Militerisasi Hutan: MoU Kemenhut dan KLH dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan Perburuk Penyelesaian Konflik Kawasan Hutan dan Rawan Pelanggaran HAM 

Siaran Pers
Eksekutif Nasional WALHI

Jakarta, 14 Februari 2025. Setelah sebelumnya Presiden menerbitkan Perpres penertiban kawasan hutan, kini Menteri Kehutanan melakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang semakin memperkuat militerisasi di kawasan hutan, sekaligus mereduksi tanggungjawab dan kewenangan Kementerian Kehutanan dalam melindungi dan memulihkan hutan. Dominasi peran dan tanggung jawab TNI membuat Kementerian Kehutanan tidak lagi relevan.

MoU antara Kementerian Kehutanan dan TNI untuk menjaga hutan dan melakukan rehabilitasi hutan semakin menunjukkan ketidakmampuan negara melalui Kemenhut untuk menjaga dan memulihkan hutan Indonesia. Selain itu, TNI juga tidak memiliki pengalaman dalam melindungi dan memulihkan hutan. Selama ini rakyat yang hidup di dalam dan di sekitar hutan lah yang melindungi hutan-hutan Indonesia. Data Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) dan Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan bahwa 70% dari tutupan hutan di wilayah adat masih terjaga dan dalam kondisi baik. Sementara, data WALHI di Jawa Barat, Bengkulu dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa ketika masyarakat diberikan akses terhadap kawasan hutan, justru mereka berhasil memulihkan tutupan kawasan hutan yang terdeforestasi sebelumnya. 

“Menteri Kehutanan harusnya memaksimalkan peran masyarakat yang selama ini telah melakukan kerja-kerja perlindungan dan pemulihan hutan. Pemaksimal penuh ini hanya bisa dilakukan pertama sekali dengan mengakui hak rakyat atas hutannya, dan mengedepankan pengetahuan serta pengalaman Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal di dalam dan sekitar kawasan hutan yang selama ini melakukan perlindungan dan pemulihan” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun WALHI Nasional.

“Jadi, Kementerian Kehutanan harusnya belajar ke rakyat untuk jaga hutan, bukan ke TNI. Kalau terus menarik-narik TNI ke urusan hutan, Kementerian Kehutanan dibubarkan saja”, tambahnya. 

Selain itu, Penandatanganan MoU antara TNI dan Kemenhut tersebut bertentangan dengan Peran dan Fungsi TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan serta bertentangan dengan Tugas Pokok TNI. 

Lebih lanjut, Penandatanganan MoU tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai salah satu jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) karena membutuhkan prasyarat kebijakan dan keputusan politik negara atau kebijakan politik pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Penandatanganan MoU ini tidak juga bisa dalih perbantuan, Sebab perbantuan semestinya dilakukan ketika persoalan yang dihadapi melampaui kapasitas (beyond capacity) otoritas sipil terkait dalam hal ini Kemenhut. Sementara dalam konteks ini, tidak terlihat kondisi-kondisi yang berpotensi memicu ketidaksanggupan Kemenhut dalam menjaga hutan.

“Seharusnya Kemenhut memaksimalkan peran Polisi Hutan, selain itu banyak juga penelitian yang menyebutkan bahwa Masyarakat Adat dan Lokal di sekitar dan/atau dalam kawasan hutan juga lebih memiliki peranan penting dan memiliki konsep menjaga hutan” kata Teo Reffelsen, Manager Hukum dan Pembelaan WALHI Nasional.

Teo juga menambah bahwa WALHI juga mencemaskan, sebagaimana diketahui banyak kawasan hutan di Indonesia masih mengalami konflik tenurial dengan Masyarakat, dengan adanya MoU Jaga Hutan ini TNI dapat saja terlibat di dalamnya, sehingga kekhawatiran apabila TNI berhadapan dengan Masyarakat dan mengakibatkan Pelanggaran HAM menjadi valid.

 

Narahubung

Uli Arta Siagian, Manajer Kampanye Hutan dan Kebun
Teo Reffelsen, Manajer Hukum dan Pembelaan