Jakarta, 22 Maret 2019 Kami para perempuan pejuang lingkungan hidup, sumber daya alam dan kehidupan dari 26 propinsi yang menghadapi berbagai macam kasus penghancuran sumber pangan, lingkungan di pesisir, laut,hutan, perkebunan, pertambangan dan masalah pencemaran air serta kekeringan. Selama satu hari bersama, kami saling berkonsultasi dan berdiskusi atas masalah yang kami hadapi serta mencoba mengidentifikasi akar masalah dan membangun rekomendasi untuk penyelesaian masalah yang kami hadapi. Kami memandang kedirian kami sebagai perempuan diabaikan. Kami kehilangan identitas sebagai perempuan ketika suami atau ayah kami mengalami kriminalisasi, dan terpaksa tidak berada di sekitar kami. Apa yang kami kerjakan setelah itu tidak cukup dihargai, dianggap sekedar tambahan pekerjaan. Padahal tekanan, ketakutan, kegelisahan, ketidak pastian yang kami hadapi secara terus-menerus ditambah tanggung jawab sebagai kepala keluarga adalah nyata. Kami berjuang karena terpicu ketika kehidupan dan penghidupan kami terganggu, ladang kami rusak, pesisir dan laut kami tercemar, karena kehadiran perusahaan yang datang tanpa permisi. Kami harus menjaga keluarga kami yang tercerai berai, anak-anak kami yang mengalami trauma dan kesulitan untuk belajar. Kami berjuang, secara terus menerus membuka dialog dengan pihak pemerintah, parlemen dan lembaga HAM, untuk mendesak penyelesaian masalah kami. Kami mendapat kekuatan dan dukungan untuk terus berjuang dari keluarga, dari kelompok juga dari keyakinan spiritualitas kami, serta organisasi masyarakat sipil dari berbagai daerah dan negara. Sampai kami mendapatkan kembali sumber kehidupan dan penghidupan kami, sampai kami mendapatkan kembali keadilan yang kami cari. Karena itu kami, menghimbau kepada pihak-pihak di luar kami, baik para pendamping, dan pemerintah, serta parlemen untuk memahami kondisi kami seutuhnya, sebagai perempuan, maupun sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat yang memiliki pengetahuan dan pengalaman merawat sumber daya alam dan lingkungan untuk keberlanjutan kehidupan. Tindakan apapun terhadap kami, haruslah menempatkan kami perempuan sebagai subjek dan pemegang hak atas hidup dan sumber kehidupannya, tidaklah boleh sepotong-sepotong/parsial, baik untuk melakukan pendidikan, pendampingan, advokasi kebijakan maupun penguatan sumber produksi ekonomi. Kami mendesak agar Negara menjamin ruang partisipasi politik yang aman dan nyaman, serta bermakna bagi perempuan di buka seluas-luasnya di setiap level pengambilan keputusan, mulai di tingkat desa hingga nasional, sehingga suara,kepentingan, dan agenda perempuan dapat terakomodasi dalam kebijakan negara. Kami juga mendoronguntuklahirnya UU Perlindungan Pembela HAM, di mana kebutuhan kami sebagai Perempuan Pembela HAM diakui, dilindungi, dihormati dan dipenuhi. Karena itu mandate Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) perlumen jadi dasar pertimbangan untuk perlindungan bagi kami, ketika UU Perlindungan Pembela HAM belum ada.--
Resolusi Temu Nasional : Perempuan Pejuang Lingkungan Hidup