Nasib Moratorium Perkebunan Sawit

Sebelum kita bicara urgensi adanya kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit, ada baiknya kita melihat kembali implementasi kebijakan ini dari waktu ke waktu hingga perpanjangan moratorium untuk ketiga kali sejak 2011 lewat Inpres No 10/2011 dan Inpres No 6/2013. Dari kajian yang dilakukan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama dengan Kemitraan di empat provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah, pada 2015 ditemukan berbagai persoalan dalam implementasi kebijakan moratorium. Dari empat provinsi ini, luasan area yang dimoratorium terus mengalami pengurangan, pemberian izin tetap berlangsung dan bahkan nyaris sempurna modus operandinya jelang pilkada. Selama masa moratorium, total penerbitan izin mencapai 11.362.981 hektar, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan 1.677.217,52 hektar,kebun kayu melalui skema perizinan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) 1.725.467 hektar, izin pinjam pakai kawasan hutan 193.896 hektar, dan pelepasan kawasan hutan untuk pemenuhan permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk area peruntukan lain (APL) 7,7 juta hektar di 20 provinsi. Luas areal yang dimoratorium berkurang. Moratorium tak mengurangi jumlah lisensi baru yang diberikan kepada pemegang konsesi. Pemutihan peta dan rezim keterlanjuran jadi argumentasi pengambil kebijakan, di tingkat nasional maupun daerah. Bagaimana dengan implementasi Inpres No 8/2015 pada masa pemerintahan saat ini? Dari analisis tentang urgensi kebijakan moratorium perkebunan sawit di Indonesia yang dilakukan Walhi bersama Kemitraan, TuK Indonesia, Sawit Watch, dan Auriga tahun 2017 tak ada perubahan signifikan dari implementasi inpres sebelumnya.

Kebijakan moratorium tak mengurangi struktur penguasaan sumber daya alam, khususnya di perkebunan sawit skala besar yang dikuasai segelintir penguasa ekonomi. Dalam pemberitaan di media massa, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui, selama implementasi inpres moratorium, belum terjadi pembenahan tata kelola hutan dan gambut. Artinya, inpres moratorium per dua tahun ini nyaris tak bergigi ketimbang kekuasaan korporasi dan elite politik yang mempraktikkan penghancuran alam berbabak-babak rezim pemerintahan. Waktu pemulihan jasa layanan alam tidak sebanding dengan laju kerusakan yang dihasilkan dari sebuah perizinan. Di sinilah letak urgensi memperkuat kebijakan moratorium. Walhi menawarkan kebijakan moratorium yang kuat, yakni dengan tak lagi memberikan izin-izin kepada industri kebun kayu, sawit, dan tambang dalam kurun waktu minimal 25 tahun sembari secara aktif pemerintah melakukan kaji ulang dan audit perizinan yang sudah ada (existing) yang ditengarai banyak melakukan pelanggaran hukum serta perundang-undangan dan kejahatan korupsi. Mengingat butuh waktu lebih lama bagi alam untuk bisa memulihkan diri setelah sekian lama terus dieksploitasi—ditambah lagi persoalan penyelesaian tata batas kawasan hutan—sinkronisasi berbagai peraturan dan regulasi turunannya tak kalah mendesak. Hal terpenting menyinergikan kerja pemerintahan lintas sektor maupun antara pusat dan daerah dengan kondisi kewenangan daerah yang ditarik ke tingkat provinsi.

Dalam kurun 25 tahun, dengan peta jalan yang lebih jelas, diharapkan dapat lebih terukur capaiannya. Tantangan dan harapan Sejak berakhirnya Inpres No 8/2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Primer dan Lahan Gambut pada 13 Mei 2017, hingga saat ini belum ada kepastian keluarnya kebijakan perpanjangan moratorium. Situasi ini menimbulkan banyak pertanyaan, mengapa kebijakan moratorium tidak juga terbit, di mana letak hambatannya. Padahal, publik juga sudah tahu melalui pemberitaan di media massa bahwa sejak 2016 draf kebijakan moratorium perkebunan kelapa sawit sudah berada di meja Presiden dan tinggal diteken. Upaya coba-coba uji materi atas UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU No 41/1999 tentang Kehutanan pada pasal-pasal yang krusial mestinya menjadi penanda bagi Presiden bahwa kekuatan korporasi tidak main-main melakukan perlawanan sistematis terhadap upaya negara dalam melakukan penegakan hukum atas kejahatan korporasi dan upaya negara memproteksi alam. Tantangan Presiden berat karena korporasi telah masuk melalui parlemen untuk mendorong RUU Perkelapasawitan, yang saat ini pembahasannya digenjot parlemen. Intervensi politik begitu kuat dan gencar dilakukan oleh kekuatan korporasi.

Kabar baik dari Istana diharapkan keberanian politik dari Presiden Jokowi dinantikan. Harapannya, kali ini Presiden menggunakan momentum memperkuat kebijakan moratorium melalui perpres. Kebijakan ini sesungguhnya juga mendukung komitmen politik Presiden yang lain, yakni pembangunan ekonomi yang berkeadilan dengan mengurangi ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang selama ini dikuasai korporasi skala besar, dan memberikannya kepada rakyat sebagai bentuk pengakuan dan perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat. Apakah Presiden akan menggunakan momentum ini dengan memperkuat kebijakan moratorium agar pembenahan tata kelola sumber daya alam kita dapat lebih adil dan lestari? KHALISAH KHALID Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Walhi Tulisan dipublikasi koran kompas 10 Juli 2017