Reklamasi Pantai Utara Jakarta: Proyek Ambisius Kuasa Modal Yang Dipaksakan

Jakarta, 17 Juni 2019.

Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) oleh Gubernur DKI Jakarta atas bangunan di atas lahan reklamasi adalah bukti bahwa reklamasi adalah proyek ambisius kuasa modal, dan Pemerintah DKI Jakarta terkesan tunduk pada ambisi tersebut. Mengapa kita sebut reklamasi merupakan proyek ambisius kuasa modal yang difasilitasi oleh negara, tentu tidak dapat kita lepaskan dari sejarah dan fase kebijakan yang pada perjalananya cenderung banyak kebijakan yang cenderung “dipaksakan” untuk meloloskan proyek tersebut hingga keluarnya IMB dengan dasar hukum yang juga dibuat. Dimulai dari Keputusan Presiden (Kepres) 52 tahun tahun 1995 yang muatannya adalah ekonomi (kepentingan bisnis), kemudian reklamasi “dibawa-bawa” sebagai solusi permasalahan lingkungan hidup setelah terbentur aspek lingkungan hidup, hingga kemudian terus dipaksakan proses penimbunan tanpa aturan ruang yang jelas, dan kini Gubernur DKI menerbitkan IMB dengan dasar yang juga tidak jelas. Reklamasi bukanlah program pemerintah, melainkan kepentingan investasi yang “difasilitasi” pemerintah.

Bahkan Andal Badan Pelaksana Reklamasi yang tersusun pada September tahun 2000 lalu, dalam latar belakangya menyebutkan rencana reklamasi untuk menjawab dan membuka investasi. Beban Jakarta sudahlah sangat besar, dan kita tidak memiliki kemewahan waktu untuk memulihkannya. Ada dua hal yang setidaknya perlu disikapi dengan dikeluarannya IMB di atas lahan pulau D yakni mengenai keberadaan reklamasi secara keseluruhan, dan argumentasi Gubernur terkait penerbitan IMB. WALHI Jakarta menilai argumentasi Gubernur DKI terkait pemberian IMB sangatlah tidak jelas, karena berangkat dari argumentasi kebijakan yang dipaksakan. Pertanyaannya utamanya adalah apakah Gubernur DKI dapat tidak memberikan IMB, tentunya sangat bisa. Gubernur bisa saja tidak memberikan IMB, namun lebih memilih diterbitkan dengan alasan keterlanjuran. Terlebih dengan menggunakan dasar kebijakan Pergub 206/2016 yang juga dibuat oleh untuk menutupi keterlanjuran-keterlanjuran tersebut. Pergub yang mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksana UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung juga tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena pesoalannya dasarnya terletak pada bahwa reklamasi dibangun di atas ruang yang belum jelas peraturannya. Artinya Pergub 206/2016 dikeluarkan untuk “memfasilitasi” pendirian bangunan di atas lahan reklamasi. Disi lainnya, Gubernur DKI juga beralasan mengapa IMB dikeluarkan karena pihak pengembangang karena sudah memenuhi prosedur.

Selain itu, dalam penjelasan Pasal 18 ayat (3) PP 36/2005 (pasal yang digunaan untuk membuat Pergub 206/2016) di jelaskan bahwa “dalam memberikan persetujuan mendirikan bangunan gedung, bupati/walikota, atau Gubernur untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, harus meminta pertimbangan dari tim ahli bangunan gedung..”. pertanyaan adalah apakah dalam mendirikan bangunan di atas lahan reklamasi Gubernur DKI Jakarta telah meminta pertimbangan dari tim ahli? sementara kita tahu di tahun 2018 lalu Gubernur Anis menyegel bangunan di atas lahan tersebut. Kemudian juga di tahun yang sama Gubernur mencabut penyegelan karena pengembang di anggap sudah memenuhi “kewajiban”.

Dengan demikian Gubernur seharunya dapat membatalkan atau mencabut Pergub tersebut, bukan hanya menarik draft Raperda Kawasan Strategis Pantura Jakarta. (sebagai catatan, untuk kita ketahui bersama bahwa dalam Pasal 9 huruf (a) Pergub 206/2016 “apabila Perda tentang kawasan strategis Pantura Jakarta ditetapkan, Pergub ini harus disesuaikan dengan Perda dimaksud dan segala resiko atas hal tersebut menjadi tanggung jawab pengembang Pulau C, D, danPulau E).  Namun mengapa Gubernur hanya menarik draft Raperda, yang dimana kedua peraturan ini saling berhubungan. Penting juga diketahui Pergub ini ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 2016, sementara aktivitas pembangunan dan berdirinya bangunan sudah ada sejak sebelum peraturan tersebut ditetapkan. Bagaimana mungkin Pergub yang dibuat dengan maksud dan tujuan untuk memberikan pedoman dalam persiapan dan perencanaan pengembangan di atas pulau, namun kenyataannya aktivitas pembangunan sudah berproses dan berdiri.

Untuk itu, alasan lainnya yang membuat Gubernur DKI memberikan IMB dengan alasan ketaatan dan good governance adalah mengada-ada, karena mereka sendiri yang sedang mencontohkan dan memperlihatkan perilaku tata kelola yang buruk. Karena seharunya yang dilakukan Gubernur DKI Saat ini adalah mencabut Pergub 206/2016 tersebut. Jika kesalahan dan keterlanjuran terus dibiarkan maka sesungguhnya Gubernur DKI Jakarta sedang membawa lingkungan hidup Jakarta ke arah yang semakin tidak jelas. Sama halnya dengan hilangya kawasan hijau Jakarta yang teralihfungsi menjadi kawasan komersil seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, industri, dan lain sebagainya karena pemerintah “memfasilitasi” keterlanjuran-keterlanjuran tersebut. Pemberian IMB kepada pengembang adalah kejanggalan baru rezim reklamasi saat ini, dan Gubernur saat ini tidak ada bedanya dengan Gubernur-Gubernur sebelumnya yang memaksakan reklmasi terus berjalan. Tentunya dalam persoalan di atas (dengan tidak terjebak pada persoalan IMB) reklamasi harus dihentikan, dengan merujuk kepentingan reklamasi maka keberadaannya dengan bangunan di atasnya tidak dapat dipisahkan. Sebelum ada kejelasan selanjutya mengenai reklamasi eksisting, maka Gubernur DKI harus menghentikan seluruh aktivitas, baik mendirikan bangunan di atasnya termasuk juga proses perampungan aktivitas reklamasi.

Narahubung: Direktur Eksekutif WALHI DKI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi (085693277933)