Sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang begitu kaya, harusnya kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Sayangnya, kita justru menyaksikan berbagai persoalan yang dialami oleh rakyat, khususnya dari kelompok marginal yang justru menjadi korban atas nama “pembangunan” dan pertumbuhan ekonomi. Perampasan tanah-tanah adat, kemiskinan, konflik tenurial, bencana ekologis menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Dari narasi besar buramnya praktek pembangunan dan kebijakan ekonomi bangsa ini, ada narasi lain yang sering kali luput. Ada kelompok rakyat yang berjenis kelamin perempuan yang mengalami lapis-lapis kekerasan atas praktek sumber daya alam yang eksploitatif seperti industri tambang, perkebunan sawit, hutan tanaman industri maupun pembangunan infrastruktur skala besar, yang menghancurkan sumber kehidupan perempuan.
Di sisi yang lain, kita juga menyaksikan di berbagai tempat di Indonesia, perempuan berada di garis depan dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup dan wilayah kelolanya. Peran perempuan sangat besar dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, pengetahuan dan pengalaman perempuan sering kali dianggap tidak ada, sehingga selalu diabaikan dalam pengambilan kebijakan. Perempuan juga memiliki ikatan yang sangat tinggi terhadap alam, selain kerentanan perempuan ketika terjadi kerusakan lingkungan hidup.
Pada bulan Agustus dan September 2017, WALHI Papua dan WALHI Sulawesi Selatan menggagas kegiatan pendidikan untuk memperkuat dan memperluas perjuangan perempuan terhadap sumber daya alam dan lingkungan hidup. Belajar bersama, menemukan bersama problem pokok yang dihadapi oleh perempuan dan sekaligus menggali upaya penyelesaian konflik. Di Papua, kegiatan ini diikuti oleh komunitas perempuan adat Papua yang berasal dari Kabupaten Keerom, Distrik Arso Kota 3 Orang dan Distrik Arso Timur, Kota Jayapura, Distrik Abepura Kampung Enggros Tobati, dan Kabupaten Jayapura Distrik Kemtuk, dan Distrik Waibu. Wilayah-wilayah ini terancam dari investasi sawit dari PTPN 2 dan PT. Rajawali, investasi semen PT. SI dan perkebunan skala tebu dan jagung skala besar yang dimiliki oleh korporasi.
Di Sulawesi Selatan, pejuang perempuan dari Takalar yang sedang melawan tambang pasir laut, Enrekang yang sedang konflik klaim kawasan hutan lindung, Maros yang sedang menyelamatkan kawasan karst, dan Gowa yang sedang menghadapi konflik kehutanan, selama 4 hari berkumpul di Makassar untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam memperjuangkan sumber-sumber kehidupannya. Selain mengupas tentang gender dalam pengelolaan sumber daya alam, pendidikan ini juga mengupas tentang problem agraria, advokasi dan kebijakan yang mengancam wilayah kelola rakyat. Dari kegiatan ini diharapkan dapat menjadi media saling belajar antar sesama komunitas perempuan yang saat ini sedang memperjuangkan hutan, tanah adat, air, udara yang bersih dan generasi masa depan yang sehat, dan sekaligus memperkuat solidaritas antar komunitas perempuan.