slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Mengatasi Masalah dengan Masalah Baru : Menguruk Pantai (Reklamasi) Bukan Solusi Berkelanjutan untuk Ekologi Pesisir dan Laut di Indonesia | WALHI

Mengatasi Masalah dengan Masalah Baru : Menguruk Pantai (Reklamasi) Bukan Solusi Berkelanjutan untuk Ekologi Pesisir dan Laut di Indonesia

Jakarta, 10 Februari 2017. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah organisasi lingkungan hidup yang bekerja di 28 propinsi di Indonesia untuk memperjuangkan keadilan ekologis. Dalam melakukan advokasi lingkungan hidup, WALHI memiliki prinsip non-partisan, tidak terlibat dalam politik praktis maupun dukung mendukung pasangan calon dalam proses pemilihan umum, baik nasional maupun daerah. Sejak tahun 1990-an WALHI secara konsisten menolak berbagai proyek pengurukan laut (reklamasi) yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk diantaranya proyek reklamasi di Kapuk --suatu kawasan ekosistem mangrove (bakau), yang diuruk menjadi daratan seluas 831 hektar dan diubah menjadi kompleks perumahan ekslusif (gated community) bernama Pantai Indah Kapuk. Proyek reklamasi pantai ini mengakibatkan lebih dari 20 juta meter kubik air (atau setara dengan 8.000 kolam renang standar Olimpiade) kehilangan tempat penampungannya dan akhirnya membanjiri daerah-daerah di sekitarnya. Jika proyek-proyek reklamasi lain dilakukan di pantai utara Jakarta maka potensi banjir akan semakin parah. Reklamasi 17 pulau palsu yang telah direstui oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memiliki total luas sekitar 5.153 hektar. Ini berarti akan ada sekitar 124 juta meter kubik volume air yang harus berpidah tempat, atau setara dengan sekitar 49.000 kolam renang ukuran Olimpiade. Kemana air dalam jumlah besar ini akan berpindah? WALHI menolak reklamasi laut untuk merevitalisasi kawasan laut yang rusak, karena alih-alih membuat solusi jangka panjang yang berkelanjutan, reklamasi sudah dapat dipastikan akan merusak dua wilayah sekaligus. Pertama, wilayah laut yang akan direklamasi.

Kedua, wilayah dimana material uruk reklamasi akan ditambang. Bisa dikatakan proyek reklamasi adalah proyek pembunuh ekosistem yang efektif. Setiap hektar pulau reklamasi akan membutuhkan pasir sebanyak 632.911 meter kubik. Jika dikalikan luas pulau reklamasi yang direncanakan 5.153 hektar, maka akan membutuhkan sekitar *3,3 milyar meter kubik pasir*. Pengambilan bahan urugan (pasir laut) dari daerah lain akan merusak ekosistem laut tempat pengambilan bahan tersebut. Hal ini juga dikhawatirkan memicu konflik dengan nelayan lokal seperti yang terjadi di Lontar, Serang, Provinsi Banten. Dengan adanya reklamasi di Teluk Jakarta, timbul potensi konflik dengan sedikitnya 7.000 nelayan di Kamal Muara, Muara Angke, Muara Baru, Kampung Luar Batang dan pemukiman depan Taman Impian Jaya Ancol dan Marunda Pulo. Konflik yang dapat terjadi mulai dari akses terhadap sumber daya laut yang dirampas, menyulitkan akses terhadap sumber daya laut yang semakin jauh dan terancam oleh situasi laut yang serba ketidakpastian serta penggusuran terhadap pemukiman nelayan tradisional skala kecil. Dalam pelaksanaan proyek Reklamasi pantai utara Jakarta sepanjang tahun 2000-2011, seluas 2.500 hektar, sedikitnya 3.579 Kepala Keluarga nelayan tergusur. Menurut Koalisi Pakar Interdisiplin yang antara lain berasal dari LIPI, IPB, ITB serta Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam dokumen “Rumusan Policy Paper Selamatkan Jakarta”, proyek reklamasi memberikan dampak sedimentasi, penurunan kualitas air akibat logam berat dan bahan organik serta terjadinya penurunan arus laut sehingga material yang masuk dari sungai cenderung tertahan (hilangnya flushing system) menyebabkan kematian ikan di Teluk Jakarta. Kemudian, ke depan proyek reklamasi  diduga akan menambah beban dengan dibangunnya infrastruktur gedung permanen di pinggir laut maka tanah Jakarta akan semakin ambles. Untuk diketahui, bahwa wilayah terparah yang mengalami amblesan salah satunya adalah di perumahan Pantai Mutiara, Pluit, dengan 116 cm selama 8 tahun (dari 2002-2010). Perlu diketahui lebih lanjut, bahwa perumahan Pantai Mutiara merupakan area reklamasi (Hasanuddin, dkk:2010). Kawasan pesisir utara Jakarta berada dalam kondisi yang rusak akibat berbagai permasalahan yang terjadi di daratan. Sedimentasi dari daerah hulu DAS yang memasuki badan sungai dan berakhir di muara meningkatkan kekeruhan air laut.

Limbah cair domestik dan industri yang memasuki badan air sungai dan terakumulasi di muara mengakibatkan tercemarnya air laut. Belum lagi sampah dan limbah padat yang dibuang ke sungai juga memperparah situasi. Namun jika mengatakan bahwa kerusakan di kawasan pantai utara Jakarta tersebut adalah kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, dan kemudian menjadi justifikasi untuk malah membunuh kawasan tersebut dengan reklamasi, maka opini tersebut adalah sesuatu hal yang tidak berdasar dan hanya berbasis pada asumsi (tanpa dasar argumentasi yang kuat). “Berbeda dengan pandangan yang sedang disebarkan oleh beberapa pihak bahwa pantai utara Jakarta tidak bisa dipulihkan, “WALHI berpandangan bahwa pantai utara Jakarta bisa dipulihkan dan direhabilitasi. Namun tentu saja proses pemulihan tersebut tidak bisa dilakukan secara instan. Memecahkan masalah di Jakarta pun tidak bisa dilakukan eksklusif hanya oleh pemerintah DKI Jakarta saja, namun harus melibatkan pemerintah daerah sekitarnya, seperti Jawa Barat dan Banten, karena sesungguhnya ekosistem tidak bisa dipisah-pisahkan berdasarkan batas-batas administratif.” Kata Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI. Tidak ada hal yang mudah dan sederhana dalam memecahkan berbagai masalah di Jakarta. Jika ada yang mengatakan mampu mengatasinya tanpa keterlibatan daerah lain, atau dilakukan hanya dengan satu proyek silver bullet semacam reklamasi maka sesungguhnya kita harus berhati-hati pada cara pandang tersebut karena hal itu cenderung simplifikasi, tidak realistis, dan menghina akal sehat. Menurut WALHI, permasalahan di darat perlu diselesaikan di darat. Jangan mengakumulasi permasalahan di darat dan mencoba menyelsaikannya di laut.

Akibatnya, laut akan selalu menjadi tempat sampah dan tempat bertumpuknya berbagai kesalahan tata kelola lingkungan hidup di darat. Pencemaran sungai akibat limbah cair domestik dan industri harus diselesaikan dari sumbernya. Penerapan sanksi yang tegas terhadap industri pencemar serta peralihan kepada moda produksi bersih (clean industry) mutlak dilakukan. Limbah cair domestik perlu diatasi dengan membangun sistem pengolah limbah cair domestik di wilayah-wilayah pemukiman, bukan di muara yang terintegrasi dengan waduk (sebagaimana yang direncanakan oleh pemrakarsa proyek tanggul raksasa/Giant Sea Wall) dimana terjadi akumulasi polutan yang justru akan meningkatkan biaya pengolahan secara signifikan. Untuk menahan laju penurunan muka tanah yang diakibatkan oleh beban gedung-gedung bertingkat yang ada di Jakarta, maka pemerintah Provinsi perlu melakukan moratorium terhadap maraknya pembangunan gedung-gedung bertingkat.

Terus membangun gedung-gedung bertingkat di satu sisi dan kemudian berharap amblesan tidak terus terjadi adalah suatu kebijakan yang tidak realistis dan tidak rasional. Lebih lanjut Nur Hidayati mengatakan, ”cara pandang yang cenderung melakukan “pemutihan” kesalahan di masa lalu akibat “keterlanjuran” proyek skala raksasa sehingga sebaiknya tidak dilakukan pemulihan/rehabilitasi atas berbagai kerusakan yang ada, merupakan suatu cara pandang berbahaya yang ingin melestarikan moral hazards dari pelaku usaha dan pembuat kebijakan yang menggunakan kewenangannya tanpa kendali dan melabrak berbagai aturan yang ada. Cara pandang ini akan mendorong terus terjadinya perusakan lingkungan hidup dalam skala masif, karena ada anggapan hal tersebut dapat dimaafkan atau bisa dibiarkan mangkrak tanpa ada sanksi dan pertanggungan jawab di kemudian hari.“ Belajar dari pengalaman di masa lalu dimana terdapat banyak proyek raksasa yang tidak berlanjut akibat berakhirnya rezim penguasa, menjadi pertanyaan besar bagi WALHI apakah proyek reklamasi 17 pulau yang akan digabungkan dengan proyek Giant Sea Wall yang berjangka waktu hingga 2025 akan bisa terus berlanjut. Alih-alih menjadi penggerak ekonomi, proyek-proyek mercusuar semacam ini terbukti justru menjadi proyek mubazir, merugikan keuangan negara, merusak lingkungan hidup dan meninggalkan penderitaan bagi masyarakat kebanyakan. Kembali WALHI ingin menegaskan bahwa reklamasi bukanlah solusi. WALHI mengusulkan upaya pemulihan ekosistem pesisir dan laut dari hulu hingga hilir secara terintegrasi, sebagai solusi berkelanjutan dalam mendorong keseimbangan ekologis di kawasan pesisir dan laut di Indonesia, termasuk di dalamnya pengaturan zonasi dengan prinsip perlindungan dan pengakuan terhadap ruang hidup nelayan. Kontak: 1. Mailk Diazin, Staff Media dan Komunikasi 081808131090 2. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan 081311187498