Menyambut Berlakunya Perjanjian Minamata  tentang Merkuri

Jakarta, Indonesia, 16 Agustus 2017 –  Hari ini, 16 Agustus 2017, Konvensi Minamata tentang Merkuri akan berlaku secara global sesuai dengan ketentuan keberlakuan yang mensyaratkan ratifikasi lebih dari 50 negara agar perjanjian ini berlaku dan mengikat.[1] Perjanjian ini ditandatangani 128 negara di Kumamoto, Jepang pada 10 Oktober 2013, dan hingga saat ini 74 negara telah meratifikasinya. Dengan berlakunya Konvensi Minamata, maka kewajiban hukum negara­negara pihak yang telah meratifikasi perjanjian ini menjadi mengikat secara hukum. Sedangkan bagi negara penandatangan, sekalipun belum terikat secara hukum dengan ketentuan dalam Konvensi Minamata, tetap diwajibkan untuk menghindari tindakan yang bertentangan dengan tujuan dari p erjanjian ini. Walaupun Indonesia merupakan pihak yang telah menandatangani perjanjian ini, hingga saat ini Indonesia masih belum mengeluarkan produk hukum untuk meratifikasi Konvensi Minamata. Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah membuat Naskah Akademik Rancangan Undang­Undang Pengesahan  Minamata Convention on Mercury (Konvensi Minamata mengenai Merkuri). Naskah Akademik (NA) yang saat ini dalam tahap finalisasi dan telah dikonsultasikan di DPR­RI. Diskusi publik rancangan naskah akademik terakhir dilaksanakan tanggal 12 Juli 2017 oleh Kementerian Hukum dan HAM dan di Manado tanggal 9 Agustus yang lalu.

Rapat dengar pendapat umum (RDPU) terakhir antara KLHK dengan Komisi VII DPR­RI dilakukan pada 14 Juli 2017.[2]  Setelah beberapa road show konsultasi publik lagi, KLHK akan mendapatkan paraf dari kementerian terkait sebelum  akhirnya diajukan ke Setneg. Merujuk pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam RDPU dengan Komisi VII DPR­RI pada 14 Juli 2017, beberapa organisasi lingkungan hidup menyatakan dukungan penuh b agi KLHK untuk mendorong percepatan ratifikasi konvensi Minamata. ”Kami mengapresiasi KLHK yang telah secara tegas menyatakan akan meratifikasi Konvensi Minamata dan mengadvokasi RUU ratifikasi ini di DPR. Namun, upaya ini perlu dilakukan secara lebih agresif mengingat proses pematangan NA telah berjalan sejak tahun 2015, dan prosesnya perlu lebih transparan disampaikan kepada masyarakat. Ratifikasi ini penting dilakukan segera mengingat permasalahan merkuri di lapangan semakin berkembang, dan melihat koneksinya dengan jalur pasokan merkuri yang lintas batas, kita tidak bisa bergerak sendirian,” ujar Yuyun Ismawati, Senior Advisor BaliFokus, penerima  Goldman Environmental Prize 2009. Margaretha Quina, pengamat hukum lingkungan dari  Indonesian Center for Environmental Law , menjelaskan implikasi berlakunya konvensi ini bagi Indonesia. “Dengan berlakunya (entry  into force )  konvensi ini, ada beberapa pasal yang menjadi operasional. Diantaranya kewajiban negara pihak untuk melarang penambangan merkuri primer baru setelah konvensi berlaku. Ini kontekstual bagi Indonesia mengingat masyarakat kita sudah mulai menguasai metode ekstraksi  cinnabar ,” ujar Quina. “Selain itu, ada juga ketentuan bagi negara pihak mengenai larangan ekspor merkuri tanpa persetujuan tertulis dari penerima, baik negara pihak maupun non­pihak, serta pembatasan impor merkuri dari negara non­pihak. Persyaratan perdagangan ini seharusnya membantu Indonesia, mengingat kita merupakan negara dengan masalah perdagangan merkuri ilegal yang c ukup pelik.” Selain ratifikasi, Indonesia juga perlu mempersiapkan Rencana Implementasi Nasional (RIN) untuk mengimplementasikan Konvensi Minamata.

RIN merkuri ini meliputi implementasi semua kewajiban negara dalam Konvensi Minamata, termasuk diantaranya kewajiban pembuangan merkuri secara ramah lingkungan, penghapusan merkuri dalam produk tertentu pada tahun 2020, integrasi ketentuan perdagangan merkuri sebagaimana dipersyaratkan Konvensi Minamata dalam mekanisme impor­ekspor, inventarisasi dan identifikasi sumber pasokan merkuri, pembatasan penggunaan merkuri dalam proses manufaktur, pengendalian emisi dan lepasan merkuri ke lingkungan, pengelolaan limbah merkuri dan penyimpanan stok merkuri, remediasi lahan tercemar merkuri, serta pengurangan hingga penghapusan  penggunaan merkuri dalam penambangan  emas skala kecil. “Paralel dengan proses ratifikasi, seharusnya penyusunan Rencana Implementasi Nasional pengelolaan merkuri juga dilakukan secara transparan dengan melibatkan semua pihak,” ujar Dwi Sawung dari WALHI E ksekutif Nasional. Selain RIN yang bersifat holistik, negara pihak juga harus menyusun Rencana Aksi Nasional (RAN) sektoral. Salah satu RAN yang telah dimiliki Indonesia adalah RAN Penghapusan Merkuri pada Penambangan Emas Skala Kecil (PESK) 2017­2021, yang disusun oleh Kementerian ESDM.

PESK diidentifikasi sebagai sumber emisi merkuri terbesar dari penggunaan merkuri yang disengaja. Di Indonesia, sumber e misi dan lepasan merkuri tertinggi berasal dari sektor PESK (57%).[3] PESK sendiri merupakan salah satu sektor yang mendapat perhatian khusus dari eksekutif dan mendorong Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan tujuh instruksi Presiden terkait penggunaan merkuri di sektor pertambangan rakyat.[4] RAN lainnya yang sudah dimiliki Indonesia adalah RAN untuk pengendalian dampak merkuri terhadap kesehatan manusia yang sudah disahkan menjadi Peraturan Menteri Kesehatan  No. 57 tahun 2016.[5][6] “Ratifikasi Minamata perlu didukung dengan peraturan yang operasional di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota termasuk melalui Rencana Aksi Nasional dan Rencana Aksi Daerah beserta penganggaran yang diperlukannya,” kata Agus Slamet Priyono Hariyadi dari Yayasan Tambuhak Sinta. Dengan diberlakukannya Konvensi Minamata, maka Pemerintah Indonesia dihadapkan pada tantangan besar, terlebih dengan masih maraknya kegiatan pertambangan emas skala kecil yang menggunakan merkuri dan pertambangan cinnabar.[7] Pemerintah Indonesia seharusnya membuat payung hukum dalam hal pengelolaan penggunaan merkuri secara nasional yang kemudian diturunkan dalam bentuk  peraturan hingga tingkat provinsi dan kabupaten. Rencana Aksi Nasional dan Daerah hendaknya memiliki target yang jelas dan riil, didukung penganggaran, serta ditinjau berkala. Pemerintah memegang peranan penting, tapi diperlukan dukungan dari semua pihak, termasuk masyarakat. Oleh karena itu, kampanye penyadartahuan harus terus dilakukan.

Khusus untuk pertambangan emas skala kecil, yang merupakan salah satu penyumbang emisi merkuri terbesar di Indonesia, maka formalisasi menjadi hal yang mendasar dan penting yang memungkinkan Pemerintah untuk melakukan pembinaan, termasuk sosialisasi teknik pengolahan bebas merkuri dan pengendalian dampak lingkungan,” ujar Budi Susilorini dari Pure Earth/Blacksmith Institute. BaliFokus adalah sebuah organisasi non­pemerintah di Indonesia yang bekerja untuk meningkatkan kapasitas masyarakat, kualitas hidup dan mengadvokasi lingkungan yang bebas­racun bersama­sama dengan semua  pemangku kepentingan secara berkelanjutan.  Pure Earth/Blacksmith Institute adalah sebuah lembaga nirlaba yang memiliki misi untuk mengidentifikasi dan membersihkan lahan tercemar di dunia ketiga di mana konsentrasi racun berdampak buruk pada k esehatan manusia. Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) adalah lembaga advokasi hukum lingkungan yang berorientasi perbaikan kebijakan dan hukum, peningkatan kapasitas, serta pendampingan bagi masyarakat terdampak maupun pemerintah untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) adalah organisasi lingkungan hidup yang independen, non­profit dan terbesar di Indonesia  yang ada di 27 propinsi dengan 473 organisasi anggota. Yayasan Tambuhak Sinta  (YTS)  adalah  sebuah organisasi pembangunan yang bekerja dengan fokus pada penguatan tata kelola dan pembangunan masyarakat berkelanjutan, seimbang, dan setara di daerah­daerah y ang terkena dampak industri ekstraktif. Lampiran Beberapa langkah­langkah konkrit yang harus diperhatikan dan diambil oleh Presiden RI dan jajarannya di pemerintahan Republik Indonesia terkait dengan berlakunya Konvensi Minamata tentang Merkuri:

  1. Indonesia segera meratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri, karena sampai hari ini Indonesia belum meratifikasinya.
  2. Masalah merkuri di Indonesia yang kritis untuk segera ditangani adalah: penambangan cinnabar dan produksi merkuri legal, serta penggunaan merkuri secara masal tak terkendali di tambang­tambang emas skala kecil dan i legal, harus dihentikan sesuai rencana aksi nasional.
  3. Penghapusan penggunaan merkuri di sektor kesehatan juga harus diprioritaskan, terutama hentikan penggunaan dental amalgam untuk anak­anak d an perempuan.
  4. Alternatif produk yang tidak menggunakan merkuri harus dipromosikan dan didorong luas termasuk alternatif dalam fungisida, cat, baterai, rontgen, dan produk2 alat kesehatan.
  5. PLTU, TPA open dumping dan pembakaran sampah berkontribusi besar dalam emisi merkuri di udara.
  6. Emisi dan lepasan merkuri dari industri lain seperti pulp & kertas, pertambangan dan sektor migas juga harus dikontrol.
  7. Pencemaran merkuri yang meningkat di lingkungan, terdeteksi di air, tanah dan udara dan masuk ke rantai makanan terutama ikan dan beras. Diperlukan pengawasan yang ketat dan fish advisory terutama untuk ibu hamil;
  8. Lahan yang tercemar merkuri dan dampak pencemaran merkuri terhadap kesehatan merupakan warisan jangka panjang pencemaran merkuri yang harus serius ditangani oleh pemerintah.
  9. Bila dilakukan pemulihan terhadap lahan yang tercemar merkuri, maka Pemerintah juga perlu memikirkan penyimpanan merkuri yang dihasilkan. Merkuri yang dipulihkan dari lahan tercemar tidak boleh diresirkulasikan lagi ke pasar. Merkuri yang dipulihkan harus disimpan di tempat penyimpanan jangka panjang dalam bentuk senyawa campuran yang tidak memungkinkan merkuri digunakan lagi.
  10. Pemulihan bisa dikembangkan hingga tahap revitalisasi lahan yang tadinya tercemar menjadi sumber mata pencaharian baru bagi masyarakat sekitar.
  11. Kasus­kasus keracunan merkuri, akut maupun kronis, angka keguguran dan bayi lahir cacat di lokasi­lokasi tambang emas harus ditanggapi dengan program kesehatan khusus;
  12. Pemantauan biomarker terhadap para korban yang terduga keracunan merkuri harus dilaksanakan secara terintegrasi didukung kapasitas laboratorium yang memadai.

  [1] Minamata Convention on Mercury http://www.mercuryconvention.org/Countries/tabid/3428/language/en­US/Default.aspx [2] Siaran Pers KLHK. 14 Juli 2017. Menuju Ratifikasi Konvensi Minamata Mengenai Merkuri. http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/646 [3] Kania Dewi. 2012. Inventory of mercury releases in Indonesia. https://docs.wixstatic.com/ugd/13eb5b_a9f86852270f4c069cc255d1a4575ec3.pdf [4] Tujuh Instruksi Presiden terkait Penggunaan Merkuri pada Pertambangan Rakyat https://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=13438&Itemid=55 [5]  Permenkes No.57 tahun 2016  tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Dampak Kesehatan Akibat Pajanan Merkuri Tahun 2016­2020 http://www.kesjaor.kemkes.go.id/documents/PMK%20No.%2057%20ttg%20Rencana%20Aksi%20Nasional%2 [6] Pengendalian%20Dampak%20Kesehatan%20Akibat%20Pajanan%20Merkuri%202016­2020.pdf [7] BaliFokus. 2017. Perdagangan dan Pasokan Merkuri di Indonesia. https://docs.wixstatic.com/ugd/13eb5b_5ad3080a5d6049cab700d5d7966c4119.pdf Untuk informasi lebih l anjut: