Siaran Pers WALHI Sulteng
4 November 2018 Baru-baru ini, Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan bahwa, pungutan produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dihapus sementara. Pemerintah berdalih, penghapusan pungutan ini agar tidak membebani rakyat ditengah anjloknya harga sawit serta untuk menyelamatkan 5,99 juta petani yang bekerja disektor perkebunan sawit dari bayang-bayang PHK. Penurunan harga sawit saat ini terlihat pada data bursa Malaysia yang menjadi referensi minyak sawit dunia. Dalam bursa tersebut, tercatat harganya sawit merosot 20,53%, dari US$ 658,92 per metrik ton ke US$ 523,62 pada bulan oktober. Akibat anjloknya harga tersebut, berdampak pada jatunya nilai ekspor CPO yang sampai 12,21% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada periode Januari-Agustus 2018, mengutip data BPS. Nilai nominal penurunannya mencapai Rp 22,87 triliun. Anjloknya harga sawit ini dimulai ketika pada bulan april lalu Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi dan pelarangan biodiesel berbasis sawit. Uni Eropa berdalih perkebunan sawit masih menciptakan banyak masalah misalnya, sawit melakukan deforestasi, perampasan lahan, kriminalisasi, korupsi, memanfaatkan pekerja anak, hingga pelanggaran HAM. Dalam resolusi ini juga, Parlemen Eropa diminta untuk menerapkan skema sertifikasi tunggal untuk minyak sawit yang masuk di Eropa. Akibat resolusi ini, terjadi penurunan permintaan minyak sawit dari beberapa negara yang menjadi tujuan ekspor Indonesia. disatu sisi, India yang menjadi salah satu tujuan ekspor minyak sawit ke-dua setelah UE, menaikan bea masuk dalam kebijakan dagangnya. Sehingga makin memperkuat harga minyak sawit jatuh. Stevandi Manager Kampanye Walhi Sulawesi tengah, menjelaskan, “apa yang di yang disampaikan oleh Menteri Luhut soal penghapusan pungutan ini bukanlah solusi kongkrit bagi penyelamatan rakyat. Skema yang dipakai oleh negara saat ini, lebih menitik beratkan pada penyelamatan korporat yang tengah kesulitan mencari jalan keluar bagi kelangsungan pasar sawit”. Usaha negara untuk menstabilkan kembali harga sawit ini, dengan mengurangi beban pungutan, tidak dibarengi dengan penindakan terhadap perusahaan-perusahaan sawit yang melakukan pelanggaran-pelanggaran ditingkat bawah. Di Sulawesi Tengah saja, Walhi sedang melakukan pendampingan terhadap petani yang di kriminalisasi oleh korporasi perkebunan sawit. para petani tersebut dirampas lahannya oleh korporat, padahal mereka (Petani) sudah berkebun diwilayah tersebut sebelum korporat beroperasi. Hemsi, petani Panca Mukti yang saat ini didampingi WALHI dijadikan tersangka oleh Kepolisian Pasangkayu karena dituduh mencuri di atas lahannya sendiri. Apa yang dilakukan oleh Hemsi ini, dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen yang dimilikinya. Selain itu, Hemsi sudah menggarap lahan tersebut, sebelum PT. Mamuang beroperasi. Kriminalisasi dan pemenjarahan sudah menjadi kebiasaan korporasi yang menggunakan perangkat represif negara untuk membungkam perlawanan rakyat ditingkat akar rumput. seperti yang dialami oleh Empat Petani Polanto Jaya (Jufri,Suparto, Sikusman dan Mulyadi) yang sebelumnya dipenjara oleh kepolisian Pasangkayu, Sulawesi Barat karena dituduh mencuri oleh PT. Mamuang. Sehingga, Menurut Walhi Sulteng, Skema pembebasan pungutan bagi ekspor minya sawit oleh pemerintah dinilai kurang tepat, ditengah masih banyaknya masalah-masalah yang ditimbulkan oleh aktifitas perusahaan sawit di Indonesia. Negara seharusnya lebih berani lagi untuk menindak perusahaan-perusahaan yang bermasalah. Selain menyiapkan skema perundang-undangan, implementasi perundang-undangan secara kongkrit dan tegas, negara dituntut berani mencabut izin perusahaan yang bermasalah di Indonesia saat ini, untuk menciptakan tata kelola perizinan perkebunan sawit yang baik. Manager Kampanye Walhi Sulteng Stevandi 082188160088