Menanam untuk Melawan

Menanam untuk Melawan
Oleh: Nusyahid Musa

Sang mentari baru muncul dari peraduan. Warga Desa Gane pun, kembali memulai aktivitas sehari-hari. Seperti Amin dan istri, akan berangkat ke kebun. Mereka sibuk menyiapkan segala sesuatu. Amin memilih peralatan yang akan dibawa. Sang istri memasak makanan buat bekal.

Mengelola kebun mereka lakukan sejak lama, turun menurun. Namun, dalam beberapa tahun ini, sejak investasi besar masuk, mereka diliputi perasaan was-was. Mereka khawatir kebun tergusur. Alat berat perusahaan perkebunan sawit, PT Korindo, mengintai setiap saat. 

“Dulu kalau mau ke kebun hanya bawa parang dan makanan. Sekarang tambah bawa perasaan was-was,  jangan sampai kebun tergusur,” katanya. Amin menggantung parang di pinggang dan beranjak pergi bersama istri menuju perahu tambat.

Rutinitas pasangan ini juga kegiatan sebagian besar warga Desa Gane Dalam, Kecamatan Gane Barat Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Di desa ini bermukim 1.322 jiwa. Terdiri dari 670 perempuan, 652 pria dan 283 keluarga. Sebagian besar warga menjadikan tanah dan laut sebagai sumber ekonomi dengan model permukiman berderet di pesisir. 

Sebagian pantai menjadi tempat perahu. Ada yang sandar langsung di jembatan dapur rumah yang membelakangi laut. 

Perahu didorong mesin katinting dan dayung ini sarana transportasi utama. Tak hanya buat berkendara ke titik tangkapan ikan juga alat angkut hasil panen. Ia juga penghubung lahan garapan di daratan seberang,  jauh dari perkampungan.

Begitu juga Amin. Dia ke kebun, mendayung sampan besama istri. Sampan Amin pinjaman dari kerabat. Perahunya rusak kala pertikaian antar warga pada 2011. Kala itu, warga pro dan kontra investasi perkebunan sawit sempat bentrok.

Amin, satu dari ratusan kepala rumah tangga warga Desa Gane Dalam yang setia berkebun. Komoditas andalan warga kelapa  yang diolah menjadi kopra. Ada juga yang menanam cengkih, pala sampai sayur mayur. 

Pada usia 60 tahunan ini, setiap kali mengunjungi kebun kelapa, Amin, selalu teringat putranya yang meninggal dunia karena terlambat penanganan medis. Sang anak jatuh dari pohon kelapa. 

Dia selalu terngiang pesan anaknya kala kritis. “Jangan jual kobong (kebun) papa!” kenang Amin, seraya melinting tabako. 

Kebun Amin dan warga lain masih dalam ancaman tergusur karena masuk dalam konsesi Korindo. Buldozer perusahaan bisa sewaktu-waktu datang. 

Namun, Amin bersama warga desa lain tak menyerah. Mereka bertahan, berkebun seperti biasa. Membersihkan kebun, memetik hasil, mengawasi hama, sekaligus berjaga-jaga dari eksavator perusahaan.      

Guna menguatkan penjagaan kebun, wargapun membentuk kelompok. Mereka berbagi tugas secara longgar untuk memantau lokasi alat berat berlangsung. 

Mimpi buruk investasi
Di bumi Gane, mimpi buruk berawal pada 2010. Kala itu, perusahaan sawit, PT Gelora Mandiri Membangun (GMM), anak usaha Korindo Group, masuk. Dengan hanya berizin pelepasan kawasan (IPK) yang keluar 2009, seluas 11.003, 90 hektar,  perusahaan mulai beroperasi dan mendatangkan alat-alat berat. Warga tak tahu, tak ada sosialisasi. Paling, parah, klaim perusahaan bahwa kebun warga ‘milik’ mereka. 

Kondisi makin buruk kala hutan mulai dibuka dan kebun warga-- diklaim masuk wilayah perusahaan--sedikit demi sedikit tergusur. 

Warga terpecah. Ada pro dan kontra. Yang pro warga penerima ‘ganti rugi’ perusahaan. Yang kontra, bertahan menolak perkebunan sawit demi menjaga kehidupan mereka, kebun dan lingkungan mereka. Atau ada juga digusur dulu baru menggiring pemilik membicarakan ‘negosiasi harga’. Mereka diberi dua pilihan, menjadi buruh tani tak bertanah atau petani tak bertanah.”

Gesekan antar warga pro dan kontra kadang muncul. Ada saja pemicunya. Suatu kali, pernah terjadi renovasi masjid desa dengan material pemberian Korindo. Warga Gane penolak sawit protes. “Haram menerima batuan dari manajemen perusahaan dalam bentuk apapun, sengaja atau tidak sengaja. Jika menerima akan dicap pengkhianat,” teriak mereka. 

Banyak upaya masyarakat Desa Gane Dalam, mempertahankan lahan dan mencari keadilan. Mereka melintasi lautan menuju Ibu Kota Labuha, Pulau Bacan—tempat dimana pusat Pemerintahan Halmahera Selatan,  berada. Namun, dalam setiap upaya dialog, atau forum tatap muka dengan dinas dan instansi terkait, warga selalu digiring dan bujuk rayu buat menerima yang mereka tentang.

Konflik makin memanas. Pada 3 Juni 2013, warga protes dan memblokade jalan logging alat berat perusahaan. Tak pelak, para penjaga wilayah hidup ini harus berhadapan dengan aparat negara. Sebanyak 13 warga yang aksi blokade ditangkap. Kurang lebih tiga bulan belasan warga ini ditahan dan di pengadilan bebas demi hukum alias tak bersalah. 

Masa kelam belum berakhir. Penangkapan warga karena bertahan masih terjadi. Pada 2014, dua warga Gane Luar dijemput paksa polisi Polres Halmahera Selatan. Satu berusia 15 tahun. Polisi kala itu menggunakan mobil perusahaan. Warga dipukul diintimidasi dan dipaksa mengaku mengenali pelaku yang menciderai buruh perusahaan kala menebang kayu hutan.

Sadar ancaman, Amin bersama warga penolak sawit yang lain mengorganisir diri. Mereka bekerja sama mengumpulkan dana organisasi dengan menjual jasa pikul menurunkan muatan kapal barang dagangan maupun material pengusaha besar di kampung. Mereka bersama-sama bekerja. Laki-laki, perempuan, para pemuda sampai orangtua. Dana yang terkumpul untuk transportasi bolak balik dari ibukota hingga pembangunan tempat ibadah baru. 

Tak hanya di tanah Gane, perjuangan lepas dari cengkeraman pemodal disuarakan. Di daerah lain juga muncul, seperti di Yogjakarta. Ada Solidaritas Gane Melawan. “Karena Torang Makan Sagu bukan Sawit.” Gerakan ini digawangi oleh berbagai organisasi masyarakat sipil, gerakan perempuan sampai para seniman. 

Ada juga gerakan SaveGane, dan Selamatkan Gane. Mereka berkampanye di berbagai media, dari membuat website, Facebook, dan lain-lain guna menyuarakan protes perampasan lahan warga Gane oleh perusahaan. 

Kebun perlawanan 
Makin tergusur, warga makin bersemangat menanam. Inilah yang terjadi di Desa Gane. Ratusan warga, sendiri-sendiri maupun bergotong royong menanam di kebun. Ada pala, kelapa, sagu, cokelat sampai pisang hutan. Kala perusahaan membuldozer wilayah, wargapun menjawab dengan menanam dan menanam. 

Ternyata, menanam buat melawan ini lumayan membuat pusing perusahaan. Namun, mereka tak hilang akal, penggusuran lahan dilakukan dengan melingkar, memetak, hingga menyisakan area yang diduduki warga. Warga menyebut lahan yang mereka duduki sebagai “sepenggal lahan yang membuat kotor areal persemaian bibit sawit.” Korporasi menyebut, “kebun baru.”   

Para perempuan mengambil peran penting lewat kelompok tani perempuan. Koordinator mereka menghibahkan sebagian kebun kepada organisasi untuk sentra ekonomi produktif.  Di sana ada beragam tanaman, dari pisang hutan sampai kenari afo (tua). 

Lokasi kebun kelompok itu miring dan bertebing. Ada anak sungai di dataran rendah. Sedang medan menanjak berbatasan langsung dengan persemaian bibit sawit Korindo. Ia hanya dipisahkan jalan trayek kendaraan perusahaan.

“Kalau lahan sudah bersih, rencana kelompok ibu-ibu akan mencoba menanam kacang tanah dan kacang ijo. Karena saudagar Arab di kampung sudah bersedia menampung hasil panen nanti,” kata Mama Yani, Koordinator Kelompok Tani Perempuan.

Kelompok tani perempuan ini berharap, kebun rintisan mereka bisa menjadi sentra ekonomi produktif. Lahan yang bisa menjadi sumber kehidupan warga Gane. 

Minggu adalah hari gotong royong kelompok tani perempuan ini. Mereka membersihkan lahan garapan dibantu para suami, termasuk Amin. 

Hari itu, mentari sore kemerahan di ufuk barat. Bersama istri, Amin menyusuri perairan Teluk Gane Dalam. Mereka mendayung sampan kembali ke rumah. []