Perpres No. 35/2018 tentang PLTSa: Pemaksaan Teknologi Mahal dan Tidak Berkelanjutan

JAKARTA, 31 Mei 2018 - Peraturan Presiden baru mengenai penerapan teknologi termal untuk mengurangi volume sampah di beberapa kota tidak realistis, mahal dan berpotensi gagal. Rencana ini, baik dari segi pembiayaan maupun teknis, berlawanan dengan prinsip pengelolaan sampah sebagai sumber daya material secara berkelanjutan. Dampak terhadap kesehatan dan keberlanjutan operasional jangka panjang akan menjadi beban Pemerintah Daerah dan masyarakat. Dua tahun yang lalu, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 18/2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar, yang kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) atas permohonan sekelompok LSM dan individu.[1] Ironisnya, dalam waktu kurun waktu 2 tahun, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Sekilas, tidak ada perbedaan signifikan dari judul kedua Perpres kecuali penggunaan kata “ramah lingkungan”. “Sayangnya, Perpres baru No. 35/2018 hanya berubah wajah dan, yang lebih fatal, diberi judul berbasis teknologi ramah lingkungan dengan kriteria yang tidak jelas,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor BaliFokus dan AZWI. “Biaya investasi dan operasional yang tinggi, berpotensi menciptakan dampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan. Hal ini diperparah dengan studi kelayakan yang dipaksakan dan tidak ada kejelasan studi AMDAL sebelum proyek dimulai, lemahnya pemantauan dan penegakan hukum karena kurangnya kapasitas dan infrastruktur lab yang memadai.” “Kelayakan proyek PLTSa yang dibangun masih dipertanyakan karena sampai saat ini belum ada satupun PLTSa termal yang berhasil didorong oleh pemerintah untuk menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN,” kata Dwi Sawung, Pengkampanye Perkotaan dan Energi dari WALHI. Selain permohonan uji materil, beberapa LSM yang sama dan juga tergabung dalam Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) telah beberapa kali mengingatkan bahwa pengolahan sampah dengan teknologi termal seperti insinerator, gasifikasi dan pirolisis untuk sampah Indonesia membutuhkan kajian dan pertimbangan mendalam serta menyeluruh.[2],[3],[4] Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) meminta pemerintah untuk tetap fokus melaksanakan mandat-mandat utama dari UU No. 18/2008 dan Peraturan Pemerintah No. 81/2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sejenis Rumah Tangga untuk mewujudkan pengelolaan sampah. Pemerintah juga tetap harus menerapkan prinsip -prinsip pembangunan berkelanjutan dan melakukan upaya-upaya pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang tertuang dalam Perpres No. 59/2017. “Dengan diundangkannya Perpres baru tentang PLTSa ini nampaknya pemerintah masih gagal keluar dari paradigma pengelolaan sampah lama: bertumpu pada pendekatan akhir,” kata David Sutasurya dari YPBB. “Perpres baru ini seolah merupakan upaya instan dari Pemerintah untuk mencapai target penanganan sampah tahun 2025 sebesar 70% diamanatkan dalam Peraturan Presiden No. 97/2017”. Pemerintah cenderung abai terhadap risiko kesehatan dan finansial dengan mengasumsikan bahwa operasi insinerator akan berjalan mulus tanpa gagal operasi. Hal ini terlihat dari amanat dalam Perpres No. 35/2018 yang merefleksikan tidak adanya penjaminan keselamatan, dan kesehatan masyarakat serta keberlanjutan lingkungan pada persyaratan minimum dari dokumen pra-studi kelayakan. Dapat terlihat dari dua PLTSa termal yang sedang dalam tahap pembangunan di Kota Bekasi dan Surakarta yang berjalan tanpa adanya perencanaan yang matang. Juga satu PLTSa di Jakarta masih belum jelas status pembangunannya. Oleh karena itu, AZWI mengajak semua pihak untuk awas terhadap kecenderungan terjadinya pemaksaan proyek insinerator yang sedang berjalan, diantaranya:

  1. Proyek-proyek PLTSa tetap dipaksakan berjalan dan PLN seolah ‘dipaksa’ untuk membeli listrik dari PLTSa dengan harga mahal walaupun Pulau Jawa dan Bali saat ini berada dalam kondisi kelebihan suplai energi listrik.
  2. Pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah mengingatkan bahwa listrik dari PLTSa tidak ekonomis. Kalaupun PLTSa tetap dijalankan, perannya lebih sebagai unit pemrosesan akhir dengan teknologi insinerator (pembakar) sampah.
  3. Pemerintah Daerah diminta untuk membayar tipping fee pengelolaan sampah yang sangat mahal. Biaya tipping fee yang mahal dapat menjadi jebakan fiskal jangka panjang bagi Pemerintah Daerah. Faktanya, pemenuhan pembiayaan kegiatan pengangkutan sampah pun masih sulit untuk dipenuhi Pemerintah Daerah. Seharusnya, Pemerintah membantu Pemerintah Daerah untuk mencukupi biaya kegiatan penanganan seperti pemilahan, pengumpulan dan pengolahan sampah (juga pembiayaan untuk aspek pengurangan sampah). Dengan demikian, secara praktis proyek PLTSa tidak menguntungkan Pemerintah Daerah dan hanya menguntungkan pihak tertentu.
  4. Ironisnya, walaupun judul Perpres No. 35/2018 ini ‘menekankan’ PLTSa yang ramah lingkungan, masyarakat justru dirugikan dengan tidak adanya penjaminan keselamatan, dan kesehatan serta keberlanjutan lingkungan dalam amanat Perpres ini. Fokus dari Perpres No. 35/2018 semata-mata hanya berkisar pada penghasilan energi dan keuntungan ekonomi.
  5. Sementara berbagai turunan regulasi UU No. 18/2008 begitu lambat dikeluarkan oleh Pemerintah (salah satunya: peraturan pelaksana tentang pengelolaan sampah spesifik). Namun, dengan begitu cepatnya, Pemerintah menerbitkan regulasi terkait proyek percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik. Mirisnya, ekstraksi energi dari sampah merupakan upaya terakhir dalam hierarki pengelolaan sampah sebelum pembatasan timbulan, guna ulang dan daur ulang sampah.
  6. Pembakaran yang tidak sempurna pada sampah akan menghasilkan senyawa kimia berbahaya yang bersifat karsinogenik, yaitu dioksin. Dioksin bersifat persisten dan terakumulasi secara biologi, dan tersebar di lingkungan dalam konsentrasi yang rendah. Hal ini bisa meningkatkan risiko terkena kanker dan efek lainnya terhadap binatang dan manusia. Sedangkan, dalam Lampiran Peraturan Menteri LHK No. 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengelolaan Sampah Secara Termal, pemeriksaan dioksin hanya diwajibkan dilakukan lima tahun sekali karena tidak ada fasilitas laboratorium yang memadai di Indonesia.
  7. Lampiran III Peraturan Menteri LHK No. 19 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Usaha dan/atau Industri Semen, hanya mewajibkan pemeriksaan dioksin dilakukan empat tahun sekali pada industri semen yang menggunakan teknologi RDF dari bahan sampah rumah tangga atau yang sejenis. Standar lingkungan yang ditetapkan di Indonesia jauh lebih rendah dan longgar dari standar yang berlaku secara internasional. Dengan demikian kita patut bertanya, apakah aturan baku mutu emisi tersebut dibuat untuk melindungi masyarakat atau sekedar melegalkan proyek ini.
  8. Sekitar 70% hasil pembakaran sampah akan berupa fly ash dan bottom ash (FABA) yang bersifat B3 karena mengandung dioxins dan furans (kimia UPOPs). Abu yang dihasilkan ini harus dikelola di TPA B3. Setiap kota yang akan membangun PLTSa wajib membangun TPA B3 juga yang harus dikelola secara profesional dan berbiaya tinggi.
  9. Penggunaan batubara kualitas rendah (low grade coal) untuk membakar sampah kota-kota Indonesia yang bernilai kalor rendah, berpotensi meningkatkan emisi merkuri ke udara. PLTSa yang akan dibangun berpotensi menjadi PLTU batubara dengan sampah didalamnya.

AZWI menyayangkan bahwa dalam proses implementasinya, Perpres ini ‘mampu’ berkompromi dengan teknologi-teknologi tidak ramah lingkungan dalam hal ini berbagai jenis teknologi termal. Kenyataannya, teknologi yang sedang dikaji oleh pemerintah saat ini di kota-kota yang menjadi sasaran, adalah teknologi termal. Pemaksaan proyek-proyek insinerator ini dapat mendorong terjadinya masalah jangka panjang bagi Pemerintah Daerah dan masyarakat. Kontrak proyek insinerator bersifat jangka panjang, di mana Pemerintah Daerah akan terikat selama 20 tahun atau lebih. Konsekuensinya, persoalan lingkungan yang dihasilkan dari insinerator akan menjadi masalah baru kesehatan lingkungan yang berlarut-larut.. Kontak media:

  • Dwi Sawung+639994120029
  • David Sutasurya +6281320176832
  • Yuyun Ismawati +447583768707 (Whatsapp)

 

 

 

 

Lampiran I: Berbagai Bentuk Pemaksaan Pemerintah untuk Mendorong Proyek-Proyek Insinerator di Jawa-Bali Saat ini daya pembangkit listrik pada sistem kelistrikan Jawa-Bali sebesar kira-kira 32 GW dengan beban puncak pada bulan Oktober 2017 sebesar 25 GW. Meskipun berada dalam kondisi surplus energi listrik ini, masih banyak proyek pembangkit listrik berkapasitas besar yang sedang dalam tahap konstruksi di wilayah Jawa-Bali. Ironisnya, di dalam RUPTL (Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik) PLN tahun 2018-2027 terdapat rencana pembangunan 195 megawatt (MW) PLTSa di wilayah Jawa-Bali dengan rincian Provinsi DKI Jakarta 85 MW, Banten 20 MW, Jawa Barat 30 MW, Jawa Tengah 35 MW, Jawa Timur 10 MW dan Bali 15 MW. Dengan demikian tidak ada kebutuhan penambahan kapasitas produksi listrik melalui pengadaan TPA.   Kelayakan proyek PLTSa yang dibangun masih dipertanyakan karena sampai saat ini belum ada satupun PLTSa termal yang berhasil didorong oleh pemerintah untuk menandatangani Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dengan PLN.   PLN tidak mampu membeli listrik yang dihasilkan dari PLTSa (Feed in Tariff/FIT 18 sen US$ per kWh) dengan harga tinggi yang ditetapkan pemerintah (Biaya Pokok Penyediaan/BPP listrik Jawa-Bali adalah 6,81 sen US$ per kWh) karena kondisi kelistrikan di Pulau Jawa-Bali sudah kelebihan pasokan listrik.[5] Bahkan, pada bulan Februari 2018 lalu, PLN di Pulau Jawa-Bali telah memutus kontrak PJBL dengan IPP (Independent Power Producer/pembangkit swasta) PLTG Bekasi Power. Dengan kondisi yang ada saat ini, tidak ada jaminan politik maupun finansial bahwa listrik yang dihasilkan dari PLTSa atau fasilitas yang memanfaatkan Refused-Derived Fuel (RDF) dari sampah rumah tangga akan menjadi solusi yang berkelanjutan. RDF memiliki nilai kalor rendah, kurang dari 6000 KCal, dan berpotensi mubazir, tidak dapat dijual kepada industri semen sebagai bahan bakar co-combustion atau co-generation.   Bila dibandingkan, biaya tipikal investasi berbagai teknologi pengolahan sampah di tempat akhir (disposal treatment), untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah USD 15-40 per ton untuk sanitary landfill dan USD 40-100 per ton untuk insinerator dengan pemulihan energi[6].   Sementara insinerator yang lebih tua menghasilkan listrik pada tingkat efisiensi yang sangat rendah sebesar 19-27%, sebuah penelitian di Inggris[7] menemukan bahwa efisiensi konversi teknologi insinerasi baru bahkan lebih rendah. Lampiran II: Proyek Insinerator dan Potensi Produksi Racun Baru PLTSa hanya memindahkan masalah sampah ke udara, abu terbang (fly ash), dan abu dasar (bottom ash) residu pembakaran. Salah satu potensi emisi dan lepasan racun dari pengolahan sampah dengan teknologi termal adalah dioksin dan furan (PCDD/PCDF).   Senyawa yang bersifat karsinogenik ini telah disepakati oleh lebih dari 128 negara untuk dikontrol dengan ketat dan dikurangi sumber emisinya dalam Konvensi Stockholm, sebagaimana telah diratifikasi oleh Indonesia dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2009.   Rencana Implementasi Nasional pelaksanaan Konvensi Stockholm tentang POPs (Persistent Organic Pollutants) yang diperbaharui (2014) mengenali potensi sumber-sumber POPs dan merencanakan strategi serta implementasi pengurangan dan mitigasinya.   Lampiran Peraturan Menteri LHK No. 70 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan/atau Kegiatan Pengelolaan Sampah Secara Termal, pemeriksaan dioksin hanya diwajibkan dilakukan lima tahun sekali karena tidak ada fasilitas laboratorium yang memadai di Indonesia.

Selain itu, Lampiran III Peraturaan Menteri LHK No. 19 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Usaha dan/atau Industri Semen, juga hanya mewajibkan pemeriksaan dioksin dilakukan empat tahun sekali pada industri semen yang menggunakan teknologi RDF dari bahan sampah rumah tangga atau yang sejenis.   Pemantauan substansi yang bersifat karsinogen yang bersifat bioakumulatif dan biomagnifikasi sampai ke rantai makanan, seharusnya menjadi prioritas perhatian pemerintah.   Lebih dari 30% hasil pembakaran sampah akan menjadi abu dan abu terbang. Saat ini, menurut PP No. 101 tahun 2014, abu pembakaran PLTSa tergolong dalam limbah B3 dan harus diolah di fasilitas pengelolaan limbah B3. Jika PLTSa akan dibangun di 14 kota[8], maka kota-kota tersebut harus juga dilengkapi dengan TPA Limbah B3 yang memenuhi standar TPA Kelas 1. Sumber penghasil sampah, belum mendapat perhatian yang memadai dan dicerminkan dalam kebijakan dan penganggaran daerah. Dari segi finansial, memaksimalkan proses di hulu jauh lebih murah daripada mengandalkan penanganan di hilir. Sementara saat ini, Pemda Kota dan Kabupaten di Indonesia sebagian besar belum mengeluarkan anggaran sampah yang memadai untuk pelayanan minimal persampahan untuk menyediakan dan mengoperasikan sarana pengumpulan dan pengangkutan sampah, sehingga banyak masyarakat membuang sampahnya ke sungai.   Lebih dari 60% sampah Indonesia merupakan sampah organik dengan kelembaban tinggi. Pengolahan dengan proses non-termal (non-PLTSa) adalah solusi yang paling tepat untuk sampah Indonesia. Lampiran III: Insinerator, Teknologi “Baru” yang Berisiko Berbeda dengan versi Peraturan Presiden No. 18/2016, Peraturan Presiden No. 35/2018 tidak secara spesifik menyebutkan bahwa PLTSa harus berupa teknologi termal. Vendor teknologi mulai mencoba mempromosikan sejumlah teknologi “baru” dengan klaim bahwa teknologi tersebut bukan Insinerator dan lebih aman dari insinerator. Teknologi “baru” tersebut tidak lain adalah gasifikasi dan pirolisis merupakan proses yang memerlukan energi secara intensif dalam usaha mengurangi volume sampah dengan mengubahnya menjadi gas sintetis atau minyak, diikuti dengan pembakaran (insenerasi).   Semua teknologi tersebut sebenarnya adalah variasi dari teknologi termal, sebagaimana insinerator yang sudah umum dikenal, karena seluruhnya mencakup perlakuan termal (panas) pada sampah dan dalam banyak kasus berakhir ke pembakaran gas yang dihasilkan (baik di lokasi atau sebagai bahan bakar yang didistribusi). Gasifikasi Sampah diklasifikasikan sebagai bentuk insinerasi oleh Uni Eropa dan Badan Perlindungan Lingkungan AS (USA 40 CFR §60.51a; EU Directive 2010/75/ EU Art 3.40).   Klaim bahwa “gasifikasi dan pirolisis lebih aman dari insinerasi” juga terbukti gagal pada berbagai proyek uji coba di seluruh dunia. Proyek-proyek uji coba di berbagai penjuru dunia jarang yang menampilkan data-data secara transparan, namun dalam beberapa pengukuran, polusi yang dihasilkannya bisa jauh lebih besar daripada insinerator konvensional. Sebagian besar proposal proyek di Amerika dan Eropa gagal melalui tahapan kajian keamanan lingkungan pemerintah.   Selain itu, pada panduan yang terbaru mengenai WTE juga menyebutkan bahwa gasifikasi dan pirolisis adalah fasilitas WTE yang:

  1. Paling mahal baik untuk biaya modal dan biaya operasional;
  2. Sangat sedikit energi yang dihasilkan;
  3. Sering terjadi gagal operasi karena masalah teknis dan finansial; dan
  4. Tidak ada fasilitas skala komersial yang sukses: pengalaman dengan fasilitas-fasilitas ini menunjukkan bahwa tidak ada pabrik yang menghasilkan pendapatan yang memadai.

Lampiran IV: Rekomendasi Penyelenggaraan Pengelolaan Sampah yang Berkelanjutan Pada bagian umum UU No. 18/2008 dijelaskan bahwa tujuan undang-undang pengelolaan sampah adalah mengubah paradigma kumpul-angkut-buang menjadi pengelolaan sampah dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir melalui upaya pengurangan sampah dan penanganan sampah, telah disebutkan pula pada Pasal 2 ayat (2) Perpres No. 35/2018. Hal ini berlawanan dengan karakter PLTSa, terlebih yang ditujukan untuk menghasikan listrik, karena PLTSa tidak akan mencapai tingkat keekonomian tanpa tersedianya suplai sampah dalam jumlah besar dan konstan setiap harinya. Bila suplai sampah menurun, PLTSa akan sulit untuk beroperasi secara optimum. Artinya penerapan PLTSa ini akan ‘memaksa’ sebuah kota untuk terus menghasilkan sampah dengan jumlah yang mencukupi kebutuhan PLTSA dan ‘mengikat’ Pemerintah Daerah untuk melaksanakan sistem kumpul-angkut-buang sepanjang masa kontrak PLTSa yang dapat mencapai lebih dari 20 tahun.   Studi menunjukkan bahwa kota-kota di sepanjang pesisir laut dan kota-kota di sepanjang daerah aliran sungai berkontribusi pada timbulan sampah di laut.[9],[10] Pengumpulan sampah untuk dibawa ke TPS atau TPA di sebagian besar kota-kota di Indonesia baru mencapai 12,49 juta ton per tahun (Statistik Persampahan Indonesia, 2018, KLHK). Sisanya berakhir di lahan-lahan kosong, pinggir sungai dan berakhir di laut. Persoalan ‘kebocoran sampah’ ke laut dan daratan ini tidak akan dapat dipecahkan melalui pendekatan pengurangan volume sampah melalui PLTSa (Pasal 2 ayat (1)), karena persoalannya terletak pada sistem pengumpulan sampah dari sumber yang belum menyeluruh, dan bukan pada pendekatan pengurangan volume di hilir (end-of-pipe).   Pemecahan persoalan persampahan di kota-kota dan pencapaian tujuan pengelolaan sampah pada UU No.18/2008 dengan berinvestasi dan alokasi dana operasional jangka panjang besar-besaran di sektor hilir (end-of-pipe) adalah upaya yang sia-sia. Pemerintah dan Pemerintah Daerah seharusnya justru mempercepat amanat UU No. 18/2008 dan aturan turunannya melalui pendekatan pengurangan dan penanganan sampah berkelanjutan dan sedekat mungkin dengan sumber secara progresif dan sistematis. Di berbagai penjuru dunia, pendekatan seperti dikenal sebagai pendekatan Zero Waste (Bebas Sampah).   Seringkali, pendekatan Zero Waste dipandang membutuhkan waktu yang lama untuk dapat menunjukkan hasil yang signifikan. Pandangan ini merupakan pandangan yang salah dan keliru. Pada tanggal 5 dan 6 Maret 2018 yang lalu, telah berlangsung secara serentak Zero Waste Cities International Conference di Kota Bandung, Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung. Pada acara tersebut telah terbukti bahwa sudah cukup banyak kota di berbagai penjuru dunia yang telah berhasil menjalankan pendekatan Zero Waste. Ada banyak upaya yang realistis untuk segera dilakukan dalam mempercepat pencapaian pengelolaan sampah yang berkelanjutan dan mencegah adanya sampah di daratan dan lautan, diantaranya:

  1. Di sektor penanganan dapat segera dilakukan investasi untuk mewujudkan pengumpulan sampah secara terpilah serta pengolahan sampah organik sedekat mungkin dengan sumber. Hal ini akan mendorong terjadi daur ulang yang berpotensi mencapai pengurangan sampah sebesar 60% hingga 90%. Hal ini terbukti lebih realistis untuk diterapkan di negara-negara berkembang. Berbagai kota di negara bagian Kerala (India) telah berhasil menerapkan sistem pengumpulan sampah secara terpilah yang dipadukan dengan penerapan pengomposan di rumah secara wajib. Kota San Fernando di Filipina telah berhasil menerapkan sistem pengumpulan terpilah dan pengolahan sampah organik secara terdesentralisasi secara menyeluruh sehingga mengurangi sampah yang diangkut ke TPA sebesar lebih dari 80% hanya dalam 3 tahun. Kota San Fransisco di Amerika juga telah menunjukkan keberhasilan dalam menerapkan sistem pengumpulan terpilah dan mewajibkan rumah-rumah melakukan pengomposan. Berbagai kota Eropa juga telah berhasil mencapai pengurangan volume sampah secara signfikan. Di Indonesia, Kota Surabaya telah menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan.
  2. Kota-kota juga memiliki banyak peluang untuk melakukan pendekatan pengurangan volume sampah yang relatif mudah dan berdampak secara cepat. Kota San Fernando di Filipina dan Kota Banjarmasin telah berhasil menerapkan pelarangan kantong plastik sekali pakai secara menyeluruh di pertokoan komersial. Melalui pendekatan ini, yang telah dikombinasikan dengan daur ulang sampah secara progresif, kota San Fernando mulai berhasil mengurangi sampah yang diangkut ke TPA lebih dari 90%.

  Tidak hanya kota-kota di atas. Pada Zero Waste Cities Conference kota-kota lain seperti Bandung, Cimahi dan Kabupaten Bandung telah menunjukkan hasil yang signifikan dalam pencapaian target-target Zero Waste. Ketiga kota tersebut, melalui kerjasama dengan berbagai pihak juga telah mulai menerapkan pendekatan-pendekatan Zero Waste melalui kombinasi antara pengembangan sistem yang terpadu, regulasi, kelembagaan dan dukungan pembiayaan yang tepat. Tak kalah, Surabaya juga telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat.   Kota-kota yang telah berhasil menerapkan pendekatan Zero Waste menunjukkan bahwa mereka mampu mencapai pengurangan volume sampah yang diangkut ke TPA setara atau lebih besar dari pengurangan volume sampah dengan teknologi padat modal yang dipromosikan melalui Perpres No. 35/2018, dengan dampak yang lebih berkelanjutan dari sisi lingkungan hidup, efisien secara finansial dan berdampak positif pada berbagai sektor lain seperti lapangan kerja dan kesehatan publik. AZWI meyakini bila bantuan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah sebagaimana diamanatkan pada pasal 15 diarahkan pada pendekatan Zero Waste, maka 12 kota yang disebutkan pada Perpres No. 35/2018 ini akan dapat melakukan investasi pengelolaan sampah sesuai dengan tujuan UU No. 18/2008 secara cepat tanpa harus bergantung pada teknologi padat modal dengan berbagai potensi dampak negatif.   Aspek penanganan sampah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah meliputi kegiatan pemilahan, pengumpulan, pengolahan, pengangkutan dan pemrosesan akhir sampah.   Kota-kota yang telah menerapkan pendekatan Zero Waste (bebas sampah) secara mendasar melakukan beberapa upaya mendasar seperti:

  1. Upaya pembatasan timbulan sampah (waste minimisation) melalui:
    1. Pelarangan penggunaan dan peredaran produk dan kemasan sekali pakai maupun produk dan kemasan yang bermasalah:
      1. memfasilitasi berkembangnya produk dan kemasan yang menerapkan konsep eco-design dengan potensi jumlah sampah seminim mungkin, usia pakai sepanjang mungkin, dan mudah ditangani (diperbaiki, dipilah, diolah dan didaur ulang). Proses desain produk yang baik akan mencegah produk dan kemasan yang sulit ditangani (problematik). Adapun produk dan kemasan problematik memiliki ciri sebagai berikut:
        • Tidak mencantumkan informasi jenis material yang digunakan pada produk/kemasan
        • Bersifat multi-layer atau berlapis-lapis sehingga sulit untuk dipilah dan diolah lebih lanjut per jenis material
        • Menggunakan material yang sulit untuk didaur ulang
        • Menggunakan material yang tidak umum digunakan di pasaran (material campuran atau material lainnya)
        • Produk yang sulit untuk diperbaiki karena sulit dipisah setiap komponennya dan tidak menggunakan komponen standar yang umum ditemukan di pasar
        • Berukuran terlalu kecil (mikro) sehingga menyulitkan proses pengumpulan maupun penanganannya
      2. Menghilangkan (phasing out) penggunaan material yang mengandung bahan berbahaya dan beracun maupun limbah bahan berbahaya dan beracun dalam produksi produk dan kemasan, dengan cara:
        • Substitusi penggunaan material toksik dengan material yang aman untuk ditangani dalam proses produksi produk dan/atau kemasan;
        • Modifikasi proses produksi untuk merubah sifat toksik material bahan baku produksi menjadi material yang lebih aman untuk ditangani; dan
        • Menerapkan prinsip good housekeeping dalam proses produksi untuk mencegah tumpahan, kebocoran dan pencampuran material toksik dengan material yang tidak toksik.
      3. Melakukan riset-riset alternatif material untuk produk dan kemasan sebagai subtituen material berbasis tambang yang banyak digunakan saat ini (terutama plastik);
      4. Pembatasan timbulan sampah organik, khususnya sampah makanan:
        1. Memfasilitasi penyusunan dan penerapan kebijakan pembatasan sampah makanan khususnya pada aktivitas kota;
        2. Melakukan pengawasan sistem penanganan bahan makanan mulai dari aktivitas pertanian, perkebunan, peternakan, pemrosesan bahan baku, peredaran/distribusi bahan makanan, sampai dengan sistem perdagangan kota;
  • Mendorong seluruh elemen pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha untuk mengefisienkan porsi makan sehingga dapat menghindari sisa bahan makanan dan sisa makanan yang tidak habis terkonsumsi; dan
  1. Mendorong keterlibatan masyarakat untuk beralih dari pola hidup yang konsumptif dan menjadi konsumen yang sadar akan pentingnya pola konsumsi yang berkelanjutan.
  1. Upaya guna ulang sampah atau bagian dari sampah (reuse) melalui fasilitasi pembentukan dan pengembangan pasar produk dan kemasan guna ulang, khususnya untuk material konstruksi, pakaian, produk elektronik dan produk lainnya yang masih dapat dan layak digunakan kembali.
  2. Upaya pendauran ulang sampah (recycling):
    1. Mengutamakan daur ulang sampah anorganik menjadi material dan bukan menjadi energi dengan prioritas daur ulang:
      1. daur ulang menjadi produk dan/atau kemasan dengan fungsi yang sama dengan produk dan/kemasan sebelumnya; dan
      2. daur ulang menjadi produk dan/atau kemasan dengan fungsi yang berbeda dengan produk dan/kemasan sebelumnya.
    2. Mengembangkan riset nasional untuk daur ulang material jenis sampah anorganik yang sulit atau tidak dapat didaur ulang agar dapat didaur ulang menjadi material baru.
    3. Mendorong pemanfaatan sebanyak mungkin produk pengolahan sampah organik (kompos) dari sampah terpilah antar daerah kota. Kompos dari daerah kota besar dapat dimanfaatkan di daerah kota lainnya yang membutuhkan kompos dengan kualitas yang baik (terutama untuk kegiatan perkebunan dan pertanian)
    4. Memfasilitasi dan mendorong terbentuknya pasar material dan produk daur ulang yang berkelanjutan dan efisien..
    5. Melakukan investasi Pusat Daur Ulang khususnya untuk material anorganik.

Selain dari tiga kegiatan utama pengurangan sampah, pengelolaan sampah dalam konsep Zero Waste Cities harus juga sejalan dengan strategi pengurangan emisi gas rumah kaca, efisiensi pemakaian energi dan air.   Tidak hanya Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat juga berpeluang menerapkan berbagai kebijakan yang relatif mudah dikembangkan, dengan kemampuan politik yang kuat sebagaimana yang ingin ditunjukkan melalui Perpres No. 35/2018 ini, diantaranya:

  1. Target yang lebih mudah dicapai seperti pelarangan atau cukai sampah plastik sekali pakai (terutama kantung kresek, sedotan, popok sekali-pakai, dan styrofoam) harus menjadi perhatian utama pemerintah. Kebijakan penerapan kantong plastik berbayar terbukti menurunkan impor plastik sebagaimana terekam dalam laporan Badan Pusat Statistik. BPS mencatat, penurunan nilai impor plastik pada April 2016 turun 1,9 persen terhadap impor Maret 2016 atau Rp 11,03 juta dolar AS menjadi Rp 570,4 juta dolar AS.
  2. Penerapan Kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR) di Indonesia harus segera diterapkan sesuai dengan Pasal 14-16 PP No. 81 tahun 2012. Perusahaan harus dibatasi memproduksi produk yang tidak dapat dijadikan kompos atau didaur-ulang dan memberikan tanggung jawab kepada setiap kota untuk mengelola sampah mereka. Perusahaan-perusahaan tersebut telah mendapatkan keuntungan dari penjualan produk mereka, maka seharusnya juga mau bertanggung jawab untuk membayar insentif untuk produk yang tidak dapat didaur ulang dan merusak lingkungan.

  Pemerintah perlu mengatasi masalah sampah dengan mengutamakan alokasi anggaran untuk program pengurangan timbulan sampah, meningkatkan pemilahan dan pengolahan sampah di tiap desa. Keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan, sehingga perlu mengembangkan program edukasi masyarakat untuk mengurangi timbulan sampah dan melakukan pemilahan sampah sejak dari sumbernya. Penanganan sampah dengan WtE BUKAN SOLUSI bagi kondisi darurat sampah di Indonesia, karena hanya menangani sampah di hilir dengan tingkat bahaya yang tinggi. Lampiran V: Himbauan AZWI

  1. Pemerintah Pusat dan Daerah harus berfokus pada segala usaha untuk menjalankan mandat utama UU No. 18/2008 tentang perubahan paradigma pengelolaan sampah dengan pendekatan end-of-pipe kepada paradigma baru pengelolaan sampah yang terintegrasi dari hulu ke hilir, melalui beberapa hal berikut:
    1. Percepatan implementasi amanat peraturan perundangan di hulu perlu harus segera dijalankan oleh Pemerintah Pusat, khususnya dalam meregulasi para produsen untuk segera merancang dan menerapkan roadmap (peta jalan) pengurangan produk dan kemasan sekali pakai (terutam penerapan prinsip eco-design dalam upaya pembatasan timbulan sampah) juga mengganti material yang digunakan dengan yang mudah didaur ulang sebagai langkah transisi;
    2. Pemerintah Pusat harus segera menerapkan pajak atau cukai untuk produk dan kemasan yang sukar dan tidak dapat didaur ulang juga menerapkan mekanisme keuangan agar dana yang terkumpul digunakan untuk mendukung Pemerintah Daerah melakukan penanganan sampah (pemilahan, pengumpulan dan pengolahan secara aman) untuk jenis-jenis sampah tersebut;
    3. Pemerintah Daerah perlu memfokuskan diri terhadap penanganan sampah yang berkelanjutan, membudayakan pemilahan di sumber, mengolah sampah organik dan sampah yang berpotensi untuk didaur ulang, serta mengurangi sampah yang diangkut ke TPA setidaknya 70% pada tahun 2025; dan
    4. Pemerintah Daerah perlu bersama-sama mendorong Pemerintah Pusat untuk mengatur dan menyusun regulasi pengurangan dan penanganan sampah yang dihasilkan oleh produsen. Pendekatan pengelolaan sampah di hulu akan meningkatkan efisiensi kinerja penanganan sampah secara signifikan (terutama pengelolaan sampah secara terpilah) sehingga memberikan dampak negatif bagi aspek finansial, lingkungan dan sosial yang jauh lebih rendah.
  2. Pemerintah Daerah harap menghindari atau setidaknya menerapkan kehati-hatian tinggi terhadap proyek-proyek padat modal seperti insinerator yang dapat menjadi perangkap finansial dan dapat menimbulkan persoalan operasional serta lingkungan yang akan membebani kota dan penduduknya dalam jangka panjang.
  3. Pemerintah Daerah dan masyarakat harap berhati-hati agar daerah yang bersangkutan tidak dijadikan lokasi uji coba ‘teknologi baru’ seperti gasifikasi dan pirolisis. Kedua teknologi tersebut pada dasarnya sama-sama merupakan teknologi termal seperti insinerator. Faktanya, teknologi termal dengan segala permasalahannya akan memakan biaya lebih tinggi (relatif mahal) dan secara global belum ada proyek yang ter