Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, 30 November 2018. Our Ocean Conference 2018 yang belangsung di Nusa Dua Bali dari tanggal 28-30 Oktober 2018 luput membicarakan hal-hal penting yang seharusnya dibahas dalam konferensi tersebut. Salah satunya adalah dampak Industri ekstraktif yang berada di pesisir dan pulau-pulau kecil yang mengancam kehidupan nelayan dan mencemari laut. Seperti kita ketahui masih banyak industri ekstaktif yang melakukan penambangan di laut Indonesia dan masih membuang limbah tailing ke laut dengan bebas. Praktik seperti Ini mengancam kehidupan dan keselamatan masyarakat pesisir akibat logam-logam berat yang mencemari laut dan berakumulasi dalam hewan laut yang akan dikonsumsi oleh manusia. Tidak hanya itu, konferensi ini juga tidak menaruh perhatian pada praktik reklamasi yang banyak mendapat perlawanan dari masyarakat yang hidup di pesisir. Bahkan, di beberapa daerah reklamasi dapat dibatalkan dengan gerakan rakyat yang terus berjuang. Namun, kebijakan zonasi laut justru mengancam ruang hidup rakyat dengan masih mengakomodir reklamasi salah satunya di Teluk Benoa. I Made Juli Untung Pratama, Direktur Eksekutif WALHI Bali mendesak agar Teluk Benoa segera ditetapkan sbg kawasan konservasi, dan meminta Direktur Perencanaan Ruang Laut Ditjen Pengelolaan Ruang Laut KKP, agar proyek-proyek yang terindikasi memiliki pelanggaran tata ruang tidak diakomodir dalam Perda RZWP3K Provinsi Bali, karena Perda RZWP3K bukan alat untuk memuluskan proyek yang izinnya melanggar tata ruang serta tidak pernah diatur di dalam produk hukum tata ruang lainnya. Didalam konferensi tersebut juga terlalu banyak ruang diberikan kepada industri yang telah mencemari laut dengan sampah plastik mereka. Industri tersebut seolah diberikan karpet merah di dalam konferensi. Meskipun solusi yang ditawarkan oleh industri tersebut hanyalah solusi semu dan tidak ada upaya menghentikan produksi dan konsumsi kemasan plastik yang berlebihan yang pada akhirnya menyebabkan permasalahan sampah plastik. Hal ini terlihat dari ketidakmauan pihak industri mengubah model bisnis mereka dan menerapkan tanggung jawab produsen dalam pengelolaan sampah. Selalu saja konsumen yang disalahkan atas semakin menumpuknya sampah plastik tersebut. Nelayan dan masyarakat yang hidup di pesisir yang seharusnya sebagai aktor penting terkait kebijakan perikanan berkelanjutan juga tidak terlalu mendapat ruang. Apalagi nelayan sedang menghadapi kesulitan ketika adanya pelarangan terhadap beberapa alat tangkap yang dianggap merusak laut. Pelarangan cantrang juga membutuhkan proses transisi yang jelas, selama ini menjadi pertanyaan nelayan kecil adalah bagaimana proses peralihan alat tangkap yang mesti mereka lakukan. Selesai Nara hubung:
- I Made Juli Untung Pratama, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Bali +6281805562111
- Dwi Sawung, pengkampanye energi dan perkotaan Eksekutif Nasional WALHI +628156104606