Pengakuan Wilayah Kelola Rakyat, Jalan Mewujudkan Keadilan Iklim

Bandar Lampung-Hari ini (25 November 2016) bertempat di Bandar Lampung, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyelenggarakan kegiatan Simposium Internasional yang bertajuk Pengakuan atas Wilayah Kelola Rakyat, Tantangan dan Peluang Mewujudkan Keadilan iklim”. Simposium ini merupakan bagian dari Biennial General Meeting Friends of the Earth Internasional, organisasi lingkungan hidup berbasis akar rumput yang bekerja untuk mewujudkan tatanan dunia yang berkeadilan secara ekonomi,  sosial dan ekologis. Dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat dari tingkat internasional dari 74 negara, nasional dan daerah, simposium internasional ini bertujuan memperkuat solidaritas dan gerakan masyarakat dunia dalam mewujudkan keadilan iklim.

Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa Presiden Republik Indonesia  Joko Widodo berkomitmen memberikan 12,7 juta hutan untuk rakyat, sebuah angka yang sesungguhnya belum cukup signifikan diberikan kepada rakyat, yang selama ini memperjuangkan haknya atas hutan dan sumber-sumber kehidupannya. Bagi WALHI, Kebijakan alokasi wilayah hutan seluas 12,7 juta hektar yang menjadi bagian dari RPJMN pemerintah saat ini, harusnya dipandang sebagai upaya untuk memberikan kepastian hak wilayah kelola rakyat, menyelesaikan konflik, mengatasi ketimpangan dan kemiskinan yang terjadi di kawasan perdesaan khususnya yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan, serta menjawab tantangan perubahan iklim, dimana di satu sisi Indonesia merupakan salah satu negara yang rentan perubahan iklim, namun Indonesia juga penyumbang emisi gas rumah kaca, di sisi yang lainnya. Kita tahu, bahwa pemerintah Indonesia memiliki komitmen global untuk menurunkan emisi 29% pada tahun 2030.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI mengatakan bahwa “kebijakan 12,7 juta hutan, yang luasnya hampir sama dengan luas satu negara Inggris, yang akan diberikan hak pengelolaannya kepada rakyat sesungguhnya merupakan kontribusi Indonesia dalam penanganan perubahan iklim global, jika kebijakan ini dibarengi dengan kebijakan  menghentikan laju ekspansi industri ekstraktive antara lain tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri serta pembangunan infrastruktur skala massif. Penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi dan review perizinan menjadi elemen penting yang juga harus dilakukan oleh pemerintah, jika ingin 12,7 juta kebijakan perhutanan sosial dapat berhasil”. Kesepakatan Paris, sebagai kesepakatan bersama dari pemimpin negara juga tidak akan ada artinya, jika tidak dibarengi dengan komitmen lain dari Presiden dan seluruh pemimpin dunia untuk menghentikan model pembangunan dunia yang terus bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam dengan aktor korporasi di dalamnya, serta menentang solusi palsu penanganan perubahan iklim yang berbasiskan “market dan trading”, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/Friends of the Earth Indonesia mengatakan bahwa Friends of the Earth Internasional bukan hanya menentang model pembangunan yang eksploitatif, memiskinkan rakyat, merusak lingkungan hidup dan namun juga menawarkan model pembangunan alternatif yang berbasiskan pada pengetahuan dan pengalaman masyarakat, baik masyarakat adat maupun masyarakat lokal yang selama ini justru lebih memiliki resiliensi dari dampak perubahan iklim. “Komitmen pemerintah Indonesia harusnya menjadi momentum bagi pembenahan tata kelola sumber daya alam, termasuk didalamnya sebagai momentum untuk berhenti memberikan kepercayaan kepada korporasi yang terbukti telah gagal. Kini saatnya memberikan kepercayaan kepada komunitas dengan memberikan pengakuan hak wilayah kelola rakyat, termasuk  dalam pengelolaan hutan”, ujar Nur Hidayati menutup siaran pers ini. Narahubung:

  • Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081311187498