Masa Orde Baru (1960-an)
Masuknya Perusahaan Pertambangan Asing di Indonesia
Sejak kepemimpinan Orde Baru, kebijakan di bidang pertambangan ternyata lebih dominan ditujukan untuk menarik investor asing. Hal ini terlihat dari disahkannya Ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi Keuangan dan Pembangunan.
Di dalam Ketetapan MPRS tersebut menyatakan bahwa potensi modal, teknologi, dan keahlian dari luar negeri dapat dimanfaatkan untuk mengolah potensi kekayaan alam demi pembangunan Indonesia.
Melalui Ketetapan MPRS ini pula yang akhirnya menjadi dasar hukum mengenai kebijakan ekonomi dan pembangunan yang memerlukan investasi asing, yaitu dalam bentuk Penanaman Modal Asing, dimana tujuan utamanya adalah untuk mempercepat perbaikan ekonomi dan pembangunan.
Bukan hanya itu, sehubungan dengan aktifitas pertambangan yang notabene memerlukan dukungan modal dalam jumlah besar, selanjutnya Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967. UU PMA sekaligus menjadi titik awal masuknya investasi asing di Indonesia.
Setelah disahkannya UU PMA, pada tanggal 5 April 1967 dilakukan penandatanganan kontrak karya (KK) Penanaman Modal Asing yang pertama kalinya, yaitu antara Freeport Sulphur Company(FCS/PT. Freeport Indonesia. Inc), milik Amerika, dengan Pemerintah Indonesia.
Tercatat juga dalam kurun waktu antara tahun 1967-1972 setidaknya terdapat 16 perusahaan pertambangan luar negeri yang melakukan Kontrak Karya. Beberapa perusahaan tambang asing ternama yang masuk diantaranya ALCOA, Billton Mij, INCO, Kennecott, dan US Steel. Dimana total penanaman modal asing masuk di Indonesia yakni sebesar US$ 2.488,4 juta.
Masuknya investor asing yang menguasai sektor industri pertambangan sekaligus menjadi cikal bakal awal kerusakan lingkungan hidup di Indonesia. Seperti yang terjadi di bumi Papua, pembukaan tambang yang dilakukan oleh Freeport menyebabkan kerusakan lingkungan yang berskala sangat besar. Hutan yang belum pernah terjamah oleh industrialisasi, kini menjadi tempat eksploitasi tambang dan permukiman penambang. Sungai yang dahulu menjadi sumber penghidupan masyarakat adat Papua, kini mulai tercemar oleh limbah tailing dari proses pertambangan sebanyak 300 ribu ton/hari.
Aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan swasta luar negeri sekaligus menyebabkan konflik sosial dengan masyarakat sekitar tambang yang terus terjadi hingga sekarang.
Di tahun yang sama setelah disahkannya UU PMA, Pemerintah mengeluarkan UU No. 11 Tahun 1967 yang berisi tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Melalui UU ini Negara memiliki otoritas mutlak untuk memberikan ijin dalam melakukan ekstraksi semua sumber daya mineral kepada individu maupun perusahaan.
Dampak dari Undang-Undang yang baru ini yaitu menghilangkan klaim rakyat terhadap hak atas tanah dan pemanfaatannya yang mencakup tanah permukaan serta tubuh bumi, sebagaimana dijamin oleh UU No.5 tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA).
Disamping terjadi ketidak adilan terhadap hak atas tanah dan pemanfaatannya, banyak perusahaan yang sudah mendapat ijin untuk melakukan eksploitasi mineral ternyata tidak mengindahkan aturan dalam mereklamasi lahan bekas tambang.
Sebagai contoh, perusahaan pertambangan batu-bara swasta maupun milik pemerintah secara terang-terangan melanggar Pasal 30 UU Pertambangan Nomor 11 tahun 1967 yang secara tegas menyatakan : “Apabila selesai melakukan penambangan dan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lainnya.”
Baca juga: Menilik Kembali Sejarah dan Regulasi Industri Pertambangan di Indonesia - Bagian 2
Pelanggaran pada UU No. 11 Tahun 1967 ini terjadi lantaran tidak adanya sanksi tegas dari Pemerintah terhadap perusahaan tambang yang terbukti melakukan pelanggaran. Terhitung sejak mulai maraknya perusahaan tambang yang bermunculan, lahan bekas tambang umunya dibiarkan terbuka menganga hingga menjadi danau-danau yang beracun. Beberapa lubang bekas galian tambang yang dilakukan reklamasi pun terlihat tidak sepenuhnya diperbaiki dan dibiarkan dalam kondisi rusak.
Berkaitan dengan jenis kontrak dan perijinan untuk melakukan penambangan, setidaknya ada 5 hal yang diatur dalam UU No.11 tahun 1967, yaitu:
- Kuasa Pertambangan (KP), diperuntukkan bagi perusahaan nasional, baik BUMN maupun swasta,
- Kontrak Karya (KK) yang diperuntukkan bagi penambangan golongan a dan b, serta modal asing,
- Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) bagi modal dalam negeri dan modal asing yang mengusahakan pertambangan batubara,
- Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD) bagi perusahaan nasional dan koperasi untuk mengusahakan bahan galian industri, dan
- Surat Ijin Pertambangan Rakyat (SIPR).
Ada persoalan lain di luar masalah lingkungan yang harus dirasakan oleh rakyat perihal aturan pertambangan di masa orde baru ini. Permasalahan tersebut tidak lain adalah adanya konsep kriminalisasi.
Undang-Undang Pertambangan dengan sangat jelas mengesampingkan hak-hak rakyat atas bahan tambang yang ada di wilayahnya, hal ini tertuang dalam pasal 32 ayat 2 Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 yang berbunyi: “Dihukum dengan hukuman selama-lamanya tiga bulan dan/atau dengan denda setinggi-tingginya sepuluh ribu rupiah, barang siapa yang berhak atas tanah merintangi atau mengganggu usaha pertambangan yang sah.”
Baca juga:
Menilik Kembali Sejarah dan Regulasi Industri Pertambangan di Indonesia - Bagian 4
Menilik Kembali Sejarah dan Regulasi Industri Pertambangan di Indonesia - Bagian 1
Sumber:
Sirwanto. 2020. Kebijakan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Dampak Kedaulatan Bangsa
Soelistijo W. Ukar. 2011. Dinamika Penanaman Modal Asing (PMA) Bidang Pertambangan Umum di Indonesia.
Pardede, Marulak. 2018. Implikasi Hukum Kontrak Karya Pertambangan Terhadap Kedaulatan Negara
Rumokoy K. Nike. 2016. Pelanggaran Hukum Terhadap Penggunaan Minyak dan Gas bumi (MIGAS) yang Terkandung di Dalam Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia Oleh Pihak yang Tidak Berwenang.