Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, Anggota Bidang Kajian Politik SDA LHKP PP Muhammadiyah
Setelah sejumlah partai politik mendeklarasikan sejumlah calon presiden (Capres) Republik Indonesia untuk pemilihan umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang, sampai saat ini masyarakat Indonesia belum mendengar ide penting yang disampaikan sekaligus akan menjadi visi masing-masing Capres tersebut.
Visi tersebut sangat krusial untuk segera disampaikan kepada publik mengingat Indonesia kini menghadapi sejumlah persoalan serius yang membutuhkan kemauan politik (political will) untuk menyelesaikanya. Salah satu permasalahan genting yang kini dihadapi oleh Indonesia adalah krisis iklim yang mengancam daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta mengancam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Lebih jauh, krisis iklim akan mengancam kedaulatan Indonesia pada masa yang akan datang jika tidak dimitigasi dengan segera.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki kerentanan yang sangat tinggi terdampak krisis iklim. Walhi mencatat, Indonesia berada di peringkat ketiga teratas negara dalam hal risiko iklim, dengan paparan tinggi terhadap semua jenis banjir, dan panas ekstrem. Indonesia menempati peringkat kelima tertinggi di dunia yang sangat rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Tanpa adaptasi yang benar, populasi terdampak, terutama yang tinggal di kawasan pesisir akan meningkat. Misalnya, populasi yang terkena banjir sungai ekstrem akan mencapai 1,4 juta pada tahun 2035-2044, dan total populasi yang kemungkinan akan terkena banjir permanen di wilayah pesisir pada tahun 2070-2100 akan mencapai lebih dari 4,2 juta orang.
Krisis iklim telah menyebabkan bencana hidrometeorologis, yang ditandai oleh cuaca ekstrem, semakin intens. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan El Nino (musim kering panjang) dan La Nina (musim hujan panjang) kini intensitasnya semakin meningkat sebagai dampak dari krisis iklim. Jika pada periode 1950-1980 siklusnya sekitar 5-7 tahunan, pada periode 1980-2018 siklusnya menjadi 2-3 tahunan. Dampaknya, Indonesia akan lebih sering mengalami kekeringan sekaligus banjir.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), mencatat pada 2022 telah terjadi 1.057 cuaca ekstrem serta 26 kali gelombang pasang dan abrasi di pesisir dan laut. Akibatnya, banyak tangkap tradisional tak bisa melaut. Pada Desember 2022, sejumlah nelayan di Kota Kupang, NTT, tidak bisa melaut selama tiga pekan. Akibat cuaca buruk, hasil tangkapan ikan sebanyak tiga ton juga harus hilang di laut karena perahu nelayan di kota Kupang dihantam gelombang.
Pada saat yang sama, ratusan nelayan tradisional di Teluk Jakarta tetap harus melaut meskipun menghadapi cuaca ekstrem. Tak jarang mereka pulang dengan tangan hampa, tanpa hasil tangkapan. Bahkan, di penghujung 2022 lalu, seorang nelayan bernama Suhali meninggal di Teluk Jakarta. Sebelumnya, pada tahun 2020, sebanyak 251 orang Nelayan meninggal karena cuaca ekstrem.
Krisis iklim juga kini mengancam hampir 13 ribu desa pesisir tenggelam. Sejumlah desa di pesisir utara Pulau Jawa, pesisir barat Pulau Sumatera telah kehilangan daratan sepajang 1 kilometer karena kenaikan air laut. Di Bengkulu, banyak keluarga yang kehilangan pekerjaan dan anak-anak yang putus sekolah. Dalam pada itu, Climate Central menyebut krisis iklim akan menenggelamkan hampir 200 kota di Indonesia.
Dalam jangka panjang, krisis iklim yang menyebabkan kenaikan air laut dan menenggelamkan desa-desa pesisir akan memicu pengungsi iklim (climate refugee). Internal Displacement Monitoring Centre (IDMC) menyebut benaca hidrometeorologis menjadi faktor penyebab terbesar manusia kehilangan tempat tinggal secara global, termasuk di Indonesia. Untuk tahun 2020, bencana tersebut telah membuat 30,7 juta orang kehilangan rumah. Data IDMC menunjukkan sepanjang tahun 2011–2020, dari 5,3 juta orang di Indonesia yang kehilangan rumahnya akibat bencana, sebanyak 3,6 juta atau 68 persennya akibat bencana yang berhubungan dengan cuaca ekstrem. (Kompas, 20/8/2021)
Selain mengancam kehidupan masyarakat, krisis iklim juga mengancam kedaulatan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan. Hasil kajian jurnal geologi kelautan yang berjudul Threats Drowning of NKRI’s Outermost Small Islands pada tahun 2016, disebutkan bahwa sebanyak 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam karena kecepatan kenaikan air laut. Sementara itu, sebanyak 55 pulau kecil terdepan terancam tenggelam akibat gempa bumi.
Jika pulau-pulau kecil terdepan itu tenggelam, maka kedaulatan Indonesia akan terus menyusut pada masa yang akan datang. Kenapa hal itu terjadi? karena konsep kedaulatan Indonesia diukur dari pulau-pulau terdepan yang berbatasan dengan negara lain atau perairan internasional. Dengan demikian, krisis iklim merupakan ancaman bagi masa depan kedaulatan sekaligus keamanan maritim Indonesia yang berciri kepulauan.
Dalam situasi ini, pernyataan David Wallace-Wells dalam buku The Uninhabitable Earth patut dipertimbangkan. Ia menyebut, krisis iklim terjadi sangat cepat, jauh lebih cepat daripada kemampuan kita mengenali dan mengakuinya; tapi juga panjang dampaknya, lebih panjang daripada yang kita benar-benar bisa bayangkan.
Berbagai gambaran situasi dan prediksi tersebut menjadi dasar masyarakat Indonesia untuk menagih visi keadilan iklim Capres Republik Indonesia periode 2024-2029.
Apa itu keadilan iklim?
Keadilan iklim berjangkar pada konsep utama mengenai keselamatan masyarakat, generasi yang akan datang, serta lingkungan hidup dari krisis iklim. Dalam tiga wilayah inilah seharusnya presiden terpilih nanti bekerja secara serius dan berdimensi jangka panjang.
Lebih jauh, keadilan iklim mengandung sejumlah konsep turunan sebagai berikut, di antaranya: pertama, menegaskan masyarakat memiliki hak untuk bebas dari krisis iklim, dampak terkait, dan bentuk lain dari perusakan ekologis; kedua, menegaskan hak-hak masyarakat adat dan komunitas yang terkena dampak untuk mewakili dan berbicara untuk diri mereka sendiri; ketiga, menuntut masyarakat yang terkena dampak untuk memainkan peran utama dalam proses pengambilan keputusan atau perumusan pembangunan, baik di tingkat nasional dan internasional, untuk mengatasi krisis iklim;
keempat, menyerukan pengakuan prinsip utang ekologis yang harus dibayar oleh pemerintah, industri dan perusahaan transnasional kepada seluruh masyarakat yang terdampak krisis iklim; kelima, menuntut agar bahan bakar fosil dan industri ekstraktif bertanggung jawab penuh atas semua dampak siklus hidup masa lalu dan saat ini yang berkaitan dengan produksi gas rumah kaca;
keenam, menuntut sumber daya energi bersih, terbarukan, dikendalikan lokal, dan berdampak rendah demi kepentingan planet yang berkelanjutan bagi semua makhluk hidup; ketujuh, menyerukan moratorium pada semua yang baru eksplorasi dan eksploitasi bahan bakar fosil; kedelapan, menegaskan hak pemuda sebagai mitra sejajar dalam gerakan untuk mengatasi krisis iklim dan dampak yang terkait; dan
kesembilan, keadilan iklim menyerukan pendidikan generasi sekarang dan mendatang, menekankan isu-isu iklim, energi, sosial dan lingkungan, sambil mendasarkan diri pada pengalaman hidup nyata dan apresiasi terhadap perspektif budaya yang beragam.
Dari mana harus memulai?
Di tengah dampak krisis iklim yang semakin memburuk, harus ada Capres yang berani berkomitmen untuk memprioritaskan Undang-undang (UU) Keadilan Iklim sebagai agenda pemerintahannya. UU ini penting didorong untuk membangun mitigasi, adaptasi, serta membangun skema pemulihan loss and damage dari krisis iklim. Lebih jauh, UU ini harus digunakan untuk menyelamatkan lingkungan hidup dan keadilan iklim bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Dalam konteks yang lebih luas, UU Keadilan Iklim harus diarahkan untuk meminta pertanggungjawaban korporasi yang selama ini telah mengeruk keuntungan yang sangat besar dengan cara mengeksploitasi sumber daya alam.
Mengarusutamakan keadilan Iklim dalam RPJP 2025-2045
Hal lain yang perlu menjadi komitmen Capres adalah memastikan mandat konstitusi menjadi dasar dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) 2025-2045. Tahun 2023-2024 adalah fase penting dan krusial bagi Indonesia karena akan berakhirnya RPJP 2005-2025. Pada titik ini, penting ada evaluasi terhadap implementasi terhadap RPJP 2005-2025 dan mendorong arah pembangunan yang berwawasan keadilan iklim.
Pembangunan yang berwawasan keadilan iklim berjangkar pada frasa “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum” dalam pembukaan UUD 1945. Hal itu harus dimulai dengan komitmen untuk mengevaluasi dan mencabut seluruh peraturan perundangan yang melanggengkan kerusakan lingkungan hidup di Indonesia.
Dalam pada itu, RPJP 2025-2045 sangat perlu untuk memprioritaskan agenda penyelamatan kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dari krisis iklim, mengingat ketiga kawasan ini merupakan yang paling terancam.
Pendidikan berbasis keadilan iklim
Selanjutnya, visi keadilan iklim harus dijalankan dalam Pendidikan nasional, dimana calon presiden harus berkomitmen untuk menjadikan pendidikan sebagai cara untuk membangun mitigasi krisis iklim. Kenapa demikian? Karena generasi mendatang akan sangat terdampak krisis iklim.
Save the Children (2021) memperkirakan anak-anak Indonesia yang lahir pada 2020 berisiko menghadapi tiga kali lebih banyak ancaman banjir dari luapan sungai, dua kali lebih banyak mengalami kekeringan, dan tiga kali lebih banyak gagal panen. Krisis iklim akan membuat jutaan anak-anak jatuh dalam kemiskinan jangka panjang.
Sementara itu, Unicef memperkirakan sekitar 25 juta anak akan mengalami kekurangan gizi akibat krisis iklim dan 100 juta anak lainnya akan menderita kekuraangan pangan. Dalam pada itu, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), mencatat anak-anak yang lahir pada 2016 akan berusia 34 tahun pada tahun 2050. Pada tahun tersebut, akan terjadi peningkatan suhu bumi, kenaikan air laut, dan peningkatan cuaca yang ekstrim.
Lebih jauh, pendidikan nasional ke depan harus berpijak pada prinsip-prinsip keadilan iklim, dimana perlu adanya integrasi keadilan iklim ke dalam nilai-nilai inti kurikulum Pendidikan. Pendidikan Indonesia harus diarahkan untuk memahami persoalan global dan mendorong aksi-aksi mitigasi dan adaptasi krisis iklim di tingkat lokal.
Diplomasi keadilan iklim
Diplomasi keadilan iklim adalah satu hal utama yang harus menjadi komitmen Capres. Hal ini berdasarkan pada mandat konstitusi, sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 1945: “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Diplomasi keadilan iklim juga harus berpijak pada situasi di mana krisis iklim dipicu oleh emisi yang diproduksi oleh negara-negara utara (global north). Pada saat yang sama, dampak buruknya dirasakan oleh negara-negara selatan (global south). Dengan demikian, diplomasi keadilan iklim adalah keniscayaan yang wajib dilakukan.
Frasa “ikut melaksanakan ketertiban dunia” dalam konteks diplomasi keadilan iklim harus dimaknai sebagai upaya Indonesia -pada masa yang datang- akan terlibat penuh dalam upaya menagih atau meminta pertanggungjawaban negara-negara utara sebagai produsen emisi untuk melakukan mitigasi, dalam bentuk mengurangi produksi gas rumah kaca secara signifikan menjelang tahun 2040. Dalam bahasa lain, diplomasi keadilan iklim adalah memastikan bahwa temperatur global tidak melebihi batas 1,5 derajat Celcius dibandingkan dengan era pra-industri.
Lebih lanjut, negara-negara utara harus diminta pertanggungjawaban untuk membayar dana loss and damage yang telah disepakati di dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) perubahan iklim atau Conference of Parties (COP) ke-27 yang diselenggarakan di Mesir akhir tahun 2022 lalu.
“Ketertiban dunia”, sebagaimana dimandatkan dalam pembukaan UUD 1945, tidak akan terwujud jika negara-negara selatan (global south) terus menderita karena dampak krisis iklim yang semakin memburuk. Apalagi pada masa yang akan datang, International Organisation for Migration (IOM) memprediksi akan terjadinya ledakan pengungsi iklim mulai dari 25 juta orang sampai satu miliar orang pada tahun 2050.
Sekali lagi, visi keadilan iklim adalah satu keniscayaan saat ini karena masyarakat Indonesia hidup dalam situasi yang sangat genting sekaligus fase yang sangat krusial. Fase saat ini, disebut oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, sebagai fase point no return. Artinya, jika para pemimpin politik tidak melakukan langkah-langkah penting dan radikal untuk menghentikan krisis iklim, situasi saat ini tidak akan dapat dipulihkan (irreversible).
Pada titik inilah, masyarakat Indonesia wajib untuk menagih visi keadilan iklim sejumlah capres yang akan maju pada tahun 2024. Sangat memalukan jika para kandidat maju dengan kepala kosong, apalagi tidak mau memahami persoalan genting yang akan meneggelamkan Indonesia pada masa yang akan datang. (*)
Artikel telah diterbitkan di Suara Muhammadiyah pada tautan https://suaramuhammadiyah.id/2023/05/17/menagih-visi-keadilan-iklim-calon-presiden/