Penguatan Wilayah Kelola Rakyat, Kunci Penting Implementasi Kebijakan Alokasi Sumber Daya Hutan

Penguatan Wilayah Kelola Rakyat, Kunci Penting Implementasi Kebijakan Alokasi Sumber Daya Hutan
Ahmad Farid

Pendahuluan
Sejarah dan praktek sampai dengan hari ini, model pengelolaan kekayaan alam berorientasikan kepada pertumbuhan ekonomi yang difasilitasi oleh negara. Jutaan hektar hutan dan tanah diberikan untuk pengembangan dan pemanfaatan berbagai komoditas eksport yang dikelola oleh korporasi skala besar. Orientasi ini telah menjebak Indonesia dalam lingkaran eksploitasi yang sarat dengan berbagai persoalan mulai dari konflik, ketimpangan dan kerusakan lingkungan hidup. Hampir semua data menunjukkan bahwa terjadi kecenderungan peningkatan angka konflik dan ketimpangan antara masyarakat lokal/adat dengan perusahaan–perusahaan serta meluasnya bencana ekologis.

Sementara itu, model–model kelola rakyat ditempatkan pada ruang pinggiran dan pada posisi yang tidak relavan dalam menjawab kebutuhan masyarakat. Kearifan mengelola kekayaan alam dianggap sebagai masa lalu yang harus segera dilupakan, digantikan dengan model pengelolaan yang eksploitatif, skala besar dan terpusat pada model–model kelola yang berbasis korporasi. Pada bagian lain, masih terdapat jutaan orang masyarakat Indonesia yang masih konsisten mengelola kekayaan alam berbasiskan kearifan yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Proses integrasi ekonomi global yang sudah disekapati dalam berbagai forum, secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi kebijakan dan praktik pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup di Indonesia, juga menempatkan Indonesia sebagai penyuplai bahan mentah untuk pangan, energi serta industri manufaktur global lainnya.

Konflik yang masih banyak terjadi di Indonesia baik antar masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan maupun antar masyarakat itu sendiri banyak berpangkal pada perebutan sumberdaya alam sehingga menjadi salah satu konflik utama di Indonesia, Konflik ini juga secara langsung memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap komunitas lokal yang mempertahankan wilayah hidupnya. Praktik-praktik land-grabbing (perampasan lahan) jamak dilakukan oleh perusahaan yang didukung oleh aparat pemerintah, mulai dengan cara yang halus (seperti manipulasi, pembohongan, penipuan, dll) hingga cara-cara yang melibatkan kekerasan fisik dan penggunaan perangkat keamanan.

Pada saat yang bersamaan, dukungan bagi pengembangan ekonomi komunitas yang berbasis pada sumber daya alam setempat tidak mendapatkan perhatian dan bahkan cenderung terjadi marginalisasi secara sistematis terutama bagi komunitas yang melakukan perlawanan terhadap perusahaan dan kebijakan pemerintah sebagai upaya untuk mempertahankan wilayah kelolanya.

Wilayah Kelola Rakyat
Secara definitif wilayah kelola rakyat adalah sistem pengelolaan sumberdaya alam yang berbasiskan pada satu kesatuan ekosistem sosial sebagai upaya pemanfaatan jasa layanan alam dan perlindungan terhadap produktifitas rakyat untuk menjamin keselamatan antar generasi dan keberlanjutan penghidupan.

Pemaknaan sebagai satu kesatuan ekosistem ini dilandasi fakta bahwa masyarakat adat dan lokal yang banyak mendiami pelosok nusantara telah hidup dan berkehidupan dalam rentang waktu yang sangat lama. Proses interaksi yang terjadi antara mereka dengan lingkungannya telah membentuk tatanan nilai yang saling mengisi dan menguntungkan. Interaksi ini telah menghasilkan model kelola rakyat yang khas sesuai dengan karakter sosial dan geografisnya, dimana keseimbangan ekosistem selalu terjaga dengan baik.

Namun demikian, kekayaan dan keluasan pengetahuan organik rakyat ini sangat jarang dijadikan sebagai landasan dalam perumusan perencanaan kebijakan pengelolaan wilayah dan sumber daya alam. Pemerintah cenderung lebih tertarik untuk mengadopsi konsep kelola yang menjadi trend di tataran global yang banyak disusupi oleh kepentingan korporasi, yang dalam prakteknya banyak bertentangan dengan kondisi sosial dan ekologi tempatan.

Dan karenanya, kebijakan alokasi sumber daya hutan seluas 12,7 juta hektar dan 9 juta hektar lahan pangan harus dimaknai sebagai upaya untuk: 1). Memberikan jaminan kepastian hak rakyat atas sumber daya alamnya; 2). Melakukan perlawanan terhadap kemiskinan yang banyak terjadi di wilayah sekitar hutan; 3). Perlindungan lingkungan hidup (hutan) dan menjawab tantangan perubahan iklim

Mengapa penting untuk dilakukan
Kebijakan alokasi sumber daya hutan untuk rakyat ini penting diperhatikan dan harus segera diimplementasikan berlandaskan pada beberapa poin krusial berikut ini:

  1. Perspektif sebagain besar aparat pemerintah sebelum dan sesudah keluarnya putusan MK 45 tentang kawasan hutan serta MK 35 tentang hutan adat masih hampir sama (belum ada perubahan). Pandangan bahwa hutan di Indonesia adalah domainnya pemerintah yang direpresentasikan dalam status klaim sebagai hutan negara serta melihat posisi hak komunitas dalam kacamata legal formal masih cukup mendominasi. Situasi ini tetap berpotensi memunculkan konflik baru ditengah penyelesaian konflik tenurial yang ada belum terselesaikan.
  2. Ketimpangan penguasaan lahan yang sangat berkaitan dengan sumber ekonomi antara rakyat dan korporasi yang semakin besar gap- Pemberian izin yang hakikatnya dimaksudkan sebagai alat kontrol untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan dayadukung lingkungan dan sumber daya alam telah banyak dimanfaatkan hanya untuk kepentingan ekonomi semata baik yang dipungut secara legal maupun illegal. Contoh nyata bagaimana masih kacaunya sistem perizinan yang terjadi di Indonesia seperti yang ditunjukan oleh 3 Kabupaten di Kalimantan Tengah (Gunung Mas, Barito Timur dan Barito Utara) dimana luas izin konsesi untuk korporasi (HTI, sawit dan tambang) di ketiga Kabupaten tersebut lebih luas dari total luas wilayah kabupatennya itu sendiri.
  3. Kemiskinan yang masih mendominasi wilayah perdesaan, termasuk di dalamnya desa–desa sekitar hutan. Berdasarkan data BPS per september 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat 11.47%, dengan prosentase kemiskinan terbesar ada di pedesaan. Data lain menyebutkan jumlah sumber daya alam yang menjadi salah satu tumpuan pembangunan nasional saat ini juga berada di kawasan pedesaan. Dalam arti lain bahwa kekayaan sumber daya alam yang ada tidak serta merta berjalan paralel dengan tingkat kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
  4. Beberapa kebijakan pemerintah yang dikeluarkan belum mencerminkan semangat NAWACITA sebagaimana yang sudah dicanangkan pemerintah, sebagai berikut:

    > Kebijakan Moratorium
    - Dari 6 poin Intruksi kepada KLHK dalam inpres tentang penundaan izin baru no 8 tahun 2015, tidak ada pengecualian penundaan izin terhadap Hutan untuk Rakyat, ini sehingga secara tidak langsung Inpres ini kontradiktif dengan program Nawacita Presiden Jokowi untuk komitmen distribusi Hutan untuk Rakyat 12,7 juta hektar. Karena distribusi Hutan untuk Rakyat akan melalui skema perizinan Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Hutan Rakyat (HTR), makan dalam 2 tahun kedepan atau selama masa moratorium, Menteri LHK tidak dapat menerbitkan izin Hutan untuk Rakyat yang berada dalam kawasan moratorium.
    - Proses perencanaan tata ruang di daerah masih marak ditunggangi oleh pengusaha untuk merubah kawasan hutan menjadi areal perkebunan dan tambang dengan pengusulan review kawasan hutan, hingga agustus 2014 telah terjadi pelepasan status kawasan hutan hingga 7,8 juta hektar, karena adanya tuntutan penyesuaian kawasan hutan kedalam tata ruang daerah. Kebijakan Inpres yang mengharuskan Konsolidasi kawasan moratorium kedalam tata ruang daerah akan menjadi faktor yang akan mempercepat proses pengurangan wilayah moratorium, mengingat Inpres 08 tahun 2015 masih membuka ruang revisi peta moratorium setiap 6 bulan sekali.

    > Kebijakan Kehutanan Sosial (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan HTR)
    - Pengalaman empirik masyarakat dalam proses pengajuannya banyak mengalami kendala terutama terkait panjangnya proses yang harus dijalankan oleh masyarakat, panjangnya proses ini tentu saja akan berimplikasi pada biaya yang harus dikeluarkan terutama bagi wilayah desa yang jauh dari pusat pemerintahan.
    - Fungsi pelayanan terhadap masyarakat yang berkehendak untuk mengajukan skema kehutanan sosial masih minim dari pemerintah (daerah utamanya). Situasi ini mengharuskan masyarakat yang harus proaktif, serta secara mandiri menyiapkan dan menjalankan alur prosesnya.
    - Fungsi pemberdayaan oleh pemerintah sebagaimana yang dimandatkan oleh kebijakan tersebut pasca didapatnya hak kelola oleh masyarakat banyak tidak dijalankan, salah satu faktor pendukung situasi ini adalah belum terintegrasinya dengan penganggaran.

Bagaimana dapat diimplementasikan
Melihat urgensi kebijakan alokasi hutan untuk rakyat ini, serta tantangan yang mungkin muncul terutama penelikungan oleh korporasi baik melalui pemerintah maupun atas nama masyarakat maka perlu dilakukan langkah-langkah kerja sebagai berikut:

  1. Mensegeraan penyelesaian konflik tenurial yang terjadi di masyarakat, karena semakin lama situasi ini dibiarkan akan berimplikasi pada dimensi yang lebih luas.
  2. Membangun sistem yang mempercepat mekanisme distribsi hutan untuk rakyat melalui skema yang lebih sederhana, terintegrasi dalam data spasial (one map policy) dan merupakan bagian yang tidak terlepaskan dari upaya untuk mewujudkan percepatan pengakuan wilayah adat dan perluasan wilayah kelola rakyat.
  3. Mensinergikan kebijakan alokasi hutan untuk rakyat ini dengan upaya penguatan masyarakat desa dan wilayah pedesaannya.[]