Negara, Korporasi dan Lembaga Pembiayaan Harus Bertanggung Jawab Terhadap Pelanggaran HAM dan Kerusakan Lingkungan!

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
10 Desember 2019

Meski sudah disebutkan dalam Pasal 66 UU Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup
”Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” faktanya, bukan hanya kriminalisasi yang dihadapi pejuang lingkungan hidup, tetapi juga tindakan kekerasan.

Dalam banyak kekerasan yang menimpa pejuang lingkungan hidup / environmental human right defender . Pola kekerasan yang dialami rakyat tidak banyak berbeda ketika berhadapan dengan swasta ataupun negara, dimana aparatur negara terlibat , baik secara langsung ataupun tidak

Catatan Kriminalisasi di Jawa

Dalam catatan advokasi WALHI sepanjang 5 tahun terakhir, di Jawa saja (Jakarta, Jabar, Jatim, Jogja, jateng), telah terjadi setidaknya 146 kasus kriminalisasi yang menyasar pejuang lingkungan hidup. Jawa Timur menjadi lokasi dengan kasus kriminalisasi tertinggi

Dari tipologi kasus, industri ekstraktif masih menjadi sektor yang menyumbang konflik paling tinggi, dari kelas galian C hingga tambang emas di tumpang pitu. Tambang mencapai 52 % dari total kasus yang diadvokasi oleh WALHI di Kepulauan Jawa. Bahkan dengan semua tolok ukur lingkungan di Jawa yang sudah melampaui daya dukung dan daya tampung, tetap saja Jawa dibebani dengan izin yang cukup masif.

 

Dari sisi pelaku pelanggaran HAM, kepolisian masih mendapat “raport merah” paling tinggi, baru kemudian disusul oleh pelaku lainnya (Preman, TNI, Pemerintah).

Proyek-proyek yang merusak lingkungan ini terus saja masih beroperasi, berbagai kebijakan “karpet merah” justru dikeluarkan oleh pemerintah, ditengah kebijakan perlindungan berkali-kali dilucuti. Bahkan pada beberapa pekan terakhir pemerintah bahkan mendorong agar AMDAL dan IMB dihapuskan. Kebijakan perlindungan strategis seperti KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) juga tidak maksimal dilaksanakan.

Berbagai perampasan ruang hidup ini, terus meluas karena selain turut difasilitasi oleh negara, juga didukung oleh berbagai  institusi keuangan-pendanaan, baik dalam negeri ataupun luar negeri. Dalam catatan kerja-kerja advokasi WALHI di Jawa, setidaknya lebih dari 40 lembaga pembiayaan (bank, bank pembangunan, lembaga investasi, dll) yang turut terlibat dalam kerusakan lingkungan.

Dalam PERATURAN OTORITAS JASA KEUANGAN 51 /POJK.03/2017 TENTANG PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN BAGI LEMBAGA JASA KEUANGAN, EMITEN, DAN PERUSAHAAN PUBLIK, lembaga pembiayaan diatur agar menjalankan prinsip investasi yang bertanggung jawab, serta prinsip pengelolaan resiko sosial dan Lingkungan Hidup.

Dalam kondisi Darurat HAM dan Lingkungan hidup seperti saat ini, harusnya pada momentum hari HAM, pemerintah harusnya segera mengeluarkan aturan turunan dari pasal 66 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur tentang perlindungan pejuang lingkungan hidup (environmental human right defender) dan aturan mengenai anti SLAPP (Strategic lawsuit against public participation).

 Pada sisi lain, pemerintah harus melakukan upaya strategis mereview kebijakan-kebijakan yang mengancam perlindungan lingkungan hidup dan HAM, seperti PP OSS. Upaya ini tentu juga harus diiringi dengan mencabut rencana kebijakan yang kontraproduktif terhadap perlindungan HAM dan lingkungan hidup seperti rencana penghapusan AMDAL dan IMB

Salam Adil dan Lestari

Narahubung :

  • Eksekutif Daerah WALHI Jawa Timur ; Fandi +62 821-3936-5522
  • Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat ; Iwank +62 812-1869-4471
  • Eksekutif Daerah WALHI Jogyakarta ; Halik S. +62 852-2838-0002
  • Eksekutif Daerah WALHI Jakarta ; Tubagus +62 856-9327-7933
  • Eksekutif Daerah WALHI Jawa Tengah ; Fahmi +62 857-3737-1848
  • Eksekutif Nasional WALHI ; Rozani +62 813-1438-7675