slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
PBB Kembali Kecam Pelanggaran HAM di Mandalika, NGO Menuntut Dihentikannya Pembiayaan Proyek Pariwisata Indonesia yang Didanai AIIB | WALHI

PBB Kembali Kecam Pelanggaran HAM di Mandalika, NGO Menuntut Dihentikannya Pembiayaan Proyek Pariwisata Indonesia yang Didanai AIIB

Siaran Pers

PBB Kembali Kecam Pelanggaran HAM di Mandalika, NGO Menuntut Dihentikannya Pembiayaan Proyek Pariwisata Indonesia yang Didanai AIIB

Bandung, Indonesia, 11 Mei 2022: Koalisi untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia dan NGO dan kelompok masyarakat sipil pendukung hari ini menuntut Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) dan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan pembiayaan AIIB sebesar 250 juta dollar untuk Proyek Pembangunan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika, setelah adanya komunikasi dari Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB. Surat tersebut, yang dikirim oleh Olivier De Schutter, UN Special Rapporteur on extreme poverty and human rights (Reporter khusus PBB bidang kemiskinan ekstrim dan hak asasi manusia) yang mempersoalkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia sehubungan dengan proyek tersebut oleh AIIB, ITDC dan pemerintah Indonesia [1].

Kelompok masyarakat sipil juga meminta AIIB, dan para debiturnya—ITDC dan pemerintah Indonesia—untuk menyelesaikan krisis kemanusiaan yang disebabkan oleh pengusiran paksa, pemukiman kembali tidak secara sukarela dan pembebasan lahan masyarakat, termasuk masyarakat adat, dari lahan mereka, dan mematuhi rekomendasi dikeluarkan oleh Prosedur Khusus OHCHR Dewan Hak Asasi Manusia [2].

“Kami mendesak AIIB untuk segera menangguhkan pembiayaan proyek Mandalika, yang dimulai tanpa Persetujuan Dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (FPIC), yang sesuai dengan komunikasi PBB, bertentangan dengan persyaratan berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional dan bahwa FPIC harus didapat dalam kondisi bebas dari paksaan, intimidasi atau manipulasi'”, ungkap Mohammad al Amien, koordinator Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia.

“Masyarakat adat dipaksa keluar dari lahan mereka dan masyarakat yang sebagian besar merupakan masyarakat agraris dihadapkan pada hilangnya mata pencaharian mereka”, lanjutnya. “AIIB juga harus segera meminta kliennya, ITDC dan pemerintah Indonesia untuk membubarkan satuan tugas pengadaan lahan yang sebagian besar terdiri dari tentara dan kepolisian di Mandalika yang menggunakan taktik intimidasi dan pembatasan gerakan terhadap masyarakat yang terkena dampak”.

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia terdiri dari organisasi lingkungan dan hak asasi manusia Indonesia dan internasional yang memantau kebijakan dan proyek bank pembangunan multilateral di Indonesia.

Setelah masa tenang selama 60 hari, prosedur khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Mandat Special Rapporteur bidang kemiskinan ekstrem mengumumkan komunikasinya pada 8 Maret pada 11 Mei 2022 dan menyerukan agar AIIB, ITDC, dan pemerintah Indonesia mempertanggungjawabkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan kesewenang-wenangan yang dilakukan dalam pelaksanaan proyek Mandalika, menunjuk seorang mediator independen dan Pemerintah Indonesia untuk mengizinkan kunjungan lapangan oleh special rapporteur PBB ke dalam wilayah proyek, untuk bertemu dengan semua pemangku kepentingan terkait [3].

Proyek Pengembangan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika, yang terletak di pulau Lombok, Indonesia, adalah pembangunan pariwisata infrastruktur besar-besaran yang sebagian besar didanai oleh AIIB yang menyediakan sebesar 78,5 persen dari total pendanaan proyek melalui pinjaman sejumlah $248,4 juta [4]. Proyek Pengembangan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika yang dibiayai AIIB merupakan proyek mandiri pertama bank tersebut di Indonesia yang disetujui pada akhir tahun 2018, di tengah konflik lahan sebagai akibat dari pengadaan lahan dan pemukiman kembali secara paksa dalam persiapan untuk proyek, AIIB lalai melakukan uji tuntas dan memastikan bahwa risiko pemukiman kembali tidak secara sukarela dan penggusuran paksa masyarakat adat di wilayah yang terkena dampak area yang dihindari, diminimalkan atau dimitigasi, sebelum persetujuan pinjaman pada bulan Desember 2018 [5].

Komunikasi baru-baru ini yang dikeluarkan oleh Prosedur Khusus Hak Asasi Manusia PBB yang menangani proyek Mandalika dan pelanggaran hak asasi manusia menunjukkan bukan pertama kalinya AIIB lalai mematuhi standar hak asasi manusia. Pada bulan Maret 2021, Special Rapporteur PBB dengan tanggung jawab terhadap masalah kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia, pembela hak asasi manusia, hak-hak masyarakat adat, perumahan, solidaritas internasional dan ketertiban internasional, serta satuan tugas terkait bisnis dan hak asasi manusia, mengungkap bagaimana anggota masyarakat terdampak menjadi sasaran ancaman dan intimidasi jika mereka menolak untuk menyerahkan lahan mereka atau menerima kompensasi yang ditentukan secara sepihak dalam pengadaan lahan dan pemukiman kembali secara paksa. Laporan juga menunjukkan pengerahan pasukan keamanan atas prakarsa pemerintah secara berlebihan dalam persiapan dan pelaksanaan proyek [6].

Menurut laporan bulan Mei 2022 yang dibuat oleh para pembela hak asasi manusia dan anggota masyarakat yang terkena proyek yang memantau pembangunan di Mandalika, banyak masyarakat terpaksa menjadi tunawisma sebagai akibat dari pemukiman kembali secara paksa, sementara lebih dari 100 keluarga masih terpaksa tinggal di samping lokasi konstruksi di dekat trek balap MotoGP, di mana publik dan masyarakat harus melewati pos pemeriksaan untuk memasuki area perumahan berpagar—lokasi proyek yang sengaja dibangun—yang dijaga oleh tentara dan polisi.

“Dari diskusi publik yang kami lakukan dengan masyarakat setempat yang terkena dampak pada Maret 2022, jelas, seperti yang dinyatakan oleh Special Rapporteur PBB, bahwa AIIB dan kliennya di Indonesia belum mempertanggungjawabkan bagaimana penggusuran paksa dilakukan, yang menurut pada analisis dan pemantauan kami, menunjukkan bagaimana ITDC dan pemrakarsa proyek lalai memenuhi standar Undang-Undang No. 2/2012 tentang pengadaan lahan, meskipun standarnya rendah, dengan tidak memberikan hak dan perlindungan yang sama seperti persyaratan perlindungan lingkungan dan sosial AIIB atau persyaratan perlindungan hukum hak asasi manusia internasional”, kata Harry Sandy Ame, peneliti koalisi dan WALHI Nusa Tenggara Barat, tempat proyek Mandalika berada. “Klaim oleh ITDC dan AIIB bahwa mereka tidak bertanggung jawab secara langsung atas pelanggaran hak asasi manusia dan konflik lahan yang disebabkan oleh Proyek Pengembangan Perkotaan dan Pariwisata Mandalika [7,8] sama sekali tidak benar, karena masyarakat yang terkena dampak telah menyaksikan dan mengalami intimidasi kekerasan sejak awal proyek.”

“Pemerintah sebagai pemegang saham AIIB memiliki tugas pengawasan yang dilakukan oleh perwakilan mereka di Dewan Direksi, dan pemerintah juga bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban Hak Asasi Manusia mereka”, kata Pieter Jansen dari Both ENDS, sebuah organisasi Belanda yang memantau bank pembangunan multilateral, termasuk AIIB. “Pemegang saham AIIB harus bertindak untuk memastikan kliennya ITDC dan pemerintah Indonesia bertindak segera dan mengatasi pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus Mandalika dengan cara mengurangi dan memperbaiki kerugian yang ditimbulkan secara memadai di mana mereka terlibat”.

“Dengan menyediakan pembiayaan inti untuk proyek tersebut, AIIB harus bertanggung jawab atas keterlibatannya dalam membiayai proyek Mandalika, di mana klien dan pendukung proyeknya telah terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan memicu konflik lahan”, kata Wawa Wang dari Just Finance International. “Meski anggota masyarakat dan masyarakat sipil telah berulang kali meminta AIIB untuk melakukan dan mengungkapkan pemantauan dan audit terhadap kebijakan lingkungan dan sosialnya, AIIB menghindari transparansi dan akuntabilitas dengan menolak permintaan tersebut. Untuk menempatkan dirinya di sisi yang benar, AIIB harus berkomitmen pada evaluasi independen oleh para ahli hak asasi manusia yang dipilih melalui konsultasi dengan dan disetujui oleh NGO dan masyarakat yang terkena dampak proyek.”

“Atas nama masyarakat adat yang terkena proyek, nelayan, kaum perempuan dan anak-anak di kawasan proyek pariwisata Mandalika, kami menuntut agar AIIB segera menghentikan pemberian pinjaman kepada pemerintah Indonesia dan ITDC serta memperhitungkan dampak HAM”, pungkas Amien, “Kami mengulangi tuntutan yang sama seperti yang telah kami buat sejak tahun 2019—agar bank mengungkapkan audit lahan yang merupakan dasar untuk lampu hijau proyek AIIB, penilaian kliennya, ITDC, implementasi perlindungan lingkungan dan sosial AIIB, serta hasil pemantauan dan rencana pengelolaan penggunaan personel keamanan, sesuai persyaratan ESF AIIB. Kami juga meminta Presiden AIIB Jin Liqun, yang memberikan komitmen pribadinya kepada kami pada pertemuan tahunan AIIB sejak tahun 2019 dan kemudian pada tahun 2021, untuk memastikan bahwa AIIB akan memperbaiki dampak sosial dengan segera mengimplementasikan rekomendasi PBB, untuk menghentikan pemiskinan yang melumpuhkan masyarakat yang terkena dampak proyek sebagai akibat keberadaan proyek Mandalika”.

 

Narahubung Pers:

Just Finance International, Dave Walsh, Communications Advisor, +34 691 826 764 press@justfinanceinternational.org

Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia:

Eksekutif Nasional WALHI, Eksekutif Daerah WALHI Sulawesi Selatan, Eksekutif Daerah WALHI Jawa Barat, Eksekutif Daerah WALHI NTB, ELSAM, INDIES, Green Youth Movement, Lembaga Studi Bantuan Hukum (Institute of Study and Legal Aid), Jatam Kalimantan Timur, Trend Asia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Indonesia Legal Aid Foundation ), Kanopi Hijau Indonesia, Amnesty International, Just Finance International, Both ENDS, FIAN International, FIAN Indonesia, LBH Bandung.

Untuk informasi lanjut, sila hubungi: Koalisippiindonesia@gmail.com

 

----- ----- ----- ----- -----

Tanggapan Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia atas Surat OHCHR kepada AIIB, ITDC dan Pemerintah Indonesia

Sebagai koalisi NGO yang memantau dan membela hak-hak masyarakat adat yang terkena dampak proyek pariwisata Mandalika sejak tahun 2018, berikut adalah tanggapan kami terhadap surat OHCHR:

Pertama, Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia, mendukung penuh semua pernyataan dan rekomendasi PBB kepada AIIB, ITDC dan pemerintah Indonesia sebagai pemberi pinjaman dan pemilik proyek pariwisata Mandalika. Khususnya terkait penyelesaian konflik pertanahan dan pemulihan hak-hak masyarakat adat yang terkena proyek pariwisata Mandalika dan penghentian keterlibatan TNI dan Polri dalam upaya penyelesaian konflik lahan antara ITDC dengan masyarakat. TNI dan Polri tidak boleh dilibatkan dalam proyek pembangunan infrastruktur apalagi menjadi bagian dari upaya penyelesaian konflik. Kekuatan militer hanya bisa dilibatkan saat negara dalam keadaan darurat.

Kedua, sebagai perwakilan masyarakat yang terkena dampak, kami merasa perlu meminta PBB untuk turut serta memantau secara serius dan berkesinambungan konflik lahan di wilayah proyek AIIB. Karena AIIB adalah penyandang dana langsung untuk proyek ini. Kami juga mendukung PBB untuk mendesak AIIB menghentikan pinjaman kepada Pemerintah Indonesia dan ITDC agar penyelesaian konflik dapat segera dilakukan dan hak-hak dasar masyarakat dapat dijunjung tinggi. Ketiga, penjelasan dan permintaan PBB kepada ITDC, AIIB dan Pemerintah Indonesia merupakan bukti nyata bahwa proyek utang di Indonesia berpotensi menghilangkan hak-hak masyarakat, khususnya perempuan miskin dan merupakan bukti bahwa ITDC dan pemerintah Indonesia sebagai mitra AIIB lalai mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam pembangunan dan tidak mematuhi kebijakan MDB tentang perlindungan lingkungan dan sosial. Selain itu AIIB yang tidak serius dalam menerapkan peraturan perlindungan lingkungan dan sosial di Indonesia, sehingga dana publik yang dikelola di AIIB berpotensi digunakan untuk menggusur masyarakat adat, memiskinkan perempuan, dan menghilangkan masa depan anak-anak di Indonesia.

Kami mendesak PBB untuk menindaklanjuti surat yang telah dikirimkan kepada AIIB, ITDC dan Pemerintah Indonesia. Kami meminta PBB untuk mengawal masalah ini, agar masyarakat, terutama perempuan dan anak yang terkena dampak, dapat memperoleh keadilan.

Catatan:

[1] Mandat Special Rapporteur bidang kemiskinan ekstrim dan hak asasi manusia Ref.: AL OTH 17/2022 (Silakan gunakan referensi ini dalam balasan Anda) 8 Maret 2022, dirilis 11 Mei 2022

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=27134

[2] Prosedur Khusus Dewan Hak Asasi Manusia OHCHR, Maret 2021

https://www.ohchr.org/en/press-releases/2021/03/indonesia-un-experts-flag-rights-concerns-over-3bln-tourism-project

Surat:

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26108

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26078

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26109

[3] “Saya juga telah menyatakan kepada Pemerintah Indonesia bahwa saya akan menyambut baik undangan untuk melakukan kunjungan informal ke proyek Mandalika. Kunjungan semacam itu akan memberi saya kesempatan berharga untuk mendengar langsung dari semua pemangku kepentingan terkait, menilai situasi, dan menawarkan rekomendasi konkret” - Olivier De Schutter Special Rapporteur bidang kemiskinan ekstrem dan hak asasi manusia

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=27134

[4] Asian Infrastructure Investment Bank, Project Document of the Asian Infrastructure Investment Bank - The Republic of Indonesia: Mandalika Urban and Tourism Infrastructure Project, December 7, 2018, footnote 8, https://www.aiib.org/en/projects/approved/2018/_download/indonesiamandalika/mandalika-project.pdf

[5] Komunikasi OHCHR kepada AIIB, Maret 2021: “Pada bulan Oktober 2018, pemerintah provinsi Nusa Tenggara Barat mengeluarkan pemberitahuan publik, menyerukan kepada ITDC untuk menyelesaikan konflik lahan dan memulihkan mata pencaharian warga. Mengingat sejarah perampasan lahan dan penggusuran paksa ini, serta informasi yang dilaporkan secara luas tentang protes terhadap perampasan tanah dan pengusiran paksa yang mengarah pada persetujuan pinjaman AIIB pada Desember 2018, risiko pemukiman kembali tidak secara sukarela dan pengusiran paksa seharusnya dapat diidentifikasi dengan lebih baik , diteliti dan dimitigasi, sebelum pinjaman disetujui.”

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26078

[6] 4 Maret 2021 (REFERENSI: AL OTH 24/2021) oleh Mandat Special Rapporteur bidang kemiskinan ekstrim dan hak asasi manusia; Satuan Tugas masalah hak asasi manusia dan perusahaan transnasional dan perusahaan bisnis lainnya; Special Rapporteur bidang hak atas pembangunan; Special Rapporteur bidang perumahan memadai sebagai komponen hak atas standar hidup yang layak, dan hak atas non-diskriminasi dalam konteks ini; Special Rapporteur bidang situasi para pembela hak asasi manusia; Special Rapporteur bidang hak-hak masyarakat adat; Pakar Independen tentang pemajuan tatanan internasional yang demokratis dan adil dan Pakar Independen tentang hak asasi manusia dan solidaritas internasional.

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26078

[7] Pernyataan AIIB menanggapi dugaan pelanggaran HAM dalam proyek pariwisata Mandalika, 26 April 2021

https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/indonesia-aiibs-statement-in-response-to-allegations-of-human-rights-violations-in-the-mandalika-tourism-project/

[8] Tanggapan ITDC terhadap pelanggaran HAM dalam proyek pariwisata Mandalika, 6&7 April 2021

https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210407205156-156-627220/itdc-respons-isu-pelanggaran-ham-di-proyek-mandalika/amp https://amp.kompas.com/regional/read/2021/04/06/212808978/itdc-bantah-pernyataan-pbb-soal-adanya-pelanggaran-ham-dalam-proyek-kek

 

----- ----- ----- ----- -----

Tentang Just Finance International

Just Finance berupaya memastikan bahwa anggaran publik yang dibelanjakan secara global untuk pembangunan dan pembiayaan infrastruktur berkontribusi pada kemajuan keberlanjutan bagi populasi dan lingkungan.

https://justfinanceinternational.org/
http://www.twitter.com/justfinancei

 

----- ----- ----- ----- -----

EN Version

As UN Again Condemns Mandalika Human Rights Violations, NGOs Demand End to AIIB Financing of Indonesian Tourism Project

Bandung, Indonesia, May 11 2022:- The Coalition for Monitoring Indonesia's Infrastructure Development and supporting NGOs today called on the Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), the Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) and the Indonesian Government to stop AIIB financing for the quarter-billion dollar Mandalika Urban Development and Tourism Project, following a communication from the Special Procedures of the UN Human Rights Council. The letter, from Olivier De Schutter, the UN Special Rapporteur on extreme poverty and human rights, questions the AIIB, ITDC and the government of Indonesia over alleged human rights violations in connection to the project [1]. 

The civil society groups also called on AIIB, and its borrowers—the ITDC and Indonesian government—to resolve the humanitarian crisis caused by the forced eviction, involuntary resettlement and land acquisition of communities, including Indigenous peoples, from their lands, and adhere to recommendations issued by the OHCHR’s Special Procedures of the Human Rights Council [2]. 

“We urge the AIIB to immediately suspend its financing of the Mandalika project, which commenced without the Free, Prior and Informed Consent (FPIC), which as the UN communication states, runs counter to the requirement under international human rights law that the prior and informed consent should be sought under conditions free of coercion, intimidation or manipulation’”, said Mohammad al Amien, coordinator of the NGO coalition.

“Indigenous peoples have already been forced from their lands and the largely agrarian community are faced with the continued loss of their livelihoods”, he continued. “AIIB must also immediately require its clients, the ITDC and the government of Indonesia to disband the land acquisition task force composed largely of the military and police forces in Mandalika which employs tactics of intimidation and movement restriction on the affected people". 

The Coalition for Monitoring Indonesia's Infrastructure Development (Koalisi Pemantau Pembangunan Infrastruktur Indonesia) consists of Indonesian and international environmental and human rights organizations that monitor policies and projects of multilateral development banks in Indonesia. 

Following a 60-day confidential period, the special procedures of the UN Human Rights Council and the Mandates for Special Rapporteur for extreme poverty made public of its March 8 communications on May 11, 2022, calling on the AIIB, ITDC and the government of Indonesia to account for alleged human rights violations and abuses committed in the implementation of the Mandalika project, to appoint an independent mediator and for the Government of Indonesia to allow a site visit by the UN special rapporteur into the project area, in order to meet with all relevant stakeholders [3].

The Mandalika Urban Development and Tourism Project, on the Indonesian island of Lombok, is a mega infrastructure tourism development largely funded by the AIIB, which provides for 78.5 per cent of the total project funding through loan of $248.4 million [4]. The AIIB financed Mandalika Urban Development and Tourism project is the bank’s first standalone project in Indonesia. Approved in late 2018, amidst land conflicts as a result of the involuntary land acquisition and resettlement in preparation for the project, the AIIB failed to exercise due diligence and to ensure that the risks of involuntary resettlement and forced evictions of the indigenous peoples in the affected areas are avoided, minimized or mitigated, prior to the loan approval in December 2018 [5]. 

The recent communication issued by the UN Human Rights Special Procedures addressing the Mandalika project and the human rights violations is not the first time the AIIB has been found failing adhere to human rights standards. In March 2021, the UN Special Rapporteur with responsibility for scrutinizing extreme poverty and human rights, human rights defenders, Indigenous peoples’ rights, housing, international solidarity and international order, as well as the working group on business and human rights, exposed how affected community members were subject to threats and intimidation if they refuse to give up their land or accept unilaterally determined compensation in the involuntary land acquisition and resettlement. Reports also pointed to the excessive deployment of government-led security forces in the project preparation and implementation [6].

According to May 2022 accounts by human rights defenders and members of the project affected community monitoring the development in Mandalika, there is still a high degree of homelessness as a result of involuntary resettlement, while more than 100 families are still forced to live alongside a construction site in proximity of the MotoGP race track, where the public and community have to overcome checkpoints in order to enter the fenced off residential area—a designed project location—guarded by military and police.  

“From the public discussion we conducted with local affected communities in March 2022, it is clear, as stated by the UN Special Rapporteur, that AIIB and its clients in Indonesia have not accounted for how involuntary and forced evictions have been carried out , which according to our analyses and monitoring, point to how the ITDC and project proponents default to the low standards of Indonesian Law No. 2/2012 on land acquisition, which does not provide same rights and protection as AIIB’s environmental and social safeguard requirements or the international human rights law”, said Harry Sandy Ame, researcher of the coalition and of Indonesia’s largest environmental organization WALHI in West Nusa Tenggara, where the Mandalika project is located. “The claims by ITDC and the AIIB that they are not directly responsible for human rights violations and land conflicts caused by the Mandalika Urban Development and Tourism Project [7,8] is simply not true, as affected peoples have witnessed and experienced violent intimidation since the beginning of the project.”

“AIIB shareholding governments have a duty of oversight exercised by their representatives at the Board of Directors, and these governments are also equally accountable for meeting their Human Rights obligations”, said Pieter Jansen from Both ENDS, a Dutch organization that works on monitoring multilateral development banks, including the AIIB. “AIIB shareholders must act to ensure its client the ITDC and the Indonesian government act promptly and address the human rights violations in the Mandalika case in a way that sufficiently mitigates and remedies the harms caused and in which they are complicit”.

“By providing core finance for the project, AIIB must take responsibility for its complicity in bankrolling the Mandalika project, where its client and project proponents have been implicated in inflicting human rights violations and fueling land conflicts”, said Wawa Wang of Just Finance International. “While members of the public and civil society have repeatedly asked AIIB to conduct and disclose monitoring and audits against the bank’s own environmental and social policies, AIIB has shunned transparency and accountability by dismissing requests. To put itself on the right side of history, AIIB must commit to an independent evaluation by human rights experts chosen in consultation with and agreed by NGOs and project-affected peoples.”

“On behalf of project-affected Indigenous peoples, fishermen, women and children in the Mandalika tourism project area, we are demanding that AIIB must immediately stop lending to the Indonesian government and ITDC and account for the human rights impacts”, concluded Amien, “We reiterate the same demands as we have made since 2019 - that the bank discloses the land audit which was the foundation for AIIB’s greenlighting of the project, the assessment of its client, ITDC’s, implementation of AIIB environmental and social safeguards, as well as the monitoring results and management plans on the use of security personnel, as per AIIB ESF requirements. We also request that AIIB President Jin Liqun, who gave us his personal commitment at AIIB annual meetings since 2019 and again in 2021, to ensure that AIIB would remedies the social impacts by immediately implementing the UN's recommendations, in order to stop the crippling impoverishment of project-affected communities as a result of the Mandalika project”.

ENDS

 

Press Contacts:

Just Finance International, Dave Walsh, Communications Advisor, +34 691 826 764 press@justfinanceinternational.org

The Indonesia Infrastructure Development Monitoring Coalition:

National Executive WALHI, WALHI South Sulawesi, WALHI West Java, WALHI NTB, ELSAM, INDIES, Green Youth Movement, Lembaga Studi Bantuan Hukum (Institute of Study and Legal Aid), Jatam Kalimantan Timur, Trend Asia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (Indonesia Legal Aid Foundation ), Kanopi Hijau Indonesia, Amnesty International, Just Finance International, Both ENDS, FIAN International, FIAN Indonesia, LBH Bandung.

Contact: Koalisippiindonesia@gmail.com

 

----- ----- ----- ----- -----

Response of the Coalition for Monitoring Indonesia's Infrastructure Development to OHCHR's letter to AIIB, ITDC and the Government of Indonesia

As a coalition of NGOs that have monitored and defended the rights of Indigenous peoples as a result of being affected by the Mandalika tourism project since 2018, we responded to the OHCHR letter as follows:

First, the Coalition for monitoring Indonesia's Infrastructure Development, fully supports all UN statements and recommendations to AIIB, ITDC and the Indonesian government as lenders and owners of the Mandalika tourism project. Specifically related to the resolution of land conflicts and the restoration of the rights of Indigenous peoples affected by the Mandalika tourism project. Also stopping the involvement of the military and police in efforts to resolve land conflicts between ITDC and the community. The military and police are not allowed to be involved in infrastructure development projects let alone be part of conflict resolution efforts. The military can only be involved when the country is in a state of emergency.

Second, as representatives of affected communities, we feel the need to ask the UN to participate in monitoring seriously and continuously regarding land conflicts in the AIIB project area. Because AIIB is the direct funder for this project. We also support the UN to urge the AIIB to stop lending to the Government of Indonesia and ITDC so that conflict resolution can be carried out immediately and the basic rights of the community can be upheld. Third, UN explanations and requests to ITDC, AIIB and the Government of Indonesia are clear evidence that debt projects in Indonesia have the potential to eliminate the rights of the community, especially poor women. Evidence that ITDC and the Indonesian government as AIIB partners do not comply with the principles of human rights in development and do not comply with MDBs policies on environmental and social protection. Likewise, AIIB is not serious about implementing environmental and social protection regulations in Indonesia, so that public funds managed at AIIB have the potential to be used to displace Indigenous peoples, impoverish women, and eliminate the future of children in Indonesia.

To the UN to follow up on letters that have been sent to AIIB, ITDC and the Government of Indonesia. We ask the UN to oversee this issue, so that the community, especially the affected women and children, get justice.

 

Notes:

[1] Mandate of the Special Rapporteur on extreme poverty and human rights Ref.: AL OTH 17/2022 (Please use this reference in your reply) 8 March 2022, released 11 May 2022

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=27134 

[2] OHCHR’s Special Procedures of the Human Rights Council, March 2021

https://www.ohchr.org/en/press-releases/2021/03/indonesia-un-experts-flag-rights-concerns-over-3bln-tourism-project

Letters:

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26108

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26078

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26109

[3] “I have also indicated to the Indonesian Government that I would welcome an invitation for me to carry out an informal visit to the Mandalika project. Such a visit would provide me with invaluable opportunities to directly hear from all relevant stakeholders, come to an assessment of the situation, and offer concrete recommendations” - Olivier De Schutter Special Rapporteur on extreme poverty and human rights

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=27134

[4] Asian Infrastructure Investment Bank, Project Document of the Asian Infrastructure Investment Bank - The Republic of Indonesia: Mandalika Urban and Tourism Infrastructure Project, December 7, 2018, footnote 8, https://www.aiib.org/en/projects/approved/2018/_download/indonesiamandalika/mandalika-project.pdf

[5] OHCHR communication to AIIB, March 2021: “In October 2018, the West Nusa Tenggara provincial government issued a public notice, calling on the ITDC to resolve land conflicts and restore the residents’ livelihood. In light of this history of land grabbing and forced evictions, as well as widely reported information on protests against land grabbing and forced evictions leading up to the AIIB’s loan approval in December 2018, the risks of involuntary resettlement and forced evictions should have been better identified, scrutinized and mitigated, prior to the loan approval.”

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26078

[6] March 4, 2021 (REFERENCE: AL OTH 24/2021) by Mandates of the Special Rapporteur on extreme poverty and human rights; the Working Group on the issue of human rights and transnational corporations and other business enterprises; the Special Rapporteur on the right to development; the Special Rapporteur on adequate housing as a component of the right to an adequate standard of living, and on the right to non-discrimination in this context; the Special Rapporteur on the situation of human rights defenders; the Special Rapporteur on the rights of Indigenous peoples; the Independent Expert on the promotion of a democratic and equitable international order and the Independent Expert on human rights and international solidarity.

https://spcommreports.ohchr.org/TMResultsBase/DownLoadPublicCommunicationFile?gId=26078

[7] AIIB’s statement in response to allegations of human rights violations in Mandalika tourism project, April 26, 2021

https://www.business-humanrights.org/en/latest-news/indonesia-aiibs-statement-in-response-to-allegations-of-human-rights-violations-in-the-mandalika-tourism-project/

[8] ITDC’s response to the human rights violations in Mandalia tourism project, April 6&7, 2021

https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20210407205156-156-627220/itdc-respons-isu-pelanggaran-ham-di-proyek-mandalika/amp https://amp.kompas.com/regional/read/2021/04/06/212808978/itdc-bantah-pernyataan-pbb-soal-adanya-pelanggaran-ham-dalam-proyek-kek

 

----- ----- ----- ----- -----

About Just Finance International

Just Finance works to ensure that the public budget spent globally on development and infrastructure finance is contributing to the advancement of sustainability for populations and the environment.

https://justfinanceinternational.org/
http://www.twitter.com/justfinancei