Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan rencana debat calon Wakil Presiden pada 21 Januari 2024 untuk isu lingkungan hidup dengan kisi-kisi diskusi antara lain: Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, Lingkungan Hidup, Energi, Pangan, Masyarakat Adat dan Masyarakat Desa. Ide, janji dan konsep dari pasangan calon presiden dan wakil presiden terhadap isu lingkungan akan menjadi tengara terhadap arah pengelolaan lingkungan hidup ketika mereka terpilih nanti. Oleh sebab itu Walhi membuat beberapa catatan terkait topik-topik yang akan dibicarakan dalam debat kali ini.
Pembangunan Berkelanjutan, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup: Apakah Capaian-Capaian Dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s) Adalah Jawaban Problem Ekologi Kita?
"Pembangunan Berkelanjutan" pertama kali didefinisikan oleh Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui laporan berjudul "Our Common Future", pada tahun 1987. Laporan ini kemudian dikenal sebagai Laporan Komisi Brundtland. Pada 2015, PBB mengumumkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan 169 target lainnya sebagai "cetak biru untuk mencapai pembangunan yang lebih baik dan masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua orang dan bagi dunia pada tahun 2030."
Namun, sebagai sebuah kerangka kerja, pembangunan berkelanjutan yang diturunkan melalui Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) tidak cukup berhasil untuk menjadikannya bagian dari upaya penyelesaian masalah global dalam menghadapi krisis iklim dan ekologi. Secara umum kritik terhadap pembangunan berkelanjutan muncul karena pendekatan ini masih membawa pendekatan pertumbuhan ekonomi yang sama dengan ekonomi ekstraktif yang berjalan, akibatnya pembangunan berkelanjutan masih tetap menggunakan alam sebagai komoditas, yang menyebabkan over konsumsi yang melebihi daya dukung lingkungan, masih mempunyai imajinasi bahwa layanan alam bisa dipertukarkan, dan akhirnya juga memiliki ketergantungan pada teknologi/pendekatan yang diklaim menurunkan resiko industri.
Ekspansi ekonomi bukan hanya sekedar asumsi dalam model pembangunan berkelanjutan, namun bagian integral dari upaya mencapai pertumbuhannya. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG's) misalnya menyebut upaya untuk mencapai “harmoni dengan alam” dan melindungi planet ini dari kerusakan, dengan target spesifik yang tercantum dalam Tujuan 6, 12, 13, 14, dan 15, namun tujuan lainnya menyerukan kelanjutan pertumbuhan ekonomi global yang setara dengan 3% per tahun, sebagaimana diuraikan dalam Tujuan 8, sebagai metode untuk mencapai tujuan pembangunan manusia. SDGs berasumsi bahwa peningkatan efisiensi akan berhasil dalam mendamaikan ketegangan antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan ekologi.
Asumsi model pembangunan berkelanjutan ini masih membawa model ekonomi pertumbuhan dimana pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi dianggap penting untuk mencapai tujuan pembangunan manusia dalam bidang kemiskinan, kelaparan, dan kesehatan. Meskipun gagasan ini terbantahkan oleh studi empiris; bahwa kesenjangan dalam pendapatan, kepemilikan, status, dan hak hanya akan menyeret masyarakat pada jurang kemiskinan. Karena pada akhirnya menjadi jelas bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berarti pemerataan dan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tidak terkendali mempunyai beberapa konsekuensi sosial yang merugikan. Kesenjangan antara kaya dan miskin terus melebar: laporan terkini menunjukkan bahwa satu persen kelompok terkaya dunia menguasai hampir dua pertiga dari seluruh kekayaan global. Dalam tiga tahun terakhir telah terjadi lonjakan kekayaan ekstrem yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan para miliarder kini menjadi lebih kaya sebesar $3,3 triliun dibandingkan tahun 2020, dan tumbuh tiga kali lebih cepat dibandingkan laju inflasi. Sementara meskipun hanya mewakili 21% populasi global, negara-negara kaya di wilayah Utara Utara menguasai 69% kekayaan global dan menampung 74% kekayaan miliarder dunia.
Fokus pada pertumbuhan ekonomi juga memiliki kelemahan karena mengandalkan keyakinan bahwa perubahan teknologi dan efisiensi sumber daya memungkinkan industri mampu melanjutkan upaya pertumbuhan ekonomi tanpa menghabiskan sumber daya alam, menghancurkan keanekaragaman hayati, dan melepas emisi karbon berlebih. Sebaliknya, data riset University of London yang terbit pada 2019 lalu, menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi dalam kerangka kerja SDGs tidak sesuai dengan tujuan keberlanjutannya sendiri untuk mengurangi penggunaan sumber daya global dan menurunkan emisi karbon dengan cukup cepat agar tetap berada dalam anggaran karbon dan membatasi pemanasan global pada 2°C.
Strategi pembangunan berkelanjutan juga memiliki masalah karena keyakinan yang dimilikinya kepada pendekatan penggunaan teknologi yang dianggap mampu mengatasi problem efisiensi produksi maupun dampak-dampak produksi ekonominya. Upaya dekarbonisasi misalnya, yang juga menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan, yang sekarang menaruh titik tekannya pada pengembangan baterai dan teknologi penyimpanan terbaru yang justru akan memberi beban lebih besar dalam bentuk ekstraksi mineral kritis seperti litium, grafit, nikel, kobalt dan logam tanah jarang. Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan dengan tren yang terjadi sekarang, pada tahun 2040 nanti kebutuhan mineral-mineral kritis ini akan meningkat hingga sebesar 4200%. Dampak dari kebutuhan penyediaan pasokan sebesar itu akan sangat besar, termasuk pengambilalihan lahan-lahan milik masyarakat adat dan komunitas lokal serta limbah beracun dan radioaktif yang dihasilkan dari proses penambangan dan pemurnian. Di Indonesia ekstraksi pertambangan mineral seperti nikel juga menyebabkan berbagai kerusakan. Dalam 20 tahun terakhir deforestasi terkait pertambangan nikel mencapai 25.000 hektar dan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan saat ini mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2 dari deforestasi yang akan terjadi.
Paradoks pertumbuhan tanpa batas di planet yang terbatas telah berulang kali ditekankan. Namun solusi tentangnya sebagaimana diwujudkan dalam model pembangunan keberlanjutan (atau pendekatan lain seperti ekonomi hijau) masih sering dibingkai dan dipahami melalui paradigma pertumbuhan. Kebuntuan ini menawarkan peluang unik untuk memikirkan kembali penataan ulang struktur yang lebih besar. Kebutuhan akan transformasi struktural yang mendalam pun telah dimunculkan untuk mendorong pengurangan degradasi lingkungan; redistribusi pendapatan dan kekayaan secara lokal dan global; promosi transisi sosial dari ekonomi ekstraktif ke budaya partisipatif.
Di Walhi ide ini dibungkus dalam Ekonomi Nusantara, lawan dari model ekonomi ekstraktif yang bersandar pada pertumbuhan tak terbatas yang terbukti menjadi penyebab krisis akut hari ini. Ekonomi Nusantara berusaha memastikan bahwa pengelolaannya tidak merampas tanah (penguasaan langsung oleh rakyat); tidak menghisap tenaga rakyat (pengelolaan langsung oleh rakyat); tidak akumulatif (tidak berorientasi pada akumulasi modal sehingga cenderung tidak mengacu pada model ekonomi pertumbuhan); Tidak berwatak ekstraktif (bersifat regeneratif, dari putaran regenerasi alam); Peningkatan produksi bersifat vertikal. Konsep ini diambil dari praktik ekonomi lokal yang masih eksis di berbagai wilayah Indonesia. Kerangka konsep ini tentu saja harus mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Hubungan ketiganya dialektis—saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Potret ini sekaligus membuktikan bahwa kesejahteraan tidak melulu perkara ekonomi. Masih ada aspek lain seperti sosial dan lingkungan. Ketiga hal itulah yang menentukan kebahagiaan dan kesejahteraan.
Ekonomi Pertumbuhan menjadikan laut dan masyarakat semakin Sekarat
Sebagaimana kita ketahui, lautan merupakan entitas penting karena keberadaannya lebih dari sepertiga planet bumi. Lautan menjadi sumber pangan bagi lebih dari 7 miliar manusia sekaligus menjadi sumber oksigen terbesar. Namun, sampai saat ini akibat ambisi ekonomi pertumbuhan, lautan dunia terus mengalami eksploitasi dalam skala yang sangat besar.
Di dalam buku Ekonomi Pancasila Antitesis Ekonomi Biru: Sebuah Kajian Ekonomi Politik (Karim dan Ridwanuddin, 2024) disebutkan bahwa di tingkat global, ketidakadilan pembangunan kelautan ini dipicu oleh kuatnya hegemoni kapitalisme global yang menguasai bisnis komoditas perikanan dan ekonomi kelautan. Dampaknya aktivitas perikanan skala kecil dan atau tradisional terpinggirkan, teralienasi hingga menghilangkan hak akses dan kelolanya atas sumberdaya kelautan. Buktinya sebagai berikut: Pertama, industri inti ekonomi kelautan yaitu minyak dan gas lepas pantai, peralatan dan konstruksi kelautan, seafood, pengiriman kontainer, pembuat dan perbaikan kapal, wisata kapal pesiar, aktivitas kepelabuhanan dan energi angin lepas dikendalikan 10 perusahaan multinasional dengan total pendapatan rata-rata per tahun US$ 1,1 triliun (45%). Kedua, 13 perusahaan transnasional dunia mengendalikan bisnis seafood dari Norwegia (4), Jepang (3), Thailand (2), Hongkong, Spanyol, dan Amerika Serikat masing-masing 1 (satu) perusahaan. Mereka mengendalikan 11-16% hasil tangkapan laut dunia setara 9-13 juta ton dan meraup pendapatan setara 18 persen dari total nilai produksi seafood global tahun 2012 senilai US$252 miliar dan melonjak US$276 miliar 2018. Ketiga, 10 korporasi besar China, Korea Selatan, Amerika Serikat dan China Taipei (Taiwan) menguasai penangkapan ikan di laut lepas termasuk di ZEE secara global dan mengoperasikan 96% alat tangkapnya trawl dan 65% rawai. Semua fakta ini sama sekali tak mengakomodasi kepentingan perikanan skala kecil bahkan mematikannya.
Kuatnya cengkraman kapitalisme global dalam sektor kelautan dan perikanan tersebut memicu ketidakadilan di laut dan berujung pada tragedi komoditas (tragedy of commodities) perikanan. Imbasnya, memperparah deplesi sumberdaya ikan, kemiskinan, pelanggaran HAM dan peminggiran perempuan nelayan.
Di bawah rezim ekonomi pertumbuhan, laut diperlakukan sebagai ruang terbuka untuk berkompetisi antara pelaku skala besar dengan nelayan skala kecil atau yang disebut sebagai mare liberum. Dalam situasi ini terjadi apa yang dinamakan dengan ocean grabbing.
Istilah ocean grabbing atau perampasan ruang laut, digunakan untuk menyoroti proses dan dinamika penting yang berdampak negatif terhadap keberlanjutan sumber daya laut, sekaligus keberlanjutan hidup masyarakat yang cara hidup dan identitas budaya serta mata pencahariannya bergantung pada penangkapan ikan skala kecil.
Aktor utama ocean grabbing adalah pemerintah, lembaga di tingkat regional dan atau internasional, organisasi lingkungan internasional, perusahaan skala besar, dan yayasan filantropi. Beragam lembaga ini merupakan aktor utama yang mendorong reformasi dan kebijakan berbasis pasar yang pada akhirnya memungkinkan terjadinya perampasan laut. pada titik ini, pemerintah dapat disebut sebagai aktor atau perantara utama yang mengalokasikan bagaimana, untuk tujuan apa, dan oleh siapa, wilayah laut maupun lahan dapat digunakan. Dalam praktiknya, proses ini terkadang menggunakan pemaksaan melalui lembaga keamanan untuk menegakkan kepatuhan.
Ocean Grabbing terjadi melalui proses tata kelola yang tidak tepat dengan menggunakan tindakan yang merusak mata pencaharian masyarakat atau menghasilkan dampak yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis. Perampasan laut dapat dilakukan oleh lembaga publik atau kepentingan pribadi.
Dalam definisi tersebut, di atas terdapat tiga komponen utama ocean grabbing, yaitu: pertama, perampasan kontrol dan akses masyarakat terhadap sumber daya pesisir dan laut yang menjadi hak masyarakat; kedua, dilakukan melalui proses tata kelola yang tidak tepat yang merusak kesejahteraan sosial-ekologis masyarakat; dan ketiga dilakukan oleh lembaga publik, kepentingan pribadi, atau entitas bisnis.
Di Indonesia, ketidakadilan di sektor kelautan dan perikanan yang diakibatkan oleh ambisi ekonomi pertumbuhan dapat terlihat dalam pengaturan tata ruang laut. Studi Walhi terhadap 28 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di 28 provinsi menunjukkan bahwa pemerintah hanya mengalokasikan ruang permukiman nelayan dan ekosistem mangrove seluas 53,712,81 hektar. Alokasi ini sangat tidak adil jika dibandingkan dengan peruntukkan bagi proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut yang luasnya mencapai 3,590,883,22 hektar. (Ridwanuddin dan Saragih, 2023)
Pada penghujung Desember tahun 2023 lalu, WALHI bersama masyarakat dan perempuan pesisir dari 12 provinsi (Kepulauan Riau, Riau, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, dan Maluku Utara) melakukan inventarisasi terhadap kebijakan presiden Jokowi Widodo selama sepuluh tahun berkuasa. Dari Inventarisasi itu, ditemukan sejumlah hal sebagai berikut:
- Tak adanya peraturan perundangan yang mengakui wilayah tangkap nelayan tradisional sebagai wilayah kelola rakyat. Sampai sekarang, setelah lebih dari 75 tahun merdeka, tidak memiliki wilayah tangkap yang khusus dikelola oleh nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional. Akibatnya, kami harus bersaing dengan berbagai aktor skala besar di lautan, terutama kapal-kapal besar yang terus mengeksploitasi sumber daya pesisir dan laut Indonesia. Bahkan, tak jarang kapal-kapal besar mencemari lautan, khususnya wilayah tangkap nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional
- Di wilayah daratnya, ruang hidup masyarakat dan perempuan pesisir harus berhadapan dengan berbagai proyek pembangunan yang mengancam akan menggusur kampung-kampung nelayan dan perempuan nelayan. Berbagai proyek atas nama Proyek Strategis Nasional (PSN) terus dikebut dari Sumatera sampai Papua. Proyek Strategis Nasional yang di Kepulauan Riau, khususnya di Pulang Rempang yang menggusur Masyarakat; Proyek Strategis Nasional di Maluku Utara, khususnya hilirisasi nikel telah terbukti memporakporandakan pulau-pulau kecil; proyek strategis nasional di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, juga terbukti melanggengkan kemiskinan masyarakat dan perempuan pesisir; dan Proyek Pembangunan tol tanggul laut Semarang-Demak di Jawa Tengah yang menghancurkan kawasan mangrove. Keempat contoh tersebut menggambarkan betapa pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah terbukti mengancam kelangsungan masyarakat dan Perempuan pesisir untuk mengelola sumber daya pesisir dan laut.
- Sampai dengan hari ini, Pemerintah telah mengeluarkan regulasi yang semakin memperlemah keberadaan kami. Di antara regulasi yang dapat kami sebut adalah UU Cipta Kerja, UU Minerba, UU IKN, PP Penangkapan Ikan Terukur, dan juga PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut. Semuanya bermuara pada pemusnahan kami sebagai masyarakat dan perempuan pesisir.
- Pada saat yang sama, kami harus berhadapan dengan dampak buruk krisis iklim yang mempercepat kepunahan kami. Krisis iklim telah menyebabkan banyak nelayan di Indonesia meninggal dunia di laut karena cuaca yang sangat ekstrim. Pada tahun 2010 jumlah nelayan yang meninggal di laut tercatat sebanyak 87 orang. Lalu, Pada tahun 2020, jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 250 orang.
- Krisis Iklim juga menyebabkan banyak desa-desa pesisir tenggelam di banyak tempat. Di pantai barat Sumatera dan di Pantai Utara Jawa, khususnya Jakarta dan Jawa Tengah, puluhan orang menjadi pengungsi iklim karena desanya tenggelam. Namun, sampai saat ini pemerintah tidak mengambil Langkah apapun untuk menangani persoalan ini.
- Tak hanya itu, krisis iklim juga telah menyebabkan banyak pulau kecil tenggelam. Di Pulau Pari, lebih dari 11 persen pulaunya telah tenggelam. Inilah yang mendorong Masyarakat di Pulau Pari mengambil Langkah gugatan iklim.
- Krisis iklim juga telah membuat nelayan semakin miskin. Lebih dari 70 persen pendapatan kami menurun drastis karena laut semakin tidak bersahabat. Jika sebelumnya kami bisa mendapatkan hasil tangkapan minimal 200 kilogram, saat ini akibat krisis iklim mendapatkan 5 kilogram saja sudah sangat sulit. Jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa (data September 2022 adalah 26,16 juta jiwa), kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.
- Krisis iklim juga telah membuat Perempuan pesisir, khususnya Perempuan nelayan semakin memiliki beban yang semakin berlipat ganda. Perempuan pesisir harus terus berjuang untuk memenuhi perekonomian keluarga dalam situasi yang semakin krisis.
- Akibat dampak buruk krisis iklim, pada tahun 2030, hampir satu juta nelayan di Indonesia diprediksi akan hilang. Ini merupakan angka kehilangan yang sangat besar bagi negara kepulauan terbesar seperti Indonesia.
Beragam penjelasan ini membuktikan bahwa ekonomi pertumbuhan yang menjadi dasar dari pembangunan berkelanjutan terbukti menjadikan lautan dan masyarakat pesisir yang hidup di dekatnya semakin sekarat akibat akumulasi krisis yang dilanggengkan.
Energi dan Pangan: Energetika Rakyat Melampaui Produksi Listrik dan Bahan Bakar
Sistem energi yang dikembangkan di Indonesia adalah buah dari kolonialisme dari sistem ekonomi pasar yang tengah berjalan. Energi seringkali hanya dipandang sebagai upaya penyediaan daya dari pemanfaatan sumber-sumber fisik atau kimia (utamanya bahan bakar fosil) untuk menghasilkan listrik dan atau untuk menggerakkan mesin. Pandangan ini menjauhkan keseluruhan urusan energetika bagi regenerasi sosial-ekologis, dan berakhir hanya pada urusan kecukupan sumber tenaga untuk kesinambungan industrialisasi.
Penyempitan energi hanya untuk kepentingan industrialisasi dapat ditelusur pada kemunculan wacana “produktivitas” dan “efisiensi”, ketika mesin industri benar-benar hadir dalam bentuk yang modern. Sebelumnya, cara klasik untuk meningkatkan surplus pada industri adalah dengan memperpanjang hari kerja. Namun seiring dengan adanya bentuk-bentuk penolakan baru terhadap perpanjangan jam kerja, muncullah tekanan untuk mengintensifkan jam kerja karena tidaklah mungkin lagi untuk memaksakan peningkatan keuntungan dengan terus memaksa buruh memperpanjang hari kerja hingga melampaui batasnya. Upaya untuk mendapatkan nilai lebih kini melibatkan entitas baru di sektor ini—energi—yang kehadirannya mengubah segalanya. Sungai, hutan, dan materi yang terpendam dalam tanah, seperti batubara, minyak dan gas kini menjadi energi—yang bukan hanya sekedar sebuah sumber daya yang tunggal, terpadu, abstrak, dan pada akhirnya diubah menjadi sebuah komoditas, namun yang lebih mendasar lagi hanyalah sebuah “alat” baru yang dihasilkan dari serangkaian metode dan rentang waktu yang berbeda.
Penghambaan energi kepada industrialisme kemudian justru berakhir menghancurkan sumber-sumber energetika utama dari masyarakat kebanyakan: lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta kedaulatan sumber-sumber pangan. Ekstraktivisme yang mengawal pemenuhan kebutuhan energi bagi industri, membongkar wilayah-wilayah kelola rakyat, pertama-tama untuk kebutuhan hulu sumber energi dalam bentuk pertambangan batubara, minyak dan gas, lalu kemudian menghancurkan wilayah kelola rakyat lainnya, saat batubara, minyak dan gas diubah menjadi listrik dan bahan bakar melalui pembangkit-pembangkit yang ada di sekitar pemukiman dan wilayah-wilayah produktif rakyat.
Selama dua puluh tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia, misalnya, telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi. Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar kesembilan di dunia. Hampir 5 juta hektar lahan telah diubah menjadi kawasan pertambangan batu bara, dengan setidaknya hampir 2 juta hektarnya berada di kawasan hutan, dan tren perusakan ini tidak akan segera menurun karena Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sendiri terus mendorong peningkatan produksi batubara di Indonesia dari tahun ke tahun (2021: 609 juta ton; 2022: 618 juta ton; 2023: 625 juta ton; 2024: 628 juta ton). Laporan JATAM pada 2017 lalu menyebut konsesi pertambangan batubara juga mencakup 19 persen dari areal persawahan yang ada dan 23 persen lahan yang tersedia untuk budidaya padi baru. Hingga 15 persen kawasan yang diperuntukkan bagi budidaya perkebunan juga berisiko dibuka dan ditambang untuk produksi batubara. Lahan yang diperuntukkan bagi pertambangan batubara diperkirakan mencakup hampir 10 persen dari luas wilayah Indonesia, dan 80 persen diantaranya diperuntukkan bagi eksplorasi, sehingga menimbulkan risiko terbesar bagi ketahanan pangan di masa mendatang. Pada 29 Mei 2006, upaya ekstraksi gas di Porong, Sidoarjo berubah menjadi sebuah katastropi industri, ketika lumpur panas Lapindo menghancurkan wilayah lebih dari 1.000 hektar, menenggelamkan 12 wilayah desa, dengan lebih dari 100.000 orang kehilangan tempat tinggal, lahan pertanian dan tambak.
Energi Sebagai Hak, Bukan Komoditas
Hak atas akses energi universal adalah prinsip yang mendasari keberlanjutan dan martabat hidup manusia. Seluruh pembangkitan energi dihasilkan dari alam, dan sebagai sumber daya bersama, energi tidak boleh dijajah oleh kepentingan korporasi. Sistem energi harus diletakkan di fondasi pemenuhan kebutuhan masyarakat, bukan pada akumulasi kapital. Energi bukan sekadar komoditas; ia adalah "common goods" yang melampaui nilai moneter. Energi memajukan hidup, martabat, dan aspirasi sebagian besar masyarakat.
Akses terhadap energi seharusnya bukanlah kemewahan yang hanya bisa dirasakan oleh sebagian orang, tetapi hak asasi, karena dia memungkinkan produksi pangan, tempat tinggal layak di berbagai iklim, layanan esensial seperti kesehatan dan pendidikan, serta konektivitas. Namun, Badan Energi Internasional melaporkan sekitar 760 juta orang masih tidak memiliki akses terhadap listrik. Lebih banyak yang lain memiliki akses yang tidak konsisten atau berkualitas rendah. Kemiskinan energi dapat memicu masalah utama kemiskinan yang lain seperti perawatan kesehatan yang kurang memadai, peluang pendidikan yang terbatas, dan lapangan pekerjaan yang minim.
Dalam mencapai keselarasan antara hak atas energi dan keberlanjutan, akses terhadap energi harus dijalankan dengan menghormati martabat semua individu. Hal ini harus melibatkan juga upaya untuk mengakhiri pemborosan energi melalui efisiensi dan penghematan, serta membatasi konsumsi berlebihan oleh korporasi dan elit. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB mengenai energi menargetkan akses universal yang terjangkau, andal, dan modern pada 2030, namun, kita perlu melihat lebih dalam apa yang dimaksud dengan "akses universal" ini. Jika yang dimaksud hanyalah upaya penyediaan bola lampu untuk rumah tangga termiskin, sementara di sisi lain terus mengizinkan korporasi dan elit global untuk mengkonsumsi sampai pada titik berlebihan dan berbahaya, ini tentu saja bukanlah cara yang adil dalam penyediaan energi. Kita tidak bisa menerima ketidakadilan akses energi seperti ini.
Mengganti sumber energi kotor yang dikendalikan oleh pemodal dengan sumber energi 'berkelanjutan' yang melayani kepentingan pencarian keuntungan yang sama juga bukanlah hal yang ingin kita tuju. Sebagaimana yang telah kita baca sebelumnya, solusi palsu semacam ini hanya akan melanjutkan eksploitasi alam dan finansialisasi layanan alam. Energi harus dilihat sebagai kebaikan bersama, bukan hanya untuk investasi oligarki dan elit pemerintahan. Biaya lingkungan dan sosial yang akan timbul dari semua bentuk pembangkitan energi menjadi hal yang perlu untuk dipahami seluruh orang dalam lingkungan dan wilayahnya. Bahan bakar fosil jelas merusak iklim dan pengaruh lobi dari para pelakunya merusak demokrasi kita, tapi energi terbarukan juga tetap memiliki dampak sendiri, seperti pada perubahan bentang ekosistem dan ketergantungan terhadap penambangan mineral dan logam.
Menyeimbangkan tuntutan hak atas energi dan mengejar sistem energi yang berkelanjutan membutuhkan pertimbangan dan kerja sama yang cermat. Karena itu, masyarakat terdampak harus memiliki suara dalam menentukan dampak yang dapat diterima dan dikendalikan dalam sistem pembangkitan energi, dan dengan semangat yang sama memiliki kuasa untuk menolak sistem energi yang mengancam keselamatan lingkungan dan hidup mereka, apapun jenis sumber energinya.
Saat ini elit pemerintah, korporasi dan oligarki sedang membonceng transisi energi dan menawarkan energi nuklir, bendungan skala besar, dan bioenergi industri sebagai bagian dari ‘energi terbarukan,’ bahkan sejumlah proyek yang nampak ‘bersih” seperti tenaga surya atau angin, terkadang dibangun di atas tanah yang dirampas atau dicuri dari komunitas lokal dan masyarakat adat. Beberapa model peralihan menuju energi terbarukan harus bisa mempertimbangkan dampak negatif seperti deforestasi, degradasi bentang alam, serta polusi udara, tanah, atau air yang dapat muncul dari proyek berskala besar.
Konsep 100% energi terbarukan secara universal menuntut akses energi memadai bagi semua, yang berdampak positif pada kesehatan masyarakat dan kebersihan lingkungan. Namun, tuntutan ini tidak boleh berdiri sendiri; ia harus diiringi oleh transisi yang adil, pemenuhan kebutuhan energi yang cukup, kedaulatan energi, dan demokrasi energi. Untuk memenuhi tuntutan ini upayanya harus mempertimbangkan pemerataan dan akses terhadap sumber daya dan teknologi pembangkitan energi.
Pilihan terbaik yang harus diupayakan dalam membangun energi terbarukan adalah dalam skala lokal, terdesentralisasi, dan bisa diadopsi dengan mudah. Komunitas warga harus menjadi garda depan dalam pengelolaan energi, untuk itu akses terhadap teknologi, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan dalam pengelolaannya harus bisa didapatkan oleh mereka. Pembangunan pembangkit energi terbarukan dalam skala kecil akan membawa dampak signifikan dalam memastikan akses universal terhadap energi. Sistem energi harus didesain untuk melindungi keanekaragaman hayati, mengokohkan hak atas tanah bagi masyarakat lokal dan adat, serta tidak menciptakan eksploitasi dalam rantai produksi.
Saat ini, mayoritas energi dihasilkan melalui pembangkit listrik skala besar yang terpusat, lalu didistribusikan melalui jaringan listrik nasional. Pendekatan ini memiliki berbagai masalah. Pertama, metode ini sangat boros dalam mendistribusikan energi, karena banyak energi yang terbuang karena sebagian energi listrik berubah jadi panas dalam perjalanan dari tempat energi ini dihasilkan menuju tempat penggunaan akhir. Kedua, energi dari pembangkit semacam itu jarang memberikan manfaat yang signifikan bagi masyarakat di sekitarnya, khususnya di daerah pedesaan, karena energi cenderung dialirkan ke industri besar dan kota-kota besar, di mana pemodal dan kelompok elit menjadi penerima manfaat utama. Ketiga, bahkan pembangunan infrastruktur energi terbarukan berskala besar bisa menyebabkan deforestasi, mengganggu ekosistem serta keanekaragaman hayati lokal, dan pengambilalihan lahan milik masyarakat.
Oleh karena itu, diperlukan teknologi yang efisien dan dapat memenuhi kebutuhan, yang dikontrol secara demokratis oleh masyarakat, komunitas dan pemerintahan dalam unit lebih kecil. Pembangkitan energi berskala kecil dan teknologi yang relevan secara lokal diupayakan terutama dengan mempertimbangkan sistem yang memiliki modularitas yang memungkinkan peningkatan kapasitas secara bertahap seiring dengan peningkatan kemampuan masyarakat untuk menambah energi berdasarkan kecukupan energi yang mereka butuhkan.
Sesat fikir Offset Dalam Solusi Berbasis Alam
Offset/penyeimbangan adalah kolonialisasi pikiran yang coba dibangun oleh para pencemar, baik negara-negara industri maju, korporasi ataupun lembaga kapital keuangan global. Offset atau penyeimbangan muncul dari ide bahwa, pelepasan emisi atau penghancuran di satu landscape kehidupan dapat diseimbangkan dengan perbaikan di tempat lain, guna memastikan proses pelepasan emisi dan penghancuran tersebut tetap beroperasi.
offset/penyeimbangan menjadi roh dari praktik perdagangan karbon, biodiversity offset dan solusi berbasis alam lainnya. Skema offset merupakan izin yang diberikan untuk tetap mencemari, merusak, dan melepas emisi dengan menjaga stok karbon di tempat lain. Penyeimbangan karbon ini akan terus memperpanjang usia industri berbahan bakar fosil secara khusus dan industri ekstraktif lainnya secara umum.
Perdagangan karbon tumbuh dari asumsi dasar yang salah, bahwa krisis iklim berasal dari karbon yang sama. Asumsi ini mengklaim bahwa emisi GRK dari sumber yang berbeda seperti pembongkaran lahan/hutan skala besar untuk monokultur sawit, logging dan kebun kayu, pabrik semen, pertambangan batu bara dan nikel, pembangkitan listrik, transportasi, bahkan pembukaan lahan atau pembakaran lahan secara tradisional oleh masyarakat adat dan komunitas local, memiliki dampak yang sama terhadap iklim, sehingga kerusakan yang disebabkan oleh emisi dari satu sumber dapat dikompensasi dengan mengurangi emisi dari sumber yang lain. Asumsi yang salah ini juga yang dijadikan alasan kenapa proyek-proyek konservasi harus diserahkan kepada perusahaan-perusahaan, dan mengabaikan peran serta kemampuan masyarakat adat dan komunitas lokal yang selama ini menjaga hutan. Bahkan parahnya lagi, perdagangan sengaja mengubah relasi antara masyarakat adat dan komunitas lokal dan ekosistem hutannya hanya sebatas relasi ekonomi. Padahal relasi antara masyarakat adat dan komunitas lokal lebih dari itu.
Konsesi-konsesi karbon yang diperuntukkan untuk menghasilkan dan menjual kredit karbon di pasar karbon terbukti telah menggusur rakyat dari ruang hidupnya serta wilayah kelolanya. Bukan hanya itu, percakapan perdagangan karbon yang dipromosikan negara serta pihak-pihak yang mendukung perdagangan karbon, membingungkan masyarakat adat dan komunitas lokal di kampung-kampung. Narasi perlindungan yang dibangun serta janji kompensasi yang diberikan atas tindakan menjaga hutan, mengalihkan fakta-fakta penghancuran, kekerasan, perampasan di seluruh wilayah yang dieksploitasi, merupakan tanggung jawab pengurus negara serta korporasi-korporasi pemegang izin industri ekstraktif.
Situasi ini juga merupakan kolonialisasi lanjutan atas pengetahuan serta pengalaman hidup masyarakat adat dan komunitas lokal. Dimana alam sebagai ibu bersama bagi masyarakat adat dan komunitas lokal, sedemikian rupa di komodifikasi serta diprivatisasi menjadi unit untuk dijual di pasar keuangan.
Proyek Katingan di Kalimantan Tengah adalah salah satu proyek REDD terbesar di dunia. PT Rimba Makmur Utama (PT RMU) sejak 2013 mendapatkan Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) seluas 100.000 hektar untuk Proyek Restorasi dan Konservasi Gambut Katingan atau proyek REDD+. Kemudian PT RMU Kembali mendapatkan Kembali seluas 500.000 hektar untuk izin yang sama.
Proyek Katingan adalah kemitraan antara PT Rimba Makmur Utama, Wetlands International, Puter Foundation, dan Permian Global. Kredit karbon dari proyek ini dikeluarkan pada Mei 2017. Kredit kedua pada April 2019, dan Shell membeli kredit karbon dari proyek Katingan. Shell mengumumkan bahwa mereka akan menghabiskan US$300 juta untuk solusi iklim alami untuk mengimbangi emisi dari orang-orang yang menggunakan bensin dan solar Shell di Belanda. Pada September 2019, Volkswagen juga mengatakan bahwa mereka akan membeli offset karbon dari proyek Katingan.
Untuk dapat terus melepas emisi dan menambah penumpukan emisi berabad-abad di atmosfer, Shell dan Volkswagen juga menjadi bagian dari kelompok yang merampas tanah milik masyarakat adat Dayak Misik. Konflik atas tanah di area proyek sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu. Pada tahun 2014, gubernur Kalimantan Tengah sepakat bahwa setiap keluarga Dayak akan diizinkan lima hektar lahan untuk diolah. Tetapi lokasi pasti tanah itu tidak disepakati. Setidaknya ada sekitar 40.000 orang yang tinggal di 34 desa di sekitar area proyek Katingan. Tidak hanya merampas tanah masyarakat, proyek karbon Katingan yang juga merupakan REDD ini faktanya masih juga ditemukan titik api kebakaran hutan dan lahan di areal konsesinya.
Proyek penggusuran lainnya adalah proyek REDD+ PT Restorasi Ekosistem Indonesia (PT REKI) di Jambi. Proyek yang lebih dikenal dengan “Hutan Harapan” ini mendapatkan izin Restorasi Ekosistem melalui SK Menhut No 327/Menhut-II/2010 25 Mei 2010 mengenai IUPHHK Restorasi Ekosistem Hutan seluas 46.385 hektar. Alih-alih menghentikan deforestasi dan degradasi, justru proyek REDD+ ini mengalami kerusakan sebab aktivitas pembuatan jalan angkut tambang batu bara sepanjang 26 kilometer dengan lebar 60 meter. Akibatnya proyek ini sebanyak 1300 flora dan 620 fauna dari ekosistem hutan di Hutan Harapan terancam kepunahan. Selain itu, kayu hutan sekunder yang nilainya lebih dari Rp 400 miliar juga hilang.
Proyek perdagangan karbon ini juga telah berkali-kali melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat. Pada 5 November 2010, petugas keamanan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki)—pengelola proyek percontohan REDD+ di Jambi—menangkap empat warga Dusun Tiga, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari. Kedua, 23 Juli 2012, dua anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) ditangkap di halaman kantor Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari. Mereka ditangkap ketika menghadiri undangan Dinas Kehutanan Pemkab. Batanghari Jambi dalam rangka pembahasan rencana inventarisasi lahan masyarakat di wilayah bukit sinyal yang berkonflik dengan PT REKI. Ketiga, penangkapan terhadap anggota SPI sebanyak 13 orang pada tanggal 18 Oktober 2012 oleh tim gabungan Satuan Polisi hutan Reaksi Cepat (SPORC), Brimob, dan pihak keamanan PT REKI.
Beberapa Proyek perdagangan karbon lainnya adalah Proyek Lahan Gambut Sumatra Merang di Sumatera Selatan yang merupakan Proyek unggulan Forest Carbon dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. Bahkan, kemitraan Forest Carbon dengan Saratoga akan mengekspansi hutan di Kalimantan dan Papua, serta di seluruh Asia Tenggara. Tentunya proyek karbon Saratoga akan menikmati banyak keuntungan, bukan hanya keuntungan finansial dari penjualan kredit karbon, tetapi juga dapat memperpanjang pelepasan emisi dari ekstraksi pertambangan dan perkebunan sawit monokultur skala besar dengan skema penyeimbangan atau offset.
Rantai konflik juga akan semakin Panjang sebab, konsekuensi dari pemberian konsesi karbon seluas 22.922 hektar di Lahan Gambut Sumatra Merang di Sumatera Selatan tentunya akan menyingkirkan masyarakat yang hidup di wilayah tersebut, serta melanggengkan konflik di wilayah-wilayah ekstraksi pertambangan dan perkebunan sawit milik PT Saratoga yang akan dicuci dengan narasi “perlindungan” di tempat lain.
Saat ini saja ada sebanyak 16 izin konsesi restorasi ekosistem dengan luasan 624.012 hektar. Bahkan, dengan rezim izin kehutanan yang multidimensi hari ini, korporasi hanya perlu mengurus satu jenis izin kehutanan, untuk dapat melakukan melakukan beberapa jenis aktivitas eksploitasi. Misalnya saja, satu perusahaan pemegang izin Perizinan Berusaha Pengusahaan Hutan-Hutan Tanaman (PBPH-HT) mereka dapat melakukan aktivitas pengambilan hutan alam, penanaman kebun kayu (baik HTI atau THE), dan berdagang karbon, secara bersamaan, hanya dengan menyatakan apa saja aktivitas mereka tersebut dalam rencana kerja tahunan.
Proyek perdagangan karbon yang dilakukan oleh Melchor Grup di Maluku, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Merauke secara implementatif dilakukan dengan memanfaatkan rezim izin multiusaha. Dimana Melchor group menandatangani Kerjasama dengan PT Talisan Emas sebagai pemegang IUPHHK-HA (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam) atau yang saat ini disebut PBPH-HT seluas 54.000 hektar di Kepulauan Aru, Maluku. Proyek perdagangan karbon ini disebut dengan Proyek Talisan Emas. Bukan hanya itu, seluas 591,957 hektar wilayah hutan di kepulauan Aru juga telah dikapling menjadi projek karbon oleh Melchor grup dengan nama Cendrawasih Aru Project. Secara jelas kita tahu bahwa, wilayah aru adalah wilayah adat dari masyarakat Aru.
Di Merauke, Melchor group juga memiliki proyek karbon. Melchor membangun Kerjasama dengan Medco Group sebagai pemegang izin IUPHHK-HTI (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri) yang seluas 170.000 hektar.
Di Papua, konsesi perdagangan karbon juga mengancam masyarakat adat marga Moifilit, Kalapain, Malayamuk dan Klasin Parajal di Pulau Salawati. Saat ini juga masyarakat adat melakukan penolakan terhadap PT Perkasa Bumi Hijau Unit I yang akan beroperasi di wilayah adat mereka.
Masih banyak proyek penggusuran rakyat serta pelanggaran hak asasi manusia dibalik proyek-proyek perdagangan karbon ataupun REDD ataupun solusi berbasis alam. Konsesi-konsesi karbon yang ada saat ini saja, telah memperuncing ketimpangan akses dan kontrol atas sumber-sumber penghidupan rakyat. Menggusur rakyat, dan melanggar Hak Asasi Manusia. Sulit untuk membayangkan, jika proyek-proyek perdagangan karbon atas nama aksi mengatasi perubahan iklim semakin banyak, berapa juta rakyat Indonesia harus tergusur dari wilayah kelolanya dan dari wilayah adatnya.
Pada sisi yang lain, Instrumen yang memiliki kekuatan memaksa korporasi menurunkan emisi seperti pajak karbon terus mengalami penundaan. Negara memilih menjadi pelanggar konstitusi dengan menunda penerapan pajak karbon hingga 2025. Padahal kebijakan pajak karbon harusnya berlaku mulai 1 April 2022 sesuai dengan mandat UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penundaan penerapan tersebut menjadi legitimasi bagi korporasi-korporasi pencemar untuk mencari celah melalui berbagai solusi palsu seperti memperjual belikan karbon dan ragam praktek greenwashing lain yang mengalihkan fokus pada kewajiban untuk dekarbonisasi.
Sementara hingga kini, rakyat harus menempuh jalan yang berliku untuk mendapatkan rekognisi atas wilayah kelolanya serta peran, pengetahuan dan pengalamannya dalam mempertahankan dan memulihkan hutan tersisa.
Pelit Kepada Rakyat, Baik Hati Kepada Korporasi
Dari seluruh izin pemanfaatan kawasan hutan saat ini, 19 juta hektare diberikan kepada konsesi logging, 11,3 juta hektare kepada konsesi kebun kayu, 0,5 juta hektare untuk izin pinjam pakai kegiatan pertambangan, dan 6 juta hektare yang dilepaskan Keseluruhan alokasi kepada rakyat ini, dan juga areal-untuk perkebunan sawit. Artinya, yang diberikan kepada korporasi seluruhnya seluas 36,8 juta hektar. Di sisi lain, yang diberikan kepada rakyat hanya 3,1 juta hektar. Dengan demikian, 92% alokasinya kepada korporasi, dan hanya 8% kepada rakyat.
Meski demikian, alokasi kepada rakyat tersebut perlu diperiksa lebih dalam, karena ada di antaranya yang pada praktiknya justru untuk melanggengkan korporasi, yakni ruang yang dibuka oleh hutan tanaman rakyat (HTR) yang pada praktiknya untuk pemenuhan kayu bagi industri pulp & paper. Makin banyak suara, terutama dari Sumatera, yang mengindikasikan bahwa HTR pada praktiknya justru untuk keuntungan pabrik Sinarmas dan APRIL.
Keseluruhan alokasi kepada rakyat ini, dan juga areal-areal yang secara empirik dikelola oleh rakyat disebut sebagai wilayah kelola rakyat (WKR). Jenis alokasi kepada rakyat dalam sistem administrasi perizinan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat setidaknya 6 jenis, yakni hutan desa (HD), hutan kemasyarakatan (HKm), kemitraan kehutanan (KK), hutan tanaman rakyat (HTR), izin pemanfaatan perhutanan sosial (IPPS), dan hutan adat. Sejauh ini, alokasi terhadap keenamnya baru mencapai 2,7 juta hektar.
Di sisi lain, banyak WKR yang diajukan untuk secara formal mendapat pengakuan negara yang masih terhambat saat ini, seperti pengajuan hutan adat. Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat adanya 19,5 juta hektare hutan adat yang secara empirik dikelola masyarakat adat di Indonesia. Selain itu, banyak juga pengelolaan oleh masyarakat lokal yang juga belum diterbitkan perizinannya oleh pemerintah.
Pengalokasian oleh pemerintah yang secara sembrono dan sepihak kepada korporasi mengakibatkan maraknya konflik agraria di banyak daerah, dan turut mempersulit pemberian izin kelola WKR selama ini (karena pada daerah tersebut pemerintah kadung menerbitkan izin kepada korporasi. Konflik agraria ini juga diikuti dengan tindakan intimidasi, kekerasan serta kriminalisasi ketika rakyat melakukan perjuangan mempertahankan tanahnya. Walhi mencatat sepanjang periode rezim Jokowi sebanyak 827 orang rakyat yang menjadi korban kriminalisasi serta kekerasan.
Masyarakat Adat dan Masyarakat Desa dalam Pusaran Krisis Iklim
Masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) atau Indigenous Peoples and Local Communities memegang peranan sangat penting dalam keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Masyarakat adat dengan populasi hanya sekitar 6 (enam) persen dari populasi penduduk bumi mampu melindungi dan menjaga hampir 80 persen keanekaragaman hayati dan ekosistem bumi. Masyarakat adat dan masyarakat (lokal) melalui kearifan lokal dapat membuktikan lebih dari 90 persen lahan yang dikelola berada dalam kondisi baik. Bagi Walhi, masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) merupakan garda terdepan dalam kerangka adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Berbagai praktik baik masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) seperti pertanian organik, perlindungan hutan, pemanfaatan energi terbarukan, hingga pemuliaan pangan lokal dapat menjadi rujukan solusi-solusi iklim berbasis masyarakat.
Masyarakat adat dan masyarakat desa pada satu sisi menjadi garda depan penjaga bumi, namun pada sisi yang lain mereka menjadi kelompok yang rentan terhadap berbagai macam krisis seperti krisis iklim. Desa-desa atau kampung-kampung mereka yang tersebar dalam berbagai bentang alam mulai dari pesisir, pulau kecil hingga kawasan hutan secara berangsur mengalami kerusakan akibat ekspansi industri ekstraktif seperti perkebunan dan pertambangan serta proyek infrastruktur skala besar atas nama pembangunan nasional. Kelestarian alam dan keselamatan masyarakat adat dan masyarakat desa (lokal) digadaikan demi keuntungan segelintir. Kerusakan lingkungan mempercepat dan memperburuk dampak perubahan iklim di tapak. Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) pada tahun 2021 menyebutkan dari total 83.794 Desa di Indonesia, 53.000 desa masuk dalam kategori rawan bencana dengan 5.744 desa rawan tsunami, 37.497 desa rawan longsor dan 47.430 desa rawan banjir. Bukan tidak mungkin jika kerusakan lingkungan terus terjadi dan krisis iklim tidak ditanggapi dengan serius, dampak sosial ekologis pada desa-desa dan kampung-kampung akan berlipat ganda dari situasi sekarang.
Negara seharusnya sadar dan harus mulai belajar dari pengalaman empiris masyarakat adat dan komunitas lokal di kampung-kampung yang selama ini dibiarkan berjuang sendiri menghadapi perusakan lingkungan dan krisis iklim. Dalam banyak kasus, negara justru memfasilitasi penindasan dan perusakan secara terstruktur, sistematis dan masif melalui proyek-proyek strategis nasional. Dalam banyak kasus pula, negara membiarkan bencana kelaparan di kampung masyarakat adat Yahukimo dan Puncak Tanah Papua berulang hingga puluhan nyawa melayang. Negara harus menyudahi komodifikasi masyarakat adat dan masyarakat desa. Kedaulatan pangan hingga keadilan iklim hanya bisa dicapai melalui penghentian perampasan tanah dan perusakan desa-kampung serta pengakuan wilayah kelola masyarakat adat dan komunitas lokal.