Siaran Pers
Pada hari Minggu (9/6/2024), sekitar pukul 19.30 WIB, terdapat tindakan penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Kepolisian Resor Kota Banyuwangi (Polresta Banyuwangi) kepada Muhriyono, salah seorang warga Desa Pakel, Kec. Licin, Banyuwangi yang tergabung dalam Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTSP). Terhadap kejadian ini, kami berpendapat bahwa peristiwa tersebut masuk dalam kategori pelanggaran terhadap hak atas peradilan yang adil dan menabrak aturan serta standar tentang penangkapan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta masuk dalam kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat (short enforced disappearances).
Berdasarkan informasi yang kami terima, penangkapan sewenang-wenang tersebut terjadi pada saat Muhriyono sedang makan malam di kediamannya sepulang dari menggarap lahan. Kemudian, sekelompok Orang Tidak Dikenal (OTK) berpakaian preman berjumlah sekitar lima orang merangsek masuk rumah dan sebanyak sepuluh orang lainnya mengepung rumah. Belakangan baru diketahui lima belas OTK tersebut merupakan anggota kepolisian dari Polresta Banyuwangi. Selanjutnya, Muhriyono dibawa pergi meninggalkan rumah tanpa alasan kepada pihak keluarga. Karena ketidakjelasan tersebut, RTSP mendatangi dan menuntut Polresta Banyuwangi untuk memberikan informasi terkait keberadaan Muhriyono. Namun Polresta Banyuwangi bergeming dan tidak memberikan informasi apapun. Informasi keberadaan Muhriyono baru diketahui keesokannya yakni Senin (10/06/2024) dengan status terperiksa sebagai Saksi. Pada hari yang sama juga, tim hukum TeKAD GARUDA mendapatkan kabar jika status Muhriyono dinaikkan sebagai tersangka setelah ditangkap paksa.
Kami menilai tindakan yang dialami oleh Muhriyono merupakan bentuk pelanggaran hak atas prinsip peradilan yang adil (fair trial) dan menyimpang dari kaidah penangkapan yang diatur dalam KUHAP. Tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Polresta Banyuwangi jelas telah dilakukan secara sewenang-wenang, serampangan dan tidak dilakukan secara proporsional hingga telah mengingkari peraturan internal kepolisian. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi melalui UU No. 12/2005 Pasal 9, jelas telah menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang dan tidak seorang pun dapat dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh hukum. Instrumen hukum internasional HAM PBB juga telah menjamin bahwa bahwa setiap orang berhak atas kemerdekaan dan berhak untuk bebas dari penangkapan dan penahanan sewenang-wenang oleh negara.[1]
Adapun rincian analisis terkait dengan bentuk kesalahan prosedur dalam penangkapan, kami uraikan sebagai berikut. Pertama, bahwa proses penangkapan dilakukan tidak sesuai dengan prosedur hukum dan melanggar prinsip HAM karena penangkapan tidak disertai dengan surat sebagaimana telah diatur dalam Pasal 19 ayat (2) KUHAP. Selain itu, kami juga melihat bahwa dalam penangkapan Muhriyono, prosedur pemanggilan saksi telah dilangkahi bahkan dihilangkan begitu saja. Kedua, penangkapan sewenang-wenang yang dilakukan tidak sesuai dengan prinsip profesionalisme Polri sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No. 12/2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Pasal 34 ayat (2) dan Pasal 66 ayat (2), serta Peraturan Kapolri No. 07/2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 7. Ketiga, status Muhriyono hanya sebagai saksi, sehingga kami menilai polisi telah melakukan tindakan berlebihan dalam melakukan penangkapan dengan dalih pemanggilan dan pemeriksaan saksi.
Sehubungan dengan penyimpangan penangkapan yang dilakukan kepada Muhriyono, kami juga menilai bahwa tindakan tersebut masuk dalam kategori penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat (short enforced disappearances).[2] “Tidak diketahuinya keberadaan Muhriyono oleh pihak keluarga hingga satu hari berselang sejak penangkapan dan tidak adanya kejelasan tentang motif atau alasan penangkapan yang ditunjukkan oleh anggota kepolisian Polresta Banyuwangi menunjukkan adanya intensi untuk menyangkal keberadaan Muhriyono dan hak untuk mendapatkan perlindungan hukum” Ungkap Dimas Bagus Arya, Koordinator KontraS.
Kami juga melihat bahwa pemidanaan terhadap Muhriyono telah mencederai hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pemenuhan hak atas tanah sebagaimana yang telah diperjuangkan selama ini oleh warga dan RTSP. Pemidanaan tersebut kami nilai sebagai suatu bentuk pembungkaman, alih-alih langkah penyelesaian sengketa konflik agraria, yang mana juga telah menunjukkan pelanggaran terhadap instrumen hak asasi manusia, salah satunya pada pasal 28A UUD NRI 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedari awal kasus kriminalisasi bergulir, sengketa lahan antara warga desa Pakel dengan PT Bumi Sari telah lebih dahulu terjadi, sehingga seharusnya penyelesaian sengketa tersebut harus didahului dengan penyelesaian menggunakan mekanisme sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan sebelum melakukan penuntutan secara pidana.
Atas penjelasan di atas, apa yang dilakukan Muhriyono sejatinya merupakan bentuk-bentuk untuk mendapatkan pemenuhan atas hak yang selama ini diyakininya, yakni hak atas tanah dan keberlanjutan kehidupan keluarganya, sehingga kami meyakini bahwa Muhriyono sedari awal Tidak Berhak Dituntut Secara Perdata maupun Pidana, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. UU Nomor 6 Tahun 2023 yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”;
Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak agar:
Pertama, Kepala Polresta Banyuwangi untuk membebaskan Muhriyono dari tahanan dan menghukum anggota polisi yang melakukan penangkapan sewenang-wenang sebagai sebuah bentuk upaya untuk menjaga ketertiban hukum di masyarakat;
Kedua, Divisi Profesi dan Pengamanan (Divisi Propam) Markas Besar Polisi Republik Indonesia, untuk dapat melakukan pemeriksaan terhadap tindakan berlebihan yang menyimpangi aturan hukum yang dilakukan oleh anggota Polresta Banyuwangi sebagai sebuah mekanisme korektif lembaga kepolisian;
Ketiga, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) bertindak proaktif untuk melakukan pengawasan termasuk memanggil dan memeriksa anggota Kepolisian Polresta Banyuwangi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki berdasarkan Perpres Nomor 17 tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 8 ayat 1).
Jakarta, 11 Juni 2024
Koalisi Masyarakat Sipil
(Rukun Tani Sumberejo Pakel (RTPS), TeKAD GARUDA, KontraS, Walhi Nasional, Walhi Jawa Timur, YLBHI, LBH Surabaya)
Narahubung:
Wahyu Eka, Direktur Walhi Jawa Timur (+62 821-4126-5128)
[1] Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, Kelompok Kerja tentang Penahanan Sewenang-wenang, Lembar Fakta No. 26
[2] Tindakan penghilangan orang secara paksa dalam durasi singkat didefinisikan sebagai perbuatan yang mengacu pada suatu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik di mana individu ditahan secara paksa, ditahan, atau ditahan secara rahasia oleh agen negara atau individu yang bertindak atas nama negara untuk jangka waktu yang relatif singkat, biasanya kurang dari satu hari. Lihat https://www.ohchr.org/sites/default/files/documents/hrbodies/ced/cfis/short-term-disap/submission-short-term-ED-CED-WGEID-cso-wnc-en_1.pdf