Pernyataan Sikap Masyarakat Sipil Terhadap Konferensi Industri Kotor Batubara "Coaltrans Asia" di Bali

Jakarta, 09.05.2018. Pertemuan industri batubara berlangsung pada tanggal 6-8 Mei 2018. Pertemuan bertajuk Coaltrans Asia ke 24 tersebut bertempat di Bali International Convention Center, Nusa Dua, Bali. Dihadiri oleh lebih dari 800 orang pelaku industri kotor batubara dari seluruh dunia. Sementara itu, disaat yang hampir bersamaan terjadi pertemuan Bonn Intersessional di Kota Bonn, Jerman yang membahas aturan teknis implementasi Perjanjian Paris tentang perubahan iklim untuk mencapai target iklim global agar suhu bumi tidak melebihi 1,5 derajat celsius. Dua pertemuan ini sangat bertolak belakang, Coaltrans Asia terus mendorong penggunaan batubara demi keuntungan segelintir industri kotor batubara, sedangkan masyarakat dunia menginginkan sebaliknya, batubara harus ditinggalkan secepatnya. Melanggengkan penggunaan batubara sebagai sumber energi jelas bertentangan dengan target global yang tertuang dalam Perjanjian Paris dan Kontribusi Nasional yang Diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) masing-masing pihak termasuk pemerintah Indonesia. Batubara merupakan energi paling kotor yang menyebabkan perubahan iklim global. Hingga bulan Januari 2018, emisi karbon dari pembangkit batubara yang masih beroperasi di dunia mencapai 7,616 Juta ton CO2e, sedangkan rencana penambahan PLTU batubara baru akan menambah emisi karbon sebesar 1,707 Juta ton CO2e. Jumlah tersebut sama dengan ¼ dari total emisi global. Untuk mencapai target iklim global, 80% cadangan batubara di dunia harus tetap tersimpan di dalam tanah. Pembangunan PLTU batubara baru harus dihentikan dan 100 GW PLTU batubara lama harus dipensiunkan setiap tahun. Sangat disayangkan justru pemerintah Indonesia memfasilitasi pertemuan Industri kotor batubara di Bali di tengah kecenderungan global untuk meninggalkan energi kotor ini. Indonesia sebagai eksportir batubara terbesar terus berusaha melanggengkan eksistensinya dengan mendorong ekspor dan penggunaan batubara untuk PLTU batubara di dalam negeri. Hal ini terlihat dari tambahan kuota ekspor hingga 10% untuk mengkompensasi harga batubara dalam negeri yang dipatok di angka 70 USD per ton sedangkan harga di tingkat internasional yang sudah mencapai lebih 100 USD per ton.

Penambahan kuota ini akan menambah deretan panjang dampak lingkungan dan sosial demi keuntungan pelaku industri batubara. Sebelumnya, pemerintah mencanangkan kuota produksi batubara nasional pada tahun 2018 sekitar 485 juta ton. Jika ditambah 10 persen, maka produksi bertambah menjadi 533.5 juta ton. Angka ini meningkat 15 persen dari realisasi  produksi di tahun 2017, yang mencapai sekitar 461 juta ton. Angka produksi batubara dalam tiga tahun terakhir telah melebihi target yang dibuat pemerintah sendiri sebagaimana tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk kebutuhan listrik dalam negeri, pemerintah juga tak kunjung meninggalkan energi kotor batubara, terlihat dari Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Perusahaan Listrik Negara tahun 2018-2027 yang menargetkan penggunaan batubara dalam bauran energi mencapai 54% di tahun 2027, dua kali lipat jika dibandingkan target bauran energi terbarukan yang hanya 23% di tahun yang sama. Kalangan industri kotor batubara menyatakan bahwa komoditas ini sebagai penopang pertumbuhan ekonomi dan menyumbang devisa negara, namun nyatanya kerugian negara akibat buruknya tata kelola tambang batubara dan dampak lingkungan seperti banjir, longsor, pencemaran air dan udara mencapai sepuluh kali lipat dari pendapatan negara. Keuntungan daerah penghasil batubara juga tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan. Hasil perhitungan Walhi Jambi sejak tahun 2010 hingga 2013 misalnya, memperkiraan potensi kerugian daerah akibat bencana ekologis seperti tanah longsor dan banjir mencapai Rp 50,467 Miliar lebih. Padahal dari sektor tambang, royalti yang masuk ke Provinsi Jambi hanya mencapai 10 Miliar.

Hal ini tentu sangat jauh dari biaya kerugaian yang dtimbulkan, ditambah lagi dengan kerusakan jalan akibat alat angkut batubara yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 300 Miliar. Di hilir, data dari Greenpeace menyebutkan, polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batubara di Asia Tenggara telah berkontribusi pada 20.000 kematian dini per tahun. Jika rencana pembangunan PLTU-PLTU baru berjalan, diperkirakan angka ini bisa meningkat hingga 70.000 dari bermacam penyakit seperti kanker paru-paru, stroke, serta penyakit pernafasan. Eksternalitas ini tidak pernah dimasukkan dalam perhitungan harga batubara yang diklaim murah oleh pemerintah dan pelaku industri batubara. Ketergantungan akan ekspor bahan mentah terutama barubara juga disebakan karena beban utang luar negeri pemerintah, terutama dalam bentuk valuta asing. Utang dalam bentuk valuta asing harus dibayar dengan mata uang yang sama. Cara mendapatkan valuta asing tersebut salah satunya adalah ekspor komoditas selain remitansi TKI dan menambah utang baru. Hingga tahun 2017, jumlah Surat Berharga Negara (SBN) Internasional mencapai 897,676 triliun rupiah. Jumlah ini hampir 40% dari total Surat Berharga Negara. Antara tahun 1996 sampai 2013 penerbitan SBN internasional mencapai 433,030 triliun rupiah. Sedangkan pada tahun 2014-2017 jumlahnya mencapai 464,646 triliun rupiah, lebih dari separuh total jumlah SBN internasional. Hanya dalam kurun waktu empat tahun jumlah SBN internasional naik dua kali lipat. Hal ini menyebabkan maraknya eksplotasi sumberdaya alam khususnya batubara demi membayar utang dalam bentuk valuta asing Oleh karena itu kami menyatakan: Pertama, mengecam pertemuan Coaltrans Asia di Bali karena pertemuan tersebut adalah ajang bertemunya penjahat iklim untuk terus melanggengkan penggunaan energi kotor batubara. Mengeruk keuntungan ekonomi diatas kehancuran iklim, lingkungan, sosial serta bertentangan dengan target global yang tertuang dalam Perjanjian Paris dan Kontribusi Nasional yang Diniatkan (Nationally Determined Contributions/NDC) masing-masing pihak termasuk pemerintah Indonesia. Kedua, mendesak pemerintah Indonesia untuk mengakhiri model pembangunan ekonomi yang menggantungkan pada utang dan ekspor komoditas khususnya batubara. Segera laksanakan moratorium batubara dan menghentikan penggunaan batubara untuk kebutuhan listrik nasional. Ketiga, mendesak pemerintah untuk membuat peta jalan transisi energi berkeadilan menuju energi terbarukan dengan menjamin peran rakyat sebagai produsen sekaligus konsumen energi terbarukan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia – Greenpeace Indonesia – Jaringan Advokasi Tambang   Nara Hubung:

  • Yuyun Harmono, Manajer Kampanye Keadilan Iklim WALHI (harmono@wp_walhi.local)
  • Merah Johansyah, Koordinator Nasional JATAM ([email protected])
  • Bondan Andriyanu, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia ([email protected])