Perdana Menteri Baru Jepang Membawa Program Lama Yang Mengancam Keselamatan Lingkungan Hidup dan Komunitas di Indonesia

Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

Pada Sabtu, 11 Januari 2025, Perdana Menteri Jepang yang baru, Ishiba Shigeru, melakukan lawatan ke Indonesia. Bersama dengan kedatangannya ke Malaysia sebelumnya, lawatan ke Indonesia ini adalah lawatan bilateral pertama PM Ishiba Shigeru setelah dilantik. Sayangnya, lawatan oleh Perdana Menteri yang baru ini masih membawa tawaran program dan kerjasama lama, yang telah menunjukkan kegagalan dan dampak kerusakan kepada masyarakat dan lingkungan hidup di Indonesia.

Dalam Pernyataan Pers Bersama Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Jepang Ishiba Shigeru, yang dirilis oleh laman resmi Presiden Republik Indonesia, PM Ishiba Shigeru menyebut bahwa sebagai bagian dari kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama pasokan energi yang stabil, maka dibuatlah kerjasama antara Jepang dan Indonesia untuk dekarbonisasi energi, seperti PLTP Muara Laboh di bawah AZEC (Asia Zero Emission Community), dan juga untuk hidrogen, amoniak, biofuel, dan sebagainya. PM Ishiba Shigeru juga menyebut kerjasama pada sektor pertambangan mineral kritis.

Pernyataan ini tidak beranjak jauh dari upaya-upaya yang sebelumnya telah didorong oleh Jepang melalui AZEC, yang telah mendapatkan penolakan keras melalui petisi yang turut ditandatangani oleh 41 organisasi masyarakat sipil di Indonesia. “Pada Agustus 2024 yang lalu, masyarakat sipil di Indonesia telah menyampaikan kritiknya terhadap AZEC, dan telah meminta untuk menghentikan implementasinya di Indonesia karena hanya akan memperpanjang penggunaan energi fosil, penggunaan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta pelanggaran hak asasi manusia.” tutur Fanny Tri Jambore, Kepala Divisi Kampanye WALHI.

Pada PLTP Muara Laboh yang secara spesifik disebut oleh PM Ishiba Shigeru, telah ada dampak terhadap lingkungan dan komunitas yang tinggal di sana, termasuk adanya proses pembebasan lahan yang dilakukan secara paksa dan diskriminatif, gagal panen petani akibat pencemaran dan berkurangnya pasokan air, ancaman gangguan kesehatan dan keselamatan masyarakat akibat konsentrasi gas beracun, serta memperparah dampak banjir akibat perubahan bentang alam. PLTP Muara Laboh mendapatkan investasi dari korporasi Jepang, INPEX dan Sumitomo Corporation. Pembangunan Tahap 1-nya telah mendapat pendanaan dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) dan Nippon Export and Investment Insurance (NEXI), dan sekarang pembangunan Tahap 2 tengah dipertimbangkan untuk mendapat dukungan juga dari JBIC dan NEXI. WALHI telah menyampaikan tuntutan kepada JBIC dan NEXI untuk berhenti mempertimbangkan dukungan terhadap proyek pengembangan PLTP Muara Laboh Tahap 2 yang dapat mengakibatkan perluasan dampak negatif terhadap lingkungan dan komunitas serta melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia.

Pernyataan PM Ishiba Shigeru untuk mendorong implementasi hidrogen, amoniak, biofuel, dan sebagainya, serta mendorong pertambangan mineral kritis sebagai bagian dari kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama pasokan energi yang stabil serta upaya dekarbonisasi, semakin menunjukkan bahwa PM Ishiba Shigeru masih akan terus mendukung upaya memperpanjang penggunaan energi fosil, serta mendorong implementasi solusi palsu dalam transisi energi di Indonesia.” ungkap Fanny Tri Jambore lagi. Lebih lanjut Fanny menjelaskan bahwa penggunaan pendekatan dan teknologi-teknologi semacam ini tidak bisa diharapkan dapat memberi kontribusi pada pengurangan emisi gas rumah kaca yang diperlukan untuk mencapai target 1,5°C sesuai Perjanjian Paris, dan dengan demikian tidak membantu memerangi perubahan iklim. Beberapa teknologi ini juga masih belum mapan, belum terbukti, dan sangat mahal. Mendorong pertambangan mineral kritis untuk mendukung upaya dekarbonisasi juga merupakan kontradiksi, karena yang terjadi justru, kawasan-kawasan hutan sebagai wilayah serapan karbon terus mengalami perusakan akibat pertambangan mineral kritis. Dari data pertambangan pada 2023, WALHI memperkirakan 1,3 juta hektar konsesi tambang mineral kritis di Indonesia, terletak dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan hutan, yang dapat memicu meningkatnya angka deforestasi dan kerusakan hutan.

Melihat besarnya ancaman kerusakan lingkungan hidup dan keselamatan komunitas jika proyek-proyek dan kerjasama seperti yang termaktub dalam AZEC tersebut diimplementasikan, maka WALHI tetap menyerukan kepada pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia untuk membatalkan dan menghentikan inisiatif-inisiatif, proyek-proyek, dan perjanjian kerjasama yang memperpanjang penggunaan energi fosil, menggunakan solusi palsu yang mengancam keselamatan lingkungan dan komunitas, serta menyebabkan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan meminta pemerintah Jepang dan pemerintah Indonesia bekerja sama serta mendukung dekarbonisasi/transisi energi yang cepat, adil, dan merata dengan cara yang dapat memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.

Narahubung:
Fanny Tri Jambore (Kepala Divisi Kampanye WALHI) – 083857642883