Penyelamatan Lingkungan dan SDA Rezim Prabowo Gibran di Tepi Jurang

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Jakarta, 24 Oktober 2024 - Pidato Prabowo Subianto saat upacara pelantikan Presiden Republik Indonesia masa jabatan 2024-2029. Hal ini diperkuat dengan dilantiknya para Menteri dan Wakil Menteri, lalu diikuti dengan penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih.

Rezim Prabowo-Gibran masih menjadikan ekstraktivisme sebagai basis program strategisnya seperti ketahanan pangan, ketahanan energi dan hilirisasi. Ketahanan pangan masih dibangun dengan model pangan skala besar/food estate. Saat ini Proyek Strategis Nasional (PSN) Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke di Papua Selatan akan membuka 2 juta hektar hutan adat menjadi kebun pangan padi dan tebu untuk bioetanol, menjadi proyek penyebab deforestasi terbesar di Indonesia. Sebelumnya, proyek Food Estate di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara yang terbukti gagal dan hanya menyebabkan kerusakan ekologis serta perampasan tanah milik masyarakat.

Ketahanan energi juga dimaknai dengan pembangunan pembangkitan energi skala besar dan berbasis fosil seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi/Geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Uap Batubara yang kemudian akan di”co-firing”kan dengan kayu dari Hutan Tanaman Energi (HTE). Begitu juga ketahanan energi dalam konteks bahan bakar yang masih bertumpu pada Biofuel dengan bahan baku utama sawit akan membuat masif pembukaan lahan untuk perkebunan monokultur sawit, dan bioetanol mempercepat pembukaan lahan untuk kebun tebu, persis seperti yang terjadi di Papua saat ini. Bukan hanya itu, ekstraksi gas alam dan minyak bumi juga masih tetap terus berlanjut. Melanjutkan hilirisasi juga akan terus memperbesar ekstraksi dan memperluas izin pertambangan mineral kritis dan batubara. Deforestasi, kerusakan ekologis, dan penyingkiran masyarakat di lingkar-lingkar tambang adalah fakta yang akan terus mengemuka.

Struktur Kementerian beserta Menteri dan Wakil Menteri yang telah diumumkan justru memperkuat proyeksi WALHI, bahwa rezim Prabowo-Gibran hanya bertujuan untuk menumpuk modal dan memperbesar kekayaan para pemodal melalui kebijakan dan program yang sedang ataupun akan berjalan. Misalnya saja, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan menjadi Kementerian teknis di bawah Kementerian Koordinator Pangan. WALHI menduga besar ada upaya untuk mempermudah dan mempercepat segala bentuk penerbitan izin untuk pembangunan Food Estate dan Shrimp Estate di seluruh wilayah di Indonesia. Atau contoh lainnya, Kementerian ATR/BPN yang menjadi Kementerian teknis di bawah Kementerian Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan. WALHI juga menduga keras tujuan utamanya untuk mempermudah pengadaan tanah untuk proyek-proyek strategis nasional, proyek infrastruktur, Hak Guna Usaha bagi korporasi sawit, dan Bank Tanah.

Bukan hanya struktur, tetapi Menteri dan Wakil Menteri yang dipilih untuk menduduki jabatan ketiga Kementerian di atas juga terafiliasi dengan para pemodal yang selama ini menguasai Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Pertanian dan Wakil Menteri Kehutanan, misalnya, merupakan keluarga dan kolega pebisnis dari Kalimantan Selatan, Andi Syamsuddin Arsyad (Haji Isam) yang juga menjadi salah satu pengusaha yang terkait dengan proyek Food Estate di Merauke Papua. Sebagaimana telah disampaikan dalam beberapa pemberitaan, pada Juni 2024, Sany Heavy Industry Co Ltd, produsen alat berat dari Cina, mengumumkan dalam siaran pers bahwa PT Jhonlin Group telah membeli 2.000 unit ekskavator dari mereka, yang kemudian dilaporkan juga bahwa sejak Juli 2024, ekskavator dan alat-alat berat ini telah diturunkan melalui Pelabuhan di Wobikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke dengan Haji Isam dan pejabat tinggi militer turut mengawasi prosesnya. Laporan yang dibuat oleh Yayasan Pusaka menyebut bahwa operasi penggusuran hutan, rawa dan lahan pertanian masyarakat adat untuk proyek pembangunan sarana dan prasarana dermaga, jalan tani, saluran irigasi dan cetak sawah ini telah menimbulkan konflik, terutama dengan masyarakat adat Marind Maklew di Wanam, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Pemerintah menggunakan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) untuk mengakomodasikan lahan proyek cetak sawah baru satu juta hektar dan perkebunan tebu dan bioethanol. Kawasan KSPP terdiri dari lima klaster dan tersebar di beberapa wilayah distrik. Keseluruhan lokasi cetak sawah baru berada pada wilayah adat masyarakat adat Malind, Maklew, Khimaima dan Yei. Diperkirakan lebih dari 50.000 masyarakat adat akan terdampak dari proyek tersebut. Selain akan menggusur masyarakat adat, pembongkaran hutan untuk perkebunan pangan dan bioetanol ini akan menyebabkan bencana ekologis seperti banjir dan longsor. Bukan hanya itu, pelepasan emisi dalam skala yang besar juga akan menjadi konsekuensi dari pembongkaran hutan. Bahkan saat ini, masyarakat adat di sekitar lokasi proyek mengalami kekerasan psikologi akibat mobilisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara besar-besaran di Meruke, Papua.

Dalam konteks nasional, Indonesia tidak memiliki sejarah keberhasilan membangun Food Estate. Setidaknya sejak Era Soeharto, pembangunan 1 juta gambut untuk Food Estate di Kalimantan Tengah, gagal. Justru di lahan 1 juta eks gambut tersebut kebakaran hutan dan lahan berulang kali terjadi. Gambut rusak dan tidak lagi dapat dikelola oleh masyarakat. Proyek MIFEE di Maluku dan Papua juga gagal. Di Sumatera Utara juga hal yang sama terjadi, proyek gagal sebab petani dipaksa menanam jenis tanaman yang tidak sesuai dengan karakteristik wilayah tersebut. Dipaksa menanam dan panen meski belum waktunya. Faktanya, pembangunan pangan skala besar atau Food Estate ini justru akan menyebabkan hilangnya pangan lokal, penggusuran rakyat, kerusakan ekologis, bencana ekologis dan krisis iklim.

Masalah lainnya adalah pembentukan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) sebagai reinkrainasi badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (BAPEDAL) yang belum jelas arah dan tujuannya. Apabila pembentukan BPLH tidak dibarengi dengan instrumen penindakan dan kaki sampai di daerah maka badan ini hanya akan menjadi macan ompong saja. Sampai hari ini belum ada kejelasan sejauh mana kewenangan, organisasi dan struktur dari BPLH. Ketika ada Bapedal struktur perijinan, pengawasan dan penindakan sangat berbeda dengan saat ini dimana Rezim Omnibus/OSS telah banyak memangkas kewenangan dan kendali perizinan yang dulu dimiliki oleh Menlh/Bapedal.

 

Narahubung:
WALHI: 0811-5501-980