Pemerintah China Harus Memastikan Bantuan Keuangan Covid-19 Tidak Ditargetkan Untuk Proyek yang Bermasalah
Jakarta, 30 April 2020—Pada bulan Februari 2020, Departemen Perdagangan China dan China Development Bank (CDB) bersama-sama mengeluarkan pemberitahuan yang menciptakan mekanisme untuk mengarahkan bantuan keuangan ke proyek-proyek Belt and Road Initiative yang telah terkena dampak pandemi COVID-19. Pengumuman ini menginstruksikan departemen perdagangan lokal dan perusahaan milik negara China untuk mengumpulkan informasi tentang proyek-proyek luar negeri yang terkena dampak COVID-19, dan meneruskan informasi ini ke CDB, yang akan mempertimbangkan memberikan bantuan keuangan untuk mengembalikan proyek ke jalurnya. Hal penting yang harus diketahui, pemberitahuan tersebut menyatakan bahwa proyek-proyek yang “berkualitas tinggi”, “sesuai hukum”, dan memiliki “risiko yang dapat dikendalikan” dapat memenuhi syarat untuk menerima bantuan keuangan terkait COVID-19.[1]
Menanggapi pengumuman ini, pada tanggal 29 April 2020, lebih dari 260 CSO di seluruh dunia menyerukan kepada pemerintah China untuk memastikan bahwa bantuan keuangan COVID-19 terkait untuk proyek-proyek Belt and Road Initiative hanya mengalir ke investasi luar negeri berkualitas tinggi yang memenuhi kriteria tertentu, dan menghindari bail out proyek sudah terperosok dalam risiko lingkungan, sosial, keanekaragaman hayati, iklim, atau keuangan sebelum COVID-19 dimulai. CSO menyoroti 60 proyek yang disponsori China di sektor pertambangan, pulp an paper, tenaga air, infrastruktur, bahan bakar fosil, dan sektor-sektor lain yang tidak memenuhi kriteria ini, dan menetapkan sepuluh prinsip khusus yang jika ada, dapat membantu memastikan bahwa proyek “berkualitas tinggi”; memastikan penilaian dampak lingkungan yang kredibel dan kuat, memperoleh persetujuan atas prinsip FPIC (Free, Prior, Informed, Consent), berkomitmen untuk tidak berdampak pada area keanekaragaman hayati utama, dan memastikan keselarasan dengan norma internasional dan praktik terbaik dan kebijakan green finance China.
Sebagai salah satu negara tuan rumah, Indonesia menjadi satu komponen penting bagi kemajuan proyek-proyek Belt and Road Initiative. Setidaknya ada 28 proyek, terbagi menjadi empat koridor, telah diusulkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Kelautan dan Investasi dan banyak proyek lain yang didanai oleh Pemerintah China. Dari proyek-proyek ini, banyak yang bermasalah dan telah membawa dampak sosial dan lingkungan yang merugikan. Sebagai contoh, di Jawa Barat ada Jakarta-Bandung High Speed Train, selain sejumlah peraturan yang dilanggar, proyek ini juga telah menyebabkan hilangnya mata pencaharian dan rumah-rumah lokal komunitas dan, mengganggu daerah resapan air di wilayah tersebut. Sementara itu, Di Kalimantan Utara, pengembangan PLTA Kayan yang akan menjadi proyek PLTA terbesar dengan kapasitas 9000 MW di Asia Tenggara, menghadapi penolakan dari masyarakat setempat. Bendungan yang dibangun berpotensi membanjiri desa-desa di hilir dan merusak ekosistem Sungai Kayan dan hutan primer. Selain itu, juga akan menggusur sejumlah kelompok adat yang memiliki ikatan dekat dengan tanah leluhur mereka. Contoh lain adalah proyek PLTA Batang Toru yang pembangunannya ditunda karena berbagai alasan. Analisis dampak lingkungan proyek ini mengandung catat hukum yang serius, termasuk pemalsuan tanda tangan dan hilangnya konsultasi publik.
Sejauh ini, proyek infrastuktur Indonesia sudah sangat sarat terhadap korupsi, pelanggaran HAM, dan dampak lingkungan hidup yang terus diabaikan. Dengan RUU Cipta Kerja atau dikenal sebagai Ombnibus Law sedang dibahas DPR RI dengan semangat investasi, proyek-proyek infrastruktur ini hanya akan menambah beban berat yang sudah ada bagi masyarakat Indonesia dan memperburuk kerusakan alam Indonesia.
Wahyu A. Perdana, Manajer Air, Pangan, dan Ekosistem Esensial menyatakan, “Memberikan dukungan finansial pada proyek-proyek bermasalah, sama saja turut terlibat dan melanggengkan kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran HAM. Sangat dimungkinkan dengan sistem hukum kita untuk turut dimintai pertanggungjawabannya, risiko kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM akan semakin besar dalam kondisi pandemi seperti saat ini. ”
Ketika dunia sedang merespons krisis COVID-19, ekonomi mengalami kontraksi, pengangguran meningkat, dan proyek-proyek pembangunan utama terhenti. Para pelaku pembangunan China dan global perlu mempertimbangkan secara serius bagaimana investasi berkualitas rendah dan berisiko tinggi, tidak hanya mendorong dampak negatif terhadap lingkungan, sosial, iklim, dan keanekaragaman hayati, tetapi juga dapat memfasilitasi penyebaran penyakit, sebagai konsekuensi dari perambahan pada ekosistem. Investasi di Indonesia yang berbasis lahan, tidak dapat mengungkit kemungkinan memicu kemunculan penyakit baru atau penyakit zoonosis yang disebabkan karena intensifikasi perambahan hutan yang mengakibatkan perubahan lingkungan.
Dalam dunia pasca COVID-19, para aktor global perlu mengambil langkah-langkah yang lebih kuat dan tegas untuk menstabilkan dan merevitalisasi ekonomi global yang secara ekologis aman, berorientasi pada orang, dan berkelanjutan, serta memastikan bahwa setiap bantuan keuangan terkait COVID-19 dialokasikan untuk proyek dan investasi yang didukung penuh dan memberi manfaat bagi masyarakat lokal, selaras dengan standar internasional dan praktik-praktik terbaik, dan melestarikan ekosistem dunia kita yang semakin rapuh.
----------
[1]Ministry of Commerce & China Development Bank (2020) #61, Work Notice On Supporting the High Quality and Cooperative Building of “One Belt One Road” By Unleashing the Role of Development Finance in Response to the COVID-19 Outbreak / 商合函【2020】61号 《关于应对新冠肺炎疫情 发挥开发性金融作用支持高质量共建“一带一路”的工作通知》