Siaran Pers Bersama
WALHI, AMAN, TuK Indonesia
Jakarta, 24 Januari 2025. Pasca berencana membuka hutan untuk pangan dan energi, serta menegasikan sawit sebagai penyebab deforestasi, kini presiden Prabowo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 Tentang Penertiban Kawasan Hutan. Ada persoalan mendasar dari Peraturan Presiden ini, yaitu pendekatan militerisme dalam penertiban kawasan hutan. Militerisasi dalam kawasan hutan atas nama penertiban ini dapat menjadi ancaman bagi masyarakat yang selama ini hidup dan beraktivitas di dalam dan sekitar kawasan hutan. Militerisasi dalam kawasan hutan ini dapat dilihat dari struktur Satuan Tugas (Satgas) Penertiban Kawasan Hutan yang terbagi menjadi pengarah dan pelaksana, dimana ketua dan wakil ketuanya didominasi oleh TNI dan Polri.[1]
Selain pendekatan militerisme, Peraturan Presiden ini juga menyamakan antara aktivitas legal dalam kawasan hutan berbasis korporasi dengan masyarakat yang selama ini menjadi korban konflik tenurial (penetapan kawasan hutan secara sepihak), dan konflik agraria dengan perusahaan-perusahan pemegang izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan. Jika itu yang terjadi, hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) Pasal 11 ayat (4) yang berbunyi “Masyarakat yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan penebangan kayu di luar kawasan hutan konservasi dan hutan lindung untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial harus mendapat izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Artinya Perpres ini tidak boleh menyentuh masyarakat sekitar hutan yang proses pengukuhan kawasannya belum selesai dan menjadi subyek untuk penataan kawasan. Perpres ini juga tidak boleh menyasar masyarakat yang saat ini masih mengalami konflik dengan korporasi pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan.
“Jika memang Presiden berani, harusnya Perpres ini diarahkan untuk menindak korporasi skala besar yang selama ini telah menikmati keuntungan besar, menimbulkan kerugian lingkungan dan perekonomian negara dari aktivitas ilegal dan koruptif yang mereka lakukan di kawasan hutan. Bukan beraninya kepada rakyat kecil yang selama ini telah menjadi korban dari klaim sepihak negara atas kawasan hutan dan korban dari buruknya tata kelola perizinan di sektor kehutanan, kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.
Uli juga menambahkan “kami juga menyayangkan keterlibatan Institusi Pertahanan dalam Perpres ini seperti Menteri Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia dalam struktur Satuan Pengarah dan Pelaksana. Keterlibatan tersebut bertentangan dengan Tugas, Fungsi dan Peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Selanjutnya kami mempertanyakan juga kepada DPR, apakah keterlibatan TNI dalam Perpres ini sudah mendapatkan persetujuan dari DPR? Mengingat pelibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) memerlukan Persetujuan DPR, selain itu keterlibatan TNI dalam Perpres ini tidak bisa menggunakan dalih perbantuan, yang semestinya dilakukan ketika permasalahan yang dihadapi melampaui kapasitas otoritas sipil, pertanyaannya apakah Menteri yang membidangi seperti Kementerian Kehutanan, Lingkungan Hidup serta Aparat Penegak Hukum tidak mampu sehingga harus meminta bantuan TNI?.
Kekhawatiran terbesar Perpres Penertiban Kawasan Hutan ini justru dipakai untuk menggusur pemukiman, kebun serta perladangan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan dengan tujuan untuk mengalokasikan kembali kawasan tersebut untuk kebutuhan lainnya seperti pangan dan energi, sebagaimana program pemerintah membuka hutan untuk pangan dan energi. Apalagi menyematkan program tersebut menjadi Proyek Strategis Nasional (PSN), maka proses militerisasi akan menjadi legal melalui Perpres ini. Melihat pengalaman panjang negara ini, lebih mudah untuk menertibkan, menggusur dan merampas tanah rakyat ketimbang mengambil kembali hutan dan tanah yang selama ini dikuasai secara ilegal maupun legal tetapi tidak legitimate oleh korporasi.
Penertiban kawasan hutan yang diatur dalam Perpres ini juga dilakukan dengan cara pembayaran denda administratif, penguasaan kembali kawasan hutan, dan pemulihan aset dalam kawasan hutan.[2] Hal ini cukup berbeda dengan sanksi yang sebelumnya diatur dalam PP No. 24 Tahun 2021 memuat ketentuan mengenai penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan/persetujuan melanjutkan kegiatan usaha/persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagai mekanisme penyelesaian. Namun seluruh tipologi persoalan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan yang diatur dalam Perpres diselesaikan dengan Penguasaan Kembali Kawasan Hutan oleh negara. Hal ini menjadi baik jika memang diarahkan untuk menertibkan korporasi-korporasi yang selama ini melakukan aktivitas ilegal dalam kawasan hutan. Meskipun pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana dengan aspek pemulihan hutan yang telah rusak?, yang sama sekali tidak diatur dalam Perpres tersebut. Harusnya penguasaan kembali ini tidak menghilangkan pertanggungjawaban korporasi untuk memulihkan kawasan hutan yang telah rusak. Pemerintah juga seharusnya melakukan tindakan pemulihan setelah menguasai kembali, bukan justru mengalokasikan kawasan hutan tersebut untuk aktivitas bisnis atau program lainnya.
Hal selanjutnya, menjadi sangat penting memastikan keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam proses penertiban kawasan hutan. Sehingga masyarakat dapat berpartisipasi penuh memberikan data dan informasi berbasis fakta lapangan, memberikan masukan, agar implementasi Perpres ini tidak dilakukan secara ugal-ugalan di lapangan.
Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyampaikan pentingnya keterbukaan informasi publik terkait perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan sebagai informasi awal, agar kita bisa memastikan memang Perpres ini akan ditujukan untuk menertibkan izin-izin konsesi perusahaan “nakal” yang beroperasi di kawasan hutan.
“Kekhawatiran kami di Masyarakat Adat, jangan sampai Perpres ini malah digunakan sebagai alat untuk melegitimasi resettlement Masyarakat Adat yang mendiami kawasan secara turun-temurun berdasarkan hukum adat tetapi diklaim secara sepihak oleh negara sebagai kawasan hutan negara. Perpres ini juga harus dibaca dengan proses-proses penetapan kawasan hutan yang sedang digenjot oleh Kementerian Kehutanan yang dalam praktiknya mendapatkan perlawanan dari Masyarakat Adat karena dilakukan dengan cara-cara yang tidak partisipatif alih-alih mengarusutamakan FPIC[3].”
Abdul Haris dari Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyampaikan “Perpres ini bisa dipakai untuk percepatan penanganan 2,31 juta hektare lahan kelapa sawit yang masuk dalam kawasan hutan yang dimiliki oleh 2.128 perusahaan, 569 perusahaan di antaranya adalah anggota GAPKI dengan total luas 810,425 hektare.”
Dengan penegakan hukum yang kuat terhadap berbagai kejahatan lingkungan sektor perkebunan dan kehutanan, maka akan tercipta kepatuhan. Partisipasi publik kembali kuat karena ada kepercayaan yang tinggi pada aparat penegak hukum. Jika publik terlibat aktif, maka tidak dibutuhkan satuan tugas khusus untuk mengurusi hutan karena ada kepentingan bersama disitu, jelas Abdul.
Narahubung
Uli Arta, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, +62821-8261-9212
Muhammad Arman, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), +62812-1879-1131
Abdul Haris, Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, +62821-9195-2025
---- ----
[1] Ketua pengarah Satgas merupakan Menteri Pertahanan, dengan wakil ketua I yaitu Jaksa Agung, wakil ketua II Panglima TNI, dan wakil ketua III yaitu Kapolri. Sedangkan ketua pelaksana adalah Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, dengan wakil ketua I Kepala Staf Umum TNI; wakil ketua II Kepala Badan Reserse Kriminal Polri; wakil ketua III Deputi Bidang Investigasi BPKP.
[2] Pemulihan aset di Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat dilakukan melalui mekanisme pidana, perdata, dan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[3] FPIC (Free, Prior, and Informed Consent) adalah persetujuan awal tanpa paksaan dan berdasarkan informasi. FPIC merupakan hak masyarakat adat untuk memberikan persetujuan atas tindakan yang dapat mempengaruhi tanah, wilayah, atau hak mereka.