Penghapusan Pasal Larangan TNI Berbisnis: Menghapus Profesionalisme TNI

Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan Menyikapi Pernyataan Kababinkum TNI Terkait Usulan Penghapusan Pasal Larangan TNI Berbisnis

Jakarta, Kamis 11 Juli 2024 yang lalu Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI, Laksda Kresno Buntoro dalam keterangannya di forum “Dengar Pendapat Publik RUU TNI/Polri” yang diselenggarakan Kemenko Polhukam di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, mengusulkan untuk menghapus larangan prajurit TNI terlibat dalam bisnis sebagaimana diatur dalam Pasal 39 huruf c Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU TNI”).

Kami memandang usulan Kababinkum TNI tersebut merupakan pandangan keliru serta mencerminkan kemunduran upaya reformasi tubuh TNI. Militer dididik, dilatih dan dipersiapkan untuk perang. Hal itu merupakan raison d’etre (hakikat) militer di negara manapun. Tugas dan fungsi militer untuk menghadapi perang/pertahanan merupakan tugas yang mulia dan merupakan kebanggaan penuh bagi seorang prajurit. Karena itu prajurit militer dipersiapkan untuk profesional sepenuhnya dalam bidangnya, bukan berbisnis.

Militer tidak dibangun untuk kegiatan bisnis dan politik karena hal itu akan mengganggu profesionalismenya dan menurunkan kebanggaan sebagai seorang prajurit yang akan berdampak pada disorientasi tugasnya dalam menjaga kedaulatan negara. Rencana menghapuskan larangan bisnis dalam UU TNI bukan hanya akan berdampak pada lemahnya profesionalisme militer tetapi juga akan berpengaruh pada lemahnya usaha militer menjaga pertahanan negara dan kedaulatan negara karena bertambahnya tugas yang jauh dari dimensi pertahanan dan keamanan.

Militer diberikan anggaran yang besar triliunan rupiah untuk belanja alat utama sistem (Alutsista) seperti pesawat tempur, tank, kapal selam, kapal perang, helikopter dan sebagainya yang sepenuhnya ditujukan untuk menyiapkan kapabilitas mereka untuk berperang bukan kemudian untuk berbisnis dan berpolitik. Sekian banyak anggaran negara yang berasal dari pajak rakyat digunakan untuk belanja Alutsista sepenuhnya ditujukan agar tentara profesional dalam bidangnya menjaga pertahanan negara bukan untuk berbisnis dan berpolitik. Karena itu rencana revisi usulan mencabut larangan berbisnis dalam UU TNI adalah sesuatu yang berbahaya dalam pembangunan profesionalisme militer itu sendiri.

Selain itu, politik hukum dimasukkannya pasal larangan berbisnis dalam batang tubuh UU TNI adalah karena pengalaman historis masa Orde Baru, di mana tugas dan fungsi militer yang terlibat dalam politik dan bisnis telah mengganggu–bahkan mengacaukan– profesionalisme militer sendiri masa itu. Dampak lainnya, bahkan hingga mengancam kehidupan demokrasi dan kebebasan sipil. Karena itu ketika reformasi 1998 bergulir, militer dikembalikan ke fungsi aslinya untuk pertahanan negara. Oleh karena itu DPR dan Pemerintah harus segera menghentikan pembahasan revisi UU TNI yang kontroversial ini karena hanya akan memundurkan jalannya reformasi tubuh TNI.

Salah satu permasalahan profesionalisme TNI adalah mengenai bisnis keamanan di perusahaan milik swasta dan negara serta pengamanan proyek-proyek pemerintah. Penghapusan pasal tersebut dapat melegalkan dugaan praktik bisnis keamanan yang selama ini terjadi, khususnya di sektor sumber daya alam. Sebut saja pengamanan PT Freeport Indonesia di Papua, pengamanan PT Dairi Prima Mineral di Sumatera Utara, pengamanan PT Inexco Jaya Makmur di Sumatera Barat (2018), pengamanan PT Duta Palma, Kalimantan Barat (2024). Termasuk keterlibatan dalam perampasan tanah adat Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) oleh PTPN II di Sumatera Utara (2020), Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Bener, Wadas (2021), PSN Smelter Nikel CNI Group, Sulawesi Tenggara (2022), PSN Rempang Eco City, Batam (2023), hingga PSN Bendungan Lau Simeme, Sumatera Utara (2024).

Contoh lainnya adalah dalam temuan penelitian koalisi masyarakat sipil yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya (2021)” ditemukan adanya hubungan baik secara langsung maupun tidak langsung mengenai penambahan prajurit TNI di Intan Jaya dengan pengamanan perusahaan-perusahaan di sana. Praktik pengamanan ini menurut catatan koalisi masyarakat sipil akan meletakan prajurit TNI berhadapan secara langsung dengan masyarakat yang sedang bersengketa dengan perusahaan, tidak jarangan praktik pengamanan menimbulkan kekerasan.

Sudah sepatutnya, yang dilakukan negara bukanlah merevisi UU TNI dengan mencabut larangan berbisnis bagi prajurit TNI, tetapi memastikan kesejahteraan prajurit terjamin dengan dukungan anggaran negara bukan dengan memberikan ruang prajurit TNI untuk berbisnis. Praktik ini terbukti menyebabkan profesionalisme prajurit menjadi rusak seperti era Orde Baru. Selain itu, militer harus jelas alokasi anggaran pertahanannya untuk memastikan alutsista yang modern dan kesejahteraan prajurit.

 

Jakarta, 16 Juli 2024

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
(Imparsial, KontraS, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Public Virtue, Amnesty International Indonesia, Forum de Facto, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Pos Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, AlDP)

 

Narahubung:

  1. Hussein Ahmad (Imparsial)
  2. Dimas Bagus Arya (KontraS)
  3. Usman Hamid (Amnesty International Indonesia)
  4. Gina Sabrina (PBHI)
  5. M. Isnur (YLBHI)
  6. ⁠Al Araf ( Centra Initiative)
  7. Ikhsan Yosarie (SETARA Institute)
  8. Teo Reffelsen (WALHI)