaan internal kepada seluruh personilnya yang terlibat dalam proses ini. Apakah semua proses sesuai dengan nilai kemanusiaan dan dilakukan secara patut, hati-hati dan teliti.
Mencari Penyebab Meninggalnya Hermanus
Hermanus telah wafat di Rumah Sakit dr Murjani Sampit Minggu, 26 April 2020 sekitar pukul 00.30. Kondisi Hermanus yang dari sidang pertama dalam kondisi sakit dan mengikuti proses dengan kursi roda terus menurun dan semakin parah selama berada di tahanan Polres Kotawaringin Timur. Menurut keterangan James Watt dan Dilik kondisi Hermanus semakin parah pada Jumat sore 24 April 2020. Ia sudah mulai sulit menggerakkan anggota badannya. Dalam kondisi seperti ini pun, Hermanus masih mendapat perlakuan kasar atau pemukulan oleh oknum petugas Polres. Sabtu pagi kondisinya semakin memburuk, tapi Polisi yang bertugas tetap tidak berinisiatif mengantarkannya ke rumah sakit. Baru pada malam hari sekitar pukul 21.00 pada Sabtu, 25 April 2020, Hermanus dibawa ke rumah sakit dan sayangnya tidak mampu bertahan dan meninggal.
Kronologi singkat di atas dapat menggambarkan bahwa meninggalnya Hermanus bukan hanya karena sakit, tapi ada kelalaian Polres Kotawaringin Timur. Asep Komarudin, Greenpeace, menyatakan, “Dengan membiarkan Hermanus sakit tanpa perawatan yang layak dapat ditafsirkan penyebab utama meninggal, Apabila ditarik lebih panjang, penolakan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan Hermanus dan penasehat hukumnya sebanyak tiga kali ditolak Hakim jadi faktor lain penyebab meninggalnya Hermanus”. Alasan Hakim rekomendasi rawat jalan yang diberikan dokter untuk permohonan penangguhan dan meminta penasehat hukum untuk mencari second opinion merupakan alasan yang tidak logis. Penasehat Hukum tentunya tidak dapat membawa Hermanus keluar dari tahanan untuk mendapatkan hasil tersebut.
Lebih jauh lagi, apa penyebab Hermanus meninggal? Tentunya jawabannya adalah konflik agraria. Konflik yang terjadi telah mengantar Hermanus menjadi pesakitan melalui proses pemindanaan yang dipaksakan atau lazim dikenal dengan istilah kriminalisasi. Ia kehilangan tanah dan kehilangan nyawa. Bagaimana nasib keluarganya? Tentunya Hakim, Jaksa dan Polisi tidak ambil pusing. PT. HMBP pun sama tidak pedulinya.
Sejarah Konflik Agraria
Konflik agraria yang terjadi di Desa Penyang telah berlangsung sejak 2003, ketika proses perizinan perkebunan kelapa kelapa sawit oleh PT. Karya Agung Subur Kencana. Selanjutnya, pada Juli 2005 izin yang diperoleh PT. Karya Agung Subur Kencana dialihkan kepada PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP). Peralihan izin ini yang menjadi dasar PT. HMBP melakukan aktivitas tanam. Sayangnya, PT. HMBP melakukan penanaman di luar lokasi Hak Guna Usaha (HGU), diantaranya seluas 117 hektar merupakan milik masyarakat Desa Penyang.
Andi Muttaqien, ELSAM, mengungkapkan, “Berdasarkan kronologis yang telah disusun warga, sejak tahun 2005, masyarakat tidak dapat melakukan aktivitas pertanian dan perkebunan di tanahnya. PT. HMBP telah menanam kelapa sawit di tanah masyarakat. Kondisi ini mengakibatkan masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian. Bahkan setelah produktif dan dapat dipanen hasilnya, PT. HMBP melakukan aktivitas panen tanpa memberikan hasil keuntungan kepada masyarakat”. Selain tidak mempunyai legalitas hak atas tanah, lokasi perkebunan seluas 117 hektar juga diindikasikan tidak disertai dokumen Izin Usaha Perkebunan (IUP). Apabila merujuk ketentuan pidana dalam UU Perkebunan, baik Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 dan Undang-undang 39 tahun 2014, aktivitas perkebunan dengan luas lebih dari 25 hektar harus dilengkapi dokumen IUP. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan salah satu tindak pidana yang diatur dalam UU Perkebunan.
Terdapat berbagai dokumen yang dapat dijadikan alat bukti kepemilikan masyarakat terhadap 117 hektar lokasi perkebunan yang dirampas PT. HMBP. Keberadaan hak masyarakat pun telah diakui oleh PT. HMBP melalui surat pernyataan yang ditandatangani oleh M. Wahyu Bima Dhakta (Manager Legal) dan M. Arif Hidayat NST (Supervisor Legal), bertindak untuk dan atas nama PT. Hamparan Masawit Bangun Persada. Beberapa surat Bupati Kotawaringin Timur, Panitia Khusus Perkebunan Besar Swasta (PBS) Sawit Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kotawaringin, Komnas HAM dan lainnya dalam rentang waktu 2006 s/d 2019 secara tegas menyatakan bahwa 117 hektar lokasi yang berkonflik bukan bagian dari HGU PT. HMBP dan harus dikembalikan kepada masyarakat, diberikan kompensasi penggunaan tanah secara sepihak dan pengelolaan dengan skema kemitraan.
Berbagai rekomendasi ini tidak pernah dilakukan PT. HMBP, bahkan melaporkan masyarakat yang berjuang atas tanah dan sumber penghidupannya. James Watt, Almarhum Hermanus dan Dilik dilaporkan ke Polda Kalimantan Tengah dan dijemput paksa di Jakarta. Apabila penegakan hukum hendak didorong lebih adil, tentunya pemeriksaan dokumen IUP dan HGU PT. HMBP harus dilakukan. Apakah lokasi perkebunan tanpa HGU dan indikasi tanpa IUP di atas tanah masyarakat dapat dikatakan sebagai pencurian? Terlebih hasil panen yang diperoleh perusahaan tidak pernah dibayarkan pada masyarakat. Bahkan apabila benar lokasi itu ditanam tanpa IUP, seharusnya PT. HMBP-lah yang terlebih dahulu harus dimintakan pertanggungjawaban pidananya.
Perkembangan Proses Persidangan
Saat ini proses persidangan sudah proses ke lima, dimana pada tanggal 4 Mei 2020, sidang pemeriksaan pokok perkara (pembuktian) kasus 3 pejuang agraria & lingkungan Desa Penyang digelar. Sidang dilakukan secara daring dengan agenda pemeriksaan saksi dari pihak Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dari 11 saksi yang direncanakan, hanya 9 orang saksi yang hadir dan memberikan kesaksian. Para saksi terdiri dari sekuriti dan karyawan PT. Hamparan Masawit Bangun Persada (HMBP), anggota Brimob yang membantu pengamanan perusahaan, pengurus (ketua dan penasihat) Koperasi Keluarga Sejahtera Bersama.
Kuasa Hukum, Fidel Harefa, menyatakan, “Banyak saksi yang tidak memiliki informasi terkait kasus. Menurut kesaksian sejumlah saksi, beberapa informasi dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) baru diketahui dari penyidik ketika investigasi di Kepolisian. Para saksi mengarahkan pada adanya kerugian yang diderita PT. HMBP dan Koperasi Keluarga Sejahtera Bersama sebagai mitra perusahaan atas dugaan pencurian yang dilakukan terdakwa”. Dia menambahkan, “Banyak keterangan yang membingungkan dari Ketua Koperasi Keluarga Sejahtera Bersama, Dias Matongka. Ia mengaku tidak yakin akan hak kepemilikan atas lahan sengketa meski merasa dirugikan. Dias Matongka juga mengaku berjuang sendiri untuk memperoleh hak dari perusahaan hingga tercapai berbagai kesepakatan dan tidak memiliki konflik dengan warga Penyang”. Lahan yang diperjuangkan menurutnya seluas 16 hektar dengan total lahan yang dimitrakan sekitar 114 Ha Padahal dalam surat-surat resmi yang dikeluarkan instansi terkait yang menyebut "Dias Matongka dkk" berjumlah total 117 hektar. Sedangkan penasihat Koperasi tidak memiliki informasi terkait, melainkan hanya informasi yang bersumber dari Dias Matongka.
Ketika berjalannya sidang, beberapa kali saksi berusaha mengoreksi saksi lainnya yang sedang diuji. Hal ini mendapatkan teguran dari salah seorang Penasihat Hukum yang sengaja turut di ruang saksi. Apalagi karena ternyata ruang sidang dimana saksi dan JPU berada tidak dijaga oleh staf dari pihak Kejaksaan. Bahkan tim media dari Koalisi Keadilan untuk Pejuang Agraria dan Lingkungan Deda Penyang tidak diperbolehkan untuk melakukan peliputan dari ruang saksi.
Sidang yang dimulai sejak pukul 13.30 WIB ini berlangsung cukup lama hingga pukul 20.00 WIB. Sidang akan dilanjutkan Senin depan (11/5/2020) dengan agenda pengujian saksi dari pihak terdakwa dan tim Penasihat Hukum. Rencananya sebanyak 10 saksi dimana 2 diantaranya merupakan saksi ahli untuk kedua terdakwa akan dipanggil.
Perjuangan Tidak Berhenti
Kehilangan tanah dan nyawa tidak membuat masyarakat Desa Penyang menyerah. Mereka tidak mau meninggalnya Hermanus menjadi sia-sia. Hilang saudara seperjuangan, tidak boleh diikuti hilang tanah. Masyarakat masih konsisten berjuang untuk mendapatkan tanahnya yang dirampas PT. HMBP. Selain itu, keluarga Hermanus dan masyarakat juga meminta agar penyebab meninggalnya Hermanus harus diperiksa secara mendalam. Harus ditemukan apa penyebab Hermanus meninggal, apakah sekedar karena sakit, atau ada diagnosa awal dokter yang keliru atau faktor lain non medis, seperti penanganan yang lambat dan tidak prosedural, bahkan tidak menutup adanya tindakan kekerasan.
Narahubung:
- Dimas N. Hartono/Direktur WALHI Kalimantan Tengah (+62 813-5270-4704)
- Fidelis Harefa Penasehat Hukum (+62 81251504882);
- Andi Muttaqien/Deputy Direktur Advokasi Institute for Policy Research and Advocacy (ELSAM) (+62
8121996984)
- Asep Komarudin/Greenpeace (+62 81310728770)
- Ronal M. Siahaan Penasehat Hukum/Manajer Pembelaan Hukum WALHI (+62 87775607994);