Mendapatkan Dukungan Luas, Gugatan Iklim Pulau Pari menjadi Contoh Gerakan Keadilan Iklim Global

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 19 Juli 2024 – Salah satu penggugat iklim terhadap Holcim dari Pulau Pari, Asmania, menyampaikan seruan keadilan iklim dalam sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan di kota Bonn, Jerman. Konferensi ini diselenggarakan atas kerja sama Friend of the Earth International, European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), HEKS, WALHI, Forum Peduli Pulau Pari, dan Perempuan Pulau Pari.

Edi Mulyono (kanan) Bersama Parid Ridwanuddin kedua dari kanan) menjadi narasumber dalam acara Konferensi Internasional Keadilan Iklim di Bonn, Jerman, pada 14 Juni 2023 lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Asmania menyerukan perusahaan multinasional sekaligus carbon major (penghasil karbon dioksida terbesar di dunia) untuk menurunkan produksi emisi mereka signifikan.

Secara lebih spesifik, ibu tiga orang anak ini mendesak Holcim, sebagai perusahaan semen terbesar di dunia, untuk menurunkan emisinya. “Kami menyerukan kepada Holcim untuk menurunkan emisinya sebesar 69 persen sampai dengan tahun 2024,” tegas Asmania dalam konferensi yang ia hadiri secara daring dari Jakarta pada pertengahan bulan Juni 2024 lalu.

Ia menjelaskan bahwa tuntutan itu adalah satu dari tiga tuntutan lainnya, yaitu Holcim diminta membayar dana adaptasi dan dana loss and damage. Semua merupakan upaya penggugat mendapatkan keadilan iklim.

Lebih jauh, Asmania menjelaskan bahwa krisis iklim yang diakibatkan oleh emisi carbon major telah menyebabkan dirinya dan masyarakat lainnya di Pulau Pari mengalami kehilangan dan kerugian ekonomi. Ia merincikan bahwa krisis iklim telah membuatnya kehilangan pendapatan ekonomi dari budidaya ikan kerapu dan budidaya rumput laut yang selama ini dikelola bersama dengan suaminya.

“Dalam satu kali musim panen, saya biasanya mendapatkan hasil 30 sampai dengan 50 juta Rupiah. Saat ini, kami mengalami kehilangan sangat besar karena air laut semakin hangat yang menyebabkan ikan-ikan budidaya kami mati. Begitu pun dengan budidaya rumput laut. Saat ini kami sudah berhenti berbudidaya rumput laut karena air laut terus menghangat,” katanya.

Di sisi lain, ia yang mengandalkan income ekonomi dari pengelolaan pariwisata berupa homestay, kapal snorkling, dan lain sebagainya, juga mengalami kerugian besar. Ketika cuaca esktrim terjadi lalu disusul banjir rob yang menghantam Pulau Pari, banyak wisatawan yang membatalkan pemesanan homestay.

Asmania melanjutkan, semua catatan kerugian yang ia alami akibat krisis iklim, telah tercatat dengan sangat baik, dan saat ini tengah dibaca serta dipelajari oleh majelis hakim di Pengadilan Zug, Swiss. “Kami bahkan telah menyampaikan bukti-bukti baru ke pihak pengadilan Zug,” ungkapnya.

Ia menyampaikan terima kasih kepada semua yang mendukung gugatan iklim Pulau Pari sampai akhirnya Majelis Hakim di Zug mengabulkan dua hal; pertama, memutuskan bahwa gugatan yang dibawa oleh masyarakat dari negara Selatan, khususnya Indonesia, diterima dan diproses menggunakan hukum Swiss; dan kedua,

memutuskan untuk menolak permintaan Holcim yang harus membayar biaya dalam jumlah yang sangat besar sekaligus meminta pemerintah Swiss untuk mengcover biaya pengadilan bagi keempat penggugat. “Alhamdulillah, kami tidak harus membayar uang dalam jumlah yang sangat besar. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terus mendukung kami,” imbuhnya.

Gugatan Pulau Pari jadi Contoh Penting Gerakan Keadilan Iklim 

Dalam kesempatan yang sama, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI Nasional, menjelaskan bahwa Pulau Pari merupakan salah satu contoh pulau kecil di Indonesia yang terdampak krisis iklim sejak lama. “Bahkan, sebelumnya sebanyak 6 pulau kecil di Kabupaten Kepulauan Seribu, telah hilang akibat krisis iklim. Di provinsi lainnya, telah banyak pulau-pulau kecil yang tenggelam juga. Kita semua harus peka dengan persoalan besar ini,” ungkapnya.

Suasana konferensi internasional Konferensi Internasional Keadilan Iklim di Bonn, Jerman, pada 12 Juni 2024 lalu.

Parid menekankan bahwa gugatan iklim yang ditempuh Ibu Asmania dan tiga penggugat lain merupakan langkah penting bagi keselamatan Indonesia, sebagai negara kepualuan terbesar di dunia, yang harus didukung. “Hal ini ditempuh karena upaya hukum biasa, takkan mampu mendorong perubahan secara mendasar dan signifikan,” katanya.

Sebagai organisasi yang memberikan dukungan penuh terhadap gugatan iklim Pulau Pari melawan Holcim di Pengadilan Zug-Swiss, WALHI menilai bahwa langkah hukum ini merupakan yang pertama kali di Indonesia, bahkan Asia. Menurut Parid, gugatan iklim ini telah memberikan pengaruh besar bagi diskursus keadilan iklim, di mana saat ini banyak pihak yang ingin melakukan hal serupa.

“Saya telah berkomunikasi dengan teman-teman di banyak tempat di Indonesia dan sejumlah negara. Mereka ingin belajar dari gugatan iklim Pulau Pari, lalu menempuh hal serupa. Gugatan Iklim Pulau Pari, sedang dan akan menjadi bola salju yang terus membesar, bagi pihak yang terdampak krisis iklim. Gugatan iklim Pulau Pari akan menjadi contoh penting gerakan keadilan iklim, baik di Indonesia maupun di global south,” terang Parid.

Parid menjelaskan, pada bulan yang sama di tahun 2023 lalu, ia dan satu penggugat iklim dari Pulau Pari, yaitu Edi Mulyono, telah berbicara di konferensi internasional mengenai keadilan iklim, di Bonn Jerman. Dalam kesempatan tersebut, dirinya dan Edi Mulyono menggalang dukungan dari seluruh pihak yang hadir dari banyak negara.

Dalam konferensi internasional di Bonn, Jerman, tahun lalu, ia dan Edi Mulyono, bertemu dengan berbagai kelompok masyarakat yang terdampak krisis iklim, khususnya dari Afrika, Spanyol, dan Amerika Latin. “Mereka belajar banyak kepada gugatan iklim Pulau Pari dalam forum tersebut,” imbuh Parid. 

Dukungan dari Jejaring Internasional  

Dalam konferensi tersebut, jejaring internasional yang berasal dari HEKS, yang berpusat di Swiss. Yvan Maillard, Climate Expert dari HEKS, menyatakan dukungannya terhadap gugatan iklim Pulau Pari. Ia menyebut bahwa “sangat penting bagi masyarakat di negara-negara Selatan untuk mendapatkan akses terhadap keadilan, terutama terhadap perusahaan-perusahaan raksasa seperti Holcim yang memikul tanggung jawab besar terhadap krisis iklim dengan 7,3 miliar ton emisi CO2.

Dukungan serupa datang dari ECCHR, yang berpusat di Jerman. Theresa Mockel, yang bekerja untuk isu climate and environmental justice, ECCHR mengatakan bahwa Gugatan ini mempertanyakan sistem ekonomi kita yang didasarkan pada bahan bakar fosil dan praktik-praktik intensif emisi lainnya seperti Holcim. Gugatan ini mengungkap ketidakberlanjutan sistem ini dengan mengembalikan biaya-biaya ini kepada mereka yang bertanggung jawab atas biaya-biaya tersebut.

Sementara itu, Sara Shaw dari Friend of the Earth International, menyebutkan bahwa gugatan iklim semakin menjadi alat penting yang digunakan oleh para aktivis iklim di seluruh dunia. Ini merupakan jalur lain, disamping kampanye dan advokasi untuk menantang kekuatan perusahaan yang mencemari planet bumi.

Sebagai informasi tambahan, gugatan iklim Pulau Pari telah mendapatkan dukungan dari sejumlah aktor politik penting di Eropa dan Indonesia. Mereka adalah sebagai berikut:

Nama

Posisi

Asal Negara

Alma Zadic

Menteri Keadilan

Austria

Delphine Klopfenstein Broggina

Anggota Parlement Partai Hijau

Swiss

Natalie Imboden

Anggota Parlemen Partai Hijau

Swiss

Isabelle Pasquier-Eichenberger

Anggota Parlemen Partai Hijau

Swiss

Petra Bayr

Anggota Parlemen Partai Hijau

Austria

Martin Litschauer

Anggota Parlemen Partai Hijau

Austria

Selin Öker

Anggota Parlemen Partai Hijau

Austria

Svenja Schulze

Menteri Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan Internasional

Jerman

Kathrin Henneberger

Anggota Parlemen Partai Hijau

Jerman

Saurlin Siagian

Komisioner Komnas HAM

Indonesia

Hari Kurniawan

Komisioner Komnas HAM

Indonesia

 

Informasi lebih lanjut 
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, di email: [email protected]