Memperkuat Tata Kelola Laut dan Perikanan Indonesia untuk Keberlanjutan

Jakarta, 3 Maret 2020. Arah kebijakan tata kelola kelautan dan perikanan Indonesia yang dirumuskan dan ditempuh oleh Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) pada periode 2019-2024 berpotensi menimbulkan krisis ekologi (termasuk kerusakan ekosistem laut) dan ketidakadilan sosial. Hal ini tercermin dari hilangnya visi dan misi Indonesia sebagai poros maritim dunia pada periode kedua ini. Arah kebijakan pemerintah saat ini juga berpotensi merampas ruang hidup dan mata pencaharian nelayan tradisional, nelayan kecil dan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Rancangan Omnibus Law pun mengisyaratkan percepatan investasi dengan mengabaikan aspek perlindungan daya dukung ekosistem, serta kepentingan kelompok masyarakat marjinal di sektor kelautan dan perikanan.

Melihat situasi terkini, KORAL [1], sebuah koalisi yang terdiri dari 9 (sembilan) Organisasi Masyarakat Sipil, pun lahir untuk mengingatkan agar para pemangku kepentingan di sektor kelautan dan perikanan mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan dan menjalankan prinsip demokrasi partisipatoris.

Dari sisi ketersediaan sumber daya ikan, berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 Tahun 2017, sebagian besar status stok perikanan Indonesia masih mengalami eksploitasi dan penangkapan secara berlebihan di sejumlah wilayah pengelolaan perikanan (WPP).[2] “Membuka kesempatan kembali migrasi armada kapal perikanan asing dan operasi kapal dengan alat tangkap merusak dalam kegiatan penangkapan ikan di sejumlah WPP Indonesia, akan semakin menguras stok ikan dan nelayan skala kecil kita semakin tercekik. Bagaimana logika pemerintah jika nelayan skala kecil akan bersaing dengan kapal perikanan asing?” kata Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). “Harusnya kebijakan pemerintah konsisten bahwa sektor perikanan tangkap kita tidak lagi terbuka untuk asing, dan nelayan skala kecil diberi hak untuk berdaulat di ruang lautnya karena nelayan kecil adalah rightholders di lautnya,” tegas Susan.

Perlindungan terhadap sejumlah ekosistem penting baik di pesisir dan laut pun semakin mengalami tantangan yang serius. Saat ini, kondisi padang lamun, mangrove, hingga terumbu karang banyak yang miris. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan mangrove yang baik hanya tersisa 1.671.140,75 hektar, sementara luasan yang rusak mencapai 1.817.999,93 hektar. Banyak hal menjadi penyebab rusaknya ekosistem pesisir dan laut, mulai dari reklamasi, alih fungsi lahan, hingga penambangan pasir. Dampaknya cukup besar bagi nelayan skala kecil.

Arah kebijakan ramah investasi yang ditunjukkan oleh pemerintah saat ini, terutama dengan keberadaan RUU Cipta Kerja, berpotensi mengorbankan kelestarian ekosistem pesisir seperti mangrove dan juga menyebabkan upaya pencegahan dan penegakan hukum bagi perusak lingkungan menjadi sangat lemah. Hal tersebut dinyatakan oleh Nur Hidayati, atau akrab disapa Yaya, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.

“Ditambah lagi, adanya penambahan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) serta Kawasan Industri Prioritas (KIP) yang akan menambah deretan panjang masalah, bila pembangunan infrastrukturnya tidak mengindahkan daya dukung lingkungan,” imbuh Yaya. [3]

Menurut KORAL, dalam salah satu butir desakannya, pemerintah harus melakukan pengelolaan ruang baik pesisir dan laut berbasis daya dukung lingkungan, dengan memerhatikan kesejahteraan nelayan kecil. Misalnya, peruntukan zonasi pesisir dan perairan pantai 0 sampai dengan 4 mil laut diprioritaskan sebagai ruang kelola masyarakat adat pesisir, nelayan tradisional dan nelayan kecil, serta melarang ekspansi baru industri ekstraktif seperti pertambangan di kawasan tersebut.

Masih maraknya praktik penangkapan ikan ilegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan (IUU fishing) menandakan penegakan hukum selama ini perlu diakui belum berjalan efektif. Hal tersebut khususnya terjadi pada pengendalian dan penanganan terhadap kapal-kapal skala besar dan industri dalam negeri yang masih menggunakan alat tangkap merusak. Untuk itu, selain memperkuat penegakan hukum, edukasi penyadartahuan kepada para pelaku industri perikanan sangat diperlukan.

"Pemerintah juga wajib melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten terhadap kapal ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di WPP Indonesia, sekaligus mendorong tingkat kepatuhan yang tinggi dari seluruh kapal ikan Indonesia melalui cara-cara pembinaan, insentif ekonomi, pengawasan dan ancaman penjatuhan sanksi administratif maupun pidana,” kata Mas Achmad Santosa, Chief Executive Officer (CEO) Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI).

Melihat kondisi kelautan dan perikanan yang masih menghadapi banyak permasalahan, maka RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) bakal menambah keruwetan dan bisa membuka peluang untuk kerusakan ekosistem laut yang lebih besar. Selain ancaman hadirnya kembali kapal ikan asing, kekhawatiran terbesar dari arah RUU Cipta Kerja ini adalah pemangkasan sejumlah perizinan sebagai instrumen pengendalian di bidang usaha perikanan (SIUP, SIPI dan SIKPI). Selain itu, di dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) tidak terlihat persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha perikanan tangkap untuk mengikuti 7 (tujuh) prinsip Ecosystem Approach Fisheries Management yang dituangkan dalam FAO Code of Conduct of Responsible Fisheries 1995.

Mempertimbangkan besarnya ancaman terhadap pembangunan kelautan dan perikanan yang berkelanjutan dan berkeadilan, KORAL mendesak pemerintah dan DPR untuk merespons kegelisahan publik, serta mengakomodir masukan publik terhadap seluruh kebijakan yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan.

SELESAI

Catatan:

[1] Koalisi NGO Untuk Perikanan dan Kelautan Berkelanjutan (KORAL) terdiri dari Destructive Fishing Watch (DFW), EcoNusa, Greenpeace Indonesia, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI),  Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Pandu Laut Nusantara, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Yayasan Terangi.

[2] Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50 tahun 2017 mengenai Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan Yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Indonesia. Sejumlah komoditas yang telah mengalami eksploitasi di antaranya perikanan demersal, pelagis, udang penaeid, lobster, kepiting dan rajungan.  (Lihat: http://jdih.kkp.go.id/peraturan/50%20KEPMEN-KP%202017.pdf)

[3] Presiden Joko Widodo menetapkan tiga Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) baru yaitu KEK Singhasari di Jawa Timur dengan terbitnya PP No 68 Tahun 2019, kemudian KEK Likupang di Sulawesi Utara dengan PP No 84 Tahun 2019 dan KEK Kendal di Jawa Tengah dengan PP No 85 Tahun 2019.

(Lihat: https://kek.go.id/berita/2020/01/Tiga-KEK-Baru-Ditetapkan-di-Singhasari-Likupang-dan-Kendal-Bakal-Jadi-Pusat-Pariwisata-Internasional-Industri-Kreatif-Hingga-Topang-Neraca-Perdagangan-268)

Link foto:

https://media.greenpeace.org/shoot/27MZIFJ8388AA

Kontak media:

  • IOJI: Fadilla Octaviani, Direktur Enforcement Support and Stakeholder Partnerships, 0812-8108-8766
  • Pandu Laut Nusantara: Regina Safri, Communication Coordinator, 0818-273-758
  • EcoNusa: Wiro Wirandi, Ocean Program Manager, 0812-3377-9998
  • KIARA: Susan Herawati, Sekretaris Jenderal, 0821-1172-7050
  • WALHI: Abdul Gofar, Peneliti, 0856-4552-0982
  • Greenpeace: Arifsyah Nasution, Jurukampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara, 0811-1400-350
  • ICEL: Dalila, Asisten Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim, 0821-1136-7151