Satu Dekade Kegagalan Poros Maritim Dunia Joko Widodo

Siaran Pers

Jakarta, 26 Agustus 2024 – Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato kenegaraan pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR dan DPD RI dalam rangka HUT Ke-79 Proklamasi Kemerdekaan RI, di Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, pada 16 Agustus 2024. Dalam pidatonya, ia mengklaim bahwa selama 10 tahun pemerintahannya, telah berhasil membangun sebuah pondasi dan peradaban baru, dengan pembangunan yang Indonesiasentris, membangun dari pinggiran, membangun dari desa, membangun dari daerah terluar.

Sehingga, menurutnya, sampai saat ini Indonesia telah membangun 366 ribu kilometer jalan desa, 1,9 juta meter jembatan desa, 2.700 kilometer jalan tol baru, 6.000 kilometer jalan nasional, 50 pelabuhan dan bandara baru, serta 43 bendungan baru, dan 1,1 juta hektare jaringan irigasi baru.

“Dengan demikian, kita berhasil menurunkan biaya logistik dari sebelumnya 24 persen menjadi 14 persen di tahun 2023. Sehingga, kita bisa meningkatkan daya saing dari sebelumnya peringkat 44 menjadi peringkat 27 di tahun 2024. Sehingga, Kita mampu memperkuat persatuan karena akses yang lebih merata dan berkeadilan. Selain itu, ketangguhan kita sebagai sebuah bangsa juga terbukti dari daya tahan dalam menghadapi pandemi COVID-19, dalam menghadapi perubahan iklim, dan dalam menghadapi geopolitik dunia yang semakin memanas.” ungkap Jokowi.

Gagalnya Poros Maritim

Merespon pidato tersebut, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, mempertanyakan kenapa Jokowi tidak mengelaborasi isu kelautan dan perikanan yang dulu pernah menjadi salah satu janji kampanye unggulan pada tahun 2014, di bawah jargon Poros Maritim Dunia.

Parid melanjutkan, sebelum terpilih menjadi Presiden Indonesia pada tahun 2014, Joko Widodo (Jokowi) berkampanye untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD). Setelah terpilih menjadi Presiden, Jokowi menyusun agenda PMD dengan membentuk satu kementerian khusus, yaitu Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang membawahi sejumlah kementerian sektoral, di antaranya: Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian ESDM, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pariwisata.

Namun, di dalam perjalanannya, agenda PMD ini tidak sesuai dengan janji yang disampaikan oleh Jokowi di dalam kampanye pemilihan presiden tahun 2014, di mana nelayan akan ditempatkan sebagai pilar utama. Sebaliknya, berbagai fakta di lapangan membuktikan bahwa kehidupan nelayan semakin sulit akibat pembangunan yang tidak memprioritaskan kepentingan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya.

Berikut sepuluh catatan WALHI terhadap satu dekade kegagalan Jokowi dalam sektor Kelautan dan Perikanan:

Pertama, selama Jokowi menjadi Presiden, tidak ada kebijakan korektif yang memposisikan laut sebagai milik masyarakat pesisir (nelayan tradisional/nelayan kecil, Perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir, masyarakat adat pesisir). Setelah Merdeka selama 79 tahun, laut Indonesia masih diperlakukan sebagai ruang perebutan antar pihak. Dalam situasi itu, masyarakat pesisir tidak ditempatkan sebagai tuan rumah di lautnya sendiri.

Kedua, WALHI mencatat, selama Jokowi menjadi Presiden, telah disahkan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (RZWP3K) di 28 provinsi. Dari 28 Provinsi itu ditemukan bahwa alokasi ruang untuk nelayan sangat kecil sekali. Luasannya hanya tercatat seluas 21.706,02 hektar. Hal itu berbeda dengan luas proyek reklamasi dan pertambangan pasir laut seluas 3.590.883,22 hektar. Pada titik Jokowi terbukti gagal mewujudkan keadilan ruang bagi kehidupan nelayan. Akibatnya, lebih dari 3 juta nelayan terancam hilang akibat ketidakadilan ruang ini.[1]

Secara umum, RZWP3K mengandung sejumlah persoalan besar sebagai berikut, pertama, tidak menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan; kedua, alokasi ruang hidup masyarakat pesisir sangat kecil dibandingkan dengan alokasi ruang untuk kepentingan pelabuhan, industri, reklamasi, pertambangan, pariwisata, konservasi, dan proyek lainnya. Ketiga, penyusunan peraturan zonasi hanya memberikan kepastian hukum untuk kepentingan pebisnis; keempat, dengan banyaknya yang mengakomodasi proyek tambang, peraturan zonasi tidak mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem laut. Kelima, mencampuradukkan kawasan tangkap nelayan tradisional dengan kawasan pemanfaatan umum lainnya. Hal ini meningkatkan risiko kapal nelayan ditabrak kapal-kapal besar.[2]

Ketiga, semakin luasnya proyek pertambangan di pesisir dan laut. Walhi mencatat luasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah pesisir seluas 2.919.870,93 hektar yang jumlahnya setara dengan 1.405 IUP. Lalu di wilayah laut seluas 687.909,01 hektar atau setara 324 IUP). Dampaknya, sebanyak 35 ribu keluarga nelayan terdampak proyek tambang, Di mana tanah dan lautnya tercemar. Dalam jangka panjang, pemberian izin usaha pertambangan, menghancurkan kemampuan adaptasi nelayan menghadapi krisis iklim.

Keempat, sejak satu dekade lalu, banyak nelayan yang meninggal di laut karena cuaca ekstrim, di mana rata-rata 100 nelayan meninggal setiap tahunnya. Pada tahun 2016 saja, misalnya tercatat sebanyak 145 orang meninggal. Pada tahun 2020, angka mengalami kenaikan sebanyak 251 orang.[3] Sampai saat ini WALHI masih mengolah data meninggalnya nelayan pada tahun 2021 sampai dengan tahun 2023. Namun, estimasi WALHI menyebutkan jumlah lebih besar dari tahun 2020. Anehnya, tak ada kebijakan apapun dari pemerintah terkait dengan masalah ini.

Kelima, banyaknya konflik yang dihadapi oleh masyarakat pesisir, khususnya nelayan, yang tinggal di pulau kecil karena haris berhadapan dengan proyek skala besar, terutama PSN, pertambangan dan pariwisata. Pulau Rempang, dengan jumlah penduduknya lebih 7500 jiwa harus melawan karena dipaksa akan digusur untuk PSN Eco City. Pulau Wawonii dengan jumlah 38.849 jiwa harus berhadapan dengan proyek pertambangan nikel. Pulau Pari dengan jumlah penduduknya lebih dari 1500 orang harus berhadapan dengan proyek pariwisata. Lalu, Pulau Sangihe dengan jumlah penduduk 131 ribu orang akan harus berhadapan dengan proyek pertambangan emas.

Keenam, sumber daya ikan terus mengalami eksploitasi. Setiap lima tahun, pemerintah meluncurkan status pemanfaatan sumber daya ikan dalam bentuk Keputusan Menteri (Kepmen) Kelautan dan Perikanan. Dua Kepmen terakhir adalah Kepmen KP Nomor 50 tahun 2017 dan Kepmen Nomor 59 Tahun 2022. Keduanya menggambarkan status pemanfaatan sumber daya ikan Indonesia berada situasi berbahaya, di mana statusnya telah fully exploited dan over exploited.

Anehnya, dalam situasi ini, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. Regulasi ini akan mendorong eksploitasi sumber daya ikan semakin mengerikan karena memberikan karpet merah bagi korporasi besar untuk terus mengeruk sumber daya ikan di lautan Indonesia.

Ketujuh, agenda rehabilitasi mangrove yang ditargetkan luasannya 600 ribu hektar tidak mencapai target. Bahkan, capaiannya tidak sampai 50 persen, hanya seluas 130 ribu hektar saja. Kegagalan ini sering ditutupi oleh Jokowi dengan diplomasi mangrove kepada berbagai kepala negara, sebagaimana yang sering dilakukan di Bali.

Bahkan di dalam perhelatan ASOF ke-27 yang diselenggarakan di Bogor, Pemerintah Indonesia menyampaikan komitmen untuk mengawal isu mangrove selama memimpin ASOF. Di dalam forum tersebut, KLHK menyampaikan sejumlah strategi pengelolaan mangrove untuk ASEAN sebagai berikut: 1) melakukan pemetaan (mapping) dan penilaian (assessment) guna mengetahui dengan pasti situasi sekaligus kualitas sebaran mangrove yang ada di pesisir Indonesia dan negara-negara lainnya di Asia Tenggara, yang menjadi rumah bagi 34 persen mangrove dunia. Dalam hal ini, KLHK mengusulkan profil mangrove ASEAN untuk memastikan baik tidaknya status ekosistem Mangrove; 2) meningkatkan kapasitas kesadaran (enhancing awareness capacity) untuk semua pemangku kepentingan yang relevan dengan pengelolaan mangrove; 3) membangun tata Kelola (governance) yang baik, mulai dari tingkat tapak sampai ke tingkat yang paling tinggi; 4) intervensi teknis (technical intervension) dengan cara belajar dari pengalaman antar negara sekaligus dari para ahli dan lintas komunitas. dan 5) dialog kebijakan (policy dialogue) di antara negara di ASEAN untuk saling mendukung dan saling mendukung serta memperkuat kebijakan antar negara.

Merespon pertemuan ASOF ke-27 sekaligus keketuaan Indonesia setelah Kamboja, WALHI menegaskan bahwa strategi pengelolaan mangrove Indonesia yang disampaikan oleh pemerintah sepenuhnya tidak dijalankan dengan baik di Indonesia. Dalam pengelolaan mangrove, Indonesia tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example.

Ketidakmampuan Indonesia memimpin dengan contoh, lanjut Parid, dapat dilihat dalam sejumlah bukti sebagai berikut: 1) dalam hal data mengenai mangrove di Indonesia, Pemerintah tidak konsisten. Merujuk pada data yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), sebagaimana tercantum dalam dokumen Statistik Sumber Daya Pesisir dan Laut, tahun 2022, total luasan hutan mangrove tercatat seluas 2.320.609,89 hektar. Dari angka tersebut, hanya 30,32 persen hutan mangrove yang berada dalam kondisi baik. Sisanya, 10,75 persen berada dalam kondisi sedang, dan 12,36 dalam kondisi rusak. Anehnya, pemerintah Indonesia menerbitkan Peta Mangrove Nasional (PMN) pada tahun 2021 yang mengklaim luasan mangrove lebih dari 3,364,080 hektar, di mana 92.78 persen tutupannya dinilai lebat, 5,60 tutupan sedang, 1,62 tutupan jarang. Selain itu, pemerintah mengklaim ada wilayah potensi mangrove seluas 756,183 hektar; 2) Pemerintah Indonesia telah menerbitkan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir tahun 2020 lalu dan merevisi kembali pada tahun 2023. Pasal 5 UU Cipta Kerja yang mengatur tentang panas bumi melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan. Pasal 3 sampai 7 pada PP 27 Tahun 2021 tersebut menyatakan zona inti pada ekosistem mangrove boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional. Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 menjelaskan betapa agenda rehabilitasi mangrove yang disebutkan oleh Presiden Jokowi itu sangat mudah diubah untuk beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif; 3) Kawasan mangrove juga tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh WALHI dalam dokumen berjudul Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia, disebutkan bahwa sampai dengan tahun 2040 setidaknya seluas 3.527.120,17 hektar proyek reklamasi yang sedang dan akan dilaksanakan oleh Pemerintah. Di dalam pada itu, pengakuan dan perlindungan mangrove hanya diberikan seluas 52.455,91 hektar. Perbandingan yang sangat ironis jika dibandingkan dengan luasan proyek reklamasi.[4]

Ketiga bukti tersebut menunjukkan absennya keseriusan pemerintah Indonesia dalam melindungi mangrove yang selalu dikampanyekan dalam setiap forum internasional. Inilah mengapa WALHI menyebut tidak bisa memimpin dengan contoh atau leading by example. Apa yang disampaikan di forum internasional, secara diametral bertentangan dengan kebijakan dalam dalam negeri.

Kedelapan, selama Jokowi menjadi presiden, nasib nelayan perbatasan, khususnya di Natuna tak ada perbaikan kualitas hidup. Mereka merasakan kemerdekaan di darat tetapi tidak merasakannya di laut. Setiap hari mereka harus berhadapan dengan kapal-kapal asing, terutama China dan Vietnam. Jargon keamanan maritim tidak pernah terwujud. Bahkan delapan orang nelayan Natuna harus rela ditahan selama 5 bulan oleh polisi Malaysia karena diklaim memasuki perairan Malaysia. Padahal terbukti mereka tidak bersalah. Nelayan di Natuna sebagai wilayah terdepan, terusir dari lautnya sendiri dan harus terus berhadapan dengan kekuatan kapal negara lain.[5]

Kesembilan, selama sepuluh tahun, banyak peraturan perundangan bermasalah yang diproduksi oleh Jokowi dan menterinya yang memicu perampasan ruang laut.

Kebijakan Negara yang Berpotensi Memicu Perampasan Laut

No

Kebijakan

Jenis Pengaturan

1.

UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kelautan dan Perikanan

  • UU Cipta Kerja telah mengubah esensi dari izin lingkungan sebagai instrumen pencegahan atas pencemaran dan kerusakan ekosistem lingkungan hidup. Sebab, UU Cipta Kerja mengubah izin menjadi persetujuan lingkungan
  • Perizinan yang sederhana di UU Cipta Kerja dikhawatirkan akan mendorong ekspansi usaha besar-besaran di daerah pesisir dan ruang laut
  • Adanya pengecualian UU mahkama atas kewajiban penetapan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dan/ atau peninjauan kembali terhadap perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan jika terdapat kebijakan nasional bersifat strategis akan mengabaikan esensi perencanaan tata ruang sebagai instrumen yang memperhatikan daya dukung ekosistem
  • Dihapuskannya ketentuan mengenai Komnaskajiskan dalam UU Cipta Kerja akan mengurangi esensi sains yang merupakan elemen penting dalam pembangunan berkelanjutan di sektor kelautan dan perikanan
  • Pengawasan dalam UU Cipta Kerja yang menggunakan pendekatan risk-based monitoring dikhawatirkan akan membuat pemerintah atau aparat penegak hukum akan kehilangan kemampuan untuk melakukan pendeteksian pelanggaran oleh kegiatan yang berisiko rendah atau menengah

2.

Peraturan Pemerintah (PP) No 27/2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan

  • Perubahan Zona inti di kawasan konservasi menjadi kawasan Strategi Nasional (Pasal 2 sampai Pasal 7). Padahal Indonesia telah menetapkan kawasan konservasi laut seluas 20 Juta hektar
  • Membolehkan penggunaan alat tangkap dilarang; jaring Hela (Pukat Hela) (Pasal 116) yang sebelumnya dilarang
  • Membolehkan transhipment (Pasal 115b, 118)
  • Impor kapal ikan (Pasal 124). Berpotensi mematikan industri perkapalan dalam negeri dan masuknya kembali kapal ikan asing dengan modus impor
  • Membuka kran impor ikan (pasal 282-283) dan impor garam (Pasal 284). Mengancam kehidupan nelayan tradisional dan petambak garam. Padahal sudah ada UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, No. 7/2016

3.

PP No 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah

  • Muncul istilah Hak pengelolaan dan/atau hak atas tanah (Pasal 3 a).
  • Berpotensi okupasi dan perampasan pulau-pulau kecil oleh korporasi domestik maupun asing termasuk okupasi di wilayah pesisir
  • Mempermudah izin reklamasi (Pasal 17)

4.

PP No 43/2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Tata Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak atas Tanah

  • Bab V (Pasal 15) : Hak Pengelolaan dan/atau perizinan terkait memanfaatkan ruang laut (Pasal 151). Ini saya sebut sebagai “Neo Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) atau Neo-HP3
  • Bab VI. Mengizinkan juga reklamasi (Pasal 18)

5.

Permen KP No 53/2020 Perubahan atas Permen KP No 8/2019 tentang Penatausahaan izin Pemanfaatan Pulau Kecil dengan Perairan di sekitarnya dalam rangka Penanaman Modal Asing dan rekomendasi Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dengan luas di bawah 100 kn2

Memberikan karpet merah ke pihak asing untuk mengelola dan menguasai pulau – pulau kecil

6

PP No. 11 tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur

  • Memberikan karpet merah bagi kapal-kapal asing untuk mengeruk sumber daya ikan di perairan Indonesia
  • Meminggirkan nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional dan memaksa mereka bersaing denga kapal-kapal besar

7

PP No. 23 Tahun 2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut

  • Memberikan karpet merah kepada Perusahaan untuk mengeruk pasir laut.
  • Menghancurkan pesisir laut dan pulau kecil

6.

Permen KP No 58/2020 tentang Usaha Perikanan Tangkap

Membolehkan alih muatan ikan di tengah laut (transshipment)

7.

Permen KP No 59/2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di WPP-NRI dan Laut Lepas

Legalisasi cantrang dan trawl

8

Permen KP No 12/2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.)

Lalu direvisi menjadi

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia

  • Aturan ini membuka keran ekspor benih bening lobster
  • Dampaknya terjadi monopoli dan kargo ekspor
  • Adanya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme

 

Kesepuluh, dalam sepuluh tahun terakhir, nelayan semakin miskin karena dampak krisis iklim dan Pembangunan yang tidak berpihak kepada mereka. Jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada tahun 2022 mencapai 17,74 juta jiwa. Sebanyak 3,9 juta jiwa di antaranya masuk kategori miskin ekstrem. Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa, kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68 persen dari total angka kemiskinan di Indonesia.

Akibat dampak buruk krisis iklim dan Pembangunan yang tidak berpihak pada nelayan, pada tahun 2030, hampir satu juta nelayan di Indonesia diprediksi akan hilang. Ini merupakan angka kehilangan yang sangat besar bagi negara kepulauan terbesar seperti Indonesia.

Penutup

Kehancuran pesisir dan laut, serta terhimpitnya kehidupan nelayan selama satu dekade Jokowi menjadi presiden menggambarkan betapa ide Poros Maritim Dunia (PMD) yang digaungkan oleh Jokowi jauh panggang dari api. Nelayan yang seharusnya menjadi pelaku utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan, justru malah menjadi korban pembangunan.

Lebih jauh, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil hanya diposisikan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam implementasinya, PMD Jokowi adalah alat untuk membuka lebar keran investasi serta memberikan karpet merah kepada para penanam modal, khususnya asing. Pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi terus mendorong laut sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan memposisikannya sebagai ruang baru bagi pariwisata skala besar. Melalui proyek yang disebut dengan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KPSN), ia membangun sejumlah infrastruktur vital, seperti bandar udara, pelabuhan, dan infrastruktur pendukung pariwisata lainnya.

Meski sudah tak menyebut lagi terminologi “Poros Maritim Dunia” pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi sesungguhnya telah melanjutkan semangat PMD yaitu menjadikan laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sebagai lokus investasi skala skala besar. Satu hal yang tidak mengherankan jika muncul gagasan untuk menyusun UU sapu jagad, yang dikenal dengan omnibus law.

Sepanjang kepemimpinannya, Jokowi menilai arus investasi di Indonesia terhalang oleh banyak serta tumpang-tindihnya aturan. Karena kondisi ini, negara-negara tetangga seperti vietnam lebih dilirik untuk investasi. Berpijak dari pandangan tersebut, Jokowi akan menyederhanakan berbagai peraturan demi melayani kepentingan investasi.

Dalam konteks ini, pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil akan menjadi lokus investasi baru. Akan banyak terjadi konflik dan perebutan ruang laut pada masa-masa yang akan datang. Jika ruang-ruang di daratan telah habis karena telah dijadikan lokus investasi untuk perkebunan skala besar, tambang, properti, dan lain sebagainya, maka ruang laut diasumsikan sebagai wilayah tak bertuan dan oleh karenanya siap untuk diokupasi oleh kepentingan investasi skala besar.

Pada titik inilah, keberadaan nelayan, perempuan nelayan, dan seluruh masyarakat pesisir lainnya hanya akan menjadi korban pembangunan, sebagaimana terjadi selama ini. Mereka adalah produsen utama perikanan di Indonesia yang membawa ikan dari laut ke meja makan kita, mereka adalah pahlawan protein bangsa, mereka adalah penjaga laut serta berbagai ekosistemnya. Jika keberadaan mereka terancam oleh ekspansi investasi, maka kita akan mengalami keterancaman yang sangat serius dalam hal kedaulatan pangan laut. Akhirnya, kita akan terasing dengan pesisir, laut, dan pulau- pulau kecil yang merupakan identitas penting bangsa ini.

 

Informasi lebih lanjut
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut WALHI, [email protected]

 

[1] Parid Ridwanuddin dan Fikerman Saragih, Negara Melayani Siapa? : Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut, dan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia, (WALHI, 2023): https://www.walhi.or.id/negara-melayani-siapa-potret-ocean-grabbing-di-pesisir-laut-dan-pulau-pulau-kecil-dalam-28-rzwp3k-di-indonesia

[2] Parid Ridwanuddin, Dampak Omnibus Law terhadap Masyarakat Pesisir, dalam Koran Tempo, Jumat, 24 Januari 2020. Dapat diakses di tautan: https://kolom.tempo.co/read/1298983/dampak-omnibus-law-terhadap-masyarakat-pesisir

[3] https://koran.tempo.co/read/opini/479531/dampak-cuaca-ekstrem-dan-bencana-iklim-terhadap-nelayan-sektor-kelautan-dan-perikanan, akses juga https://www.walhi.or.id/urgensi-perlindungan-nelayan-dalam-bencana-iklim

[4] Parid Ridwanuddin dan Fikerman Saragih, Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia dalam https://www.walhi.or.id/negara-melayani-siapa-potret-ocean-grabbing-di-pesisir-laut-dan-pulau-pulau-kecil-dalam-28-rzwp3k-di-indonesia

[5] https://www.mongabay.co.id/2024/08/12/nelayan-natuna-korban-diplomasi-perbatasan-akhirnya-dipulangkan-oleh-malaysia/, juga https://www.mongabay.co.id/2024/08/17/di-hari-kemerdekaan-nelayan-menjerit-kapal-ikan-asing-merajalela-di-laut-natuna-utara/