Oleh: Parid Ridwanuddin
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI
Di Perppu Cipta Kerja, ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil menghadapi bahaya besar. Zona inti konservasi laut boleh diubah untuk kawasan eksploitasi, terutama untuk kepentingan proyek strategis nasional.
**
Di pengujung 2022, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Di dalam konsiderannya disebutkan, isu krisis iklim menjadi salah satu konteks utama gentingnya penerbitan Perppu Cipta Kerja.
Pertanyaaanya, apakah benar Perppu Cipta Kerja dapat menyelesaikan persoalan krisis iklim, terutama dampak buruk yang dihadapi oleh masyarakat di Indonesia? Atau justru akan semakin memperparah dampak krisis dalam jangka panjang?
Masyarakat pesisir yang jumlahnya lebih dari 8 juta keluarga merupakan kelompok masyarakat di Indonesia yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim. Mereka harus berhadapan dengan banjir rob dan tenggelamnya desa-desa pesisir. Lebih jauh, pulau-pulau kecil terancam tenggelam karena cepatnya kenaikan air laut.
Dua problem utama
Sebagaimana UU No 11/2021 tentang Cipta Kerja, Perppu Cipta memiliki dua problem serius, yaitu problem substansi dan problem metodologi. Keduanya sama sekali tidak mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan iklim. Secara substansi, Perppu Cipta Kerja, terutama yang terkait dengan tata kuasa dan tata kelola sumber daya alam di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, merupakan copy paste dari pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Isinya tak banyak yang berbeda.
Pasal 26A dapat dijadikan contoh. Pasal ini berbunyi: ”Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi perizinan berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal”.
Untuk kepentingan investasi, semangat utama pasal tersebut dapat ditebak: melanggengkan swastanisasi atau liberalisasi penguasaan dan pengelolaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Hal ini jelas bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33 Ayat 3.
Selain itu, Perppu Cipta Kerja menempatkan sumber daya laut sebagai ruang kompetisi antara nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil dengan entitas bisnis skala besar. Hal ini ditegaskan oleh Pasal 1 poin 30 yang terkait dengan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dengan demikian, prinsip perlindungan wilayah tangkap nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil tidak mendapatkan tempat yang adil dan memadai.
Di dalam Perppu Cipta Kerja, masa depan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil menghadapi bahaya besar. Zona inti konservasi laut, menurut perppu ini, boleh diubah untuk kawasan eksploitasi, khususnya untuk kepentingan proyek strategis nasional (PSN). Lebih jauh, kawasan ekosistem esensial mangrove, baik yang ada di zona konservasi laut, maupun di luar zona konservasi laut, juga dapat diubah untuk melayani proyek tambang panas bumi.
Perppu Cipta Kerja menempatkan sumber daya laut sebagai ruang kompetisi antara nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil dengan entitas bisnis skala besar.
Dari sisi metodologi, penerbitan Perppu Cipta Kerja tidak ada partisipasi dari masyarakat pesisir yang bermakna (meaningfull participation). Tak ada satu pun kelompok nelayan atau perempuan nelayan yang terlibat atau dimintai pandangan dalam perumusan Perppu Cipta Kerja. Pada titik ini, perppu ini sama dengan UU Cipta Kerja yang diputus inkonstitusional bersyarat oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 91 Tahun 2021.
Anti keadilan iklim
Substansi dan metodologi perumusan Perppu Cipta Kerja sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan iklim yang menempatkan keselamatan masyarakat pesisir, serta kelestarian pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil sebagai jantung utama.
Secara lebih detail, keadilan iklim mengandung sejumlah prinsip sebagai berikut. Pertama, menegaskan hak-hak masyarakat bergantung kepada sumber daya alam untuk penghidupan dan budaya mereka untuk memiliki dan mengelolanya secara berkelanjutan, dan menentang komodifikasi alam dan sumber dayanya. Kedua, menuntut pergeseran dari wacana tentang gas rumah kaca dan pencairan es menjadi gerakan hak-hak sipil orang dan komunitas yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim.
Ketiga, mengakui dampak yang tidak adil dari krisis iklim pada komunitas berpenghasilan rendah di seluruh dunia, terutama orang-orang dan tempat-tempat yang paling tidak bertanggung jawab atas timbulnya krisis iklim. Keempat, menyerukan keadilan dalam pengambilan keputusan. Prinsip ini mendukung pemusatan populasi yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim sebagai pengambil keputusan dalam perencanaan pembangunan.
Penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah ironi besar karena mengkhianati upaya serius masyarakat pesisir yang berjuang untuk menyelamatkan hidup dari dampak buruk krisis iklim. Walhi mencatat telah banyak desa pesisir tenggelam. Setiap tahun, 1 hektar tanah hilang di sepanjang kawasan pesisir Demak, Jawa Tengah, akibat meningkatnya permukaan air laut.
Sementara itu, jumlah nelayan yang meninggal di laut akibat krisis iklim terus terjadi. Dalam satu tahun, nelayan hanya bisa melaut selama enam bulan. Setiap tahun, ratusan nelayan meninggal di laut. Tahun 2020, jumlah nelayan yang meninggal tercatat 251 orang.
Perppu Cipta Kerja juga ironi besar karena diterbitkan hanya berselang enam pekan setelah selesainya perhelatan akbar Conference of Parties (COP) ke-27 di kota Sharm el-Sheikh, Mesir. Dalam pidatonya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin di hadapan para pemimpin dunia saat itu menyebut Indonesia berhasil melakukan langkah nyata memerangi krisis iklim dengan cara lead by example kepada negara lain.
Jika klaim lead by example di COP27 itu benar, seharusnya Pemerintah Indonesia tidak menerbitkan Perppu Cipta Kerja karena akan memperburuk dampak krisis iklim bagi kehidupan masyarakat pesisir dan berlawanan dengan semangat keadilan iklim. (*)
Tulisan pernah dimuat di Kompas
https://www.kompas.id/baca/opini/2023/01/11/perppu-cipta-kerja-versus-keadilan-iklim-bagi-masyarakat-pesisir