Siaran Pers
Tim Advokasi Nasional Solidaritas untuk Rempang
Tim Advokasi Nasional Solidaritas untuk Rempang mengecam kriminalisasi dan tindakan kekerasan berupa penyerangan yang dilakukan oleh karyawan dan/atau tim keamanan PT Makmur Elok Graha (PT MEG) pada 17–18 Desember 2024. Dalam peristiwa ini, Polresta Barelang alih-alih menindak tegas semua pelaku penyerangan, justru menetapkan 3 orang warga Rempang sebagai tersangka. Tim PT MEG tersebut melakukan penyerangan di 3 titik, di antaranya: 1) Posko Masyarakat Adat Sembulang Hulu, 2) Posko Masyarakat Adat Sei Buluh, 3) Posko Bantuan Hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Gerakan Pemuda Ansor. Atas tindakan penyerangan tersebut sebanyak 8 (delapan) orang warga mengalami luka fisik, seperti luka ringan, luka sobek di bagian kepala, luka berat, terkena anak panah, patah tangan dan ratusan warga lainnya mengalami trauma yang mendalam.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, awalnya warga Rempang menangkap salah seorang tim keamanan PT MEG yang sedang melakukan pengrusakan spanduk penolakan atas proyek Rempang Eco City. Atas penangkapan tersebut, warga kemudian menelpon polisi dan 5 (lima) orang polisi pun datang ke Posko Sembulang Hulu. Sebelum polisi datang, beberapa orang yang datang untuk mengambil orang PT MEG tersebut dan mengatakan dirinya seorang prajurit dengan menunjukkan kartu anggota tentara. Namun, warga memilih tetap menahan karyawan tersebut dan menunggu polisi. Warga meminta agar polisi segera memproses tindakan pengrusakan yang dilakukan oleh pelaku. Namun upaya tersebut tidak digubris oleh Polsek Galang, hingga pada akhirnya pelaku tersebut pun dibawa kembali oleh Tim PT MEG. Tidak berselang lama Tim PT MEG datang kembali dan langsung melakukan penyerangan. Penyerangan tersebut dilakukan secara terukur, terlatih dan terencana. Mulanya, Tim PT MEG menyerang lampu-lampu penerangan, kemudian menyerang warga secara fisik dan menghancurkan berbagai benda dan kendaraan yang berada di sekitar lokasi. Melihat brutalitas premanisme tersebut, warga pun mengevakuasi diri dengan berlarian masuk ke hutan untuk menghindari kekerasan.
Atas tindakan penyerangan tersebut, alih-alih melakukan penegakan hukum secara berkeadilan, Polresta Barelang hanya menetapkan 2 (dua) orang tim keamanan PT MEG menjadi tersangka dari 30 orang tim PT MEG melakukan penyerangan sebagaimana pengakuan Angga, anggota tim keamanan PT MEG dalam wawancaranya bersama Tempo.[1] Tidak berhenti di situ, alih-alih melindungi dan memberikan rasa aman pada masyarakat, Polresta Barelang justru menetapkan 3 (tiga) orang masyarakat menjadi tersangka, yakni: Siti Hawa Als Nenek Awe (67 Tahun), Sani Rio (37 Tahun) dan Abu Bakar Als Pak Aceh (54 Tahun) dengan tuduhan perampasan kemerdekaan sebagaimana Pasal 333 KUHP.
Atas penjabaran tersebut, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai kekerasan ini sengaja dimobilisasi dengan menargetkan warga Rempang agar tersingkir secara paksa dari tempat tinggal mereka. Keberadaan gerombolan orang PT MEG di Rempang perlu dipertanyakan, apakah karyawan sungguhan atau hanyalah “preman” berkedok karyawan yang sengaja ditempatkan untuk mengintimidasi warga. Mengingat hingga saat ini belum ada pekerjaan konstruksi Rempang Eco City, maka perlu dipertanyakan untuk apa orang-orang itu ditempatkan di Kampung Sembulang Pasir Merah. Di pihak lain, Polisi melakukan pembiaran terhadap aksi-aksi premanisme mereka bahkan “melindungi” dengan mengabaikan laporan-laporan warga. Temuan kami, Pemerintah Kecamatan Galang juga turut andil dalam kekerasan ini karena memberikan fasilitas bagi kelompok pelaku kekerasan ini.
Dari rentetan peristiwa ini, PT MEG, Polisi, BP Batam dan Pemerintah Setempat secara bersama-sama telah melakukan kekerasan struktural, dengan sengaja melakukan mobilisasi kekuasaan, alat dan fasilitas negara untuk menyingkirkan warga Rempang dari tempat tinggal dan ruang hidupnya. Pola kekerasan seperti ini adalah bentuk pelanggaran HAM berat berupa kejahatan kemanusiaan.
Selanjutnya, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai penetapan tersangka terhadap 3 orang masyarakat tersebut tidak bisa dilepaskan dari ambisi PT MEG, BP Batam & Pemerintah Pusat untuk segera melakukan pengusiran masyarakat adat tempatan Pulau Rempang untuk suksesi Proyek Rempang Eco City, selain kriminalisasi dan kekerasan ambisi tersebut juga akan menarik Institusi Pertahanan, TNI karena pada hari Senin (13 Januari 2025), BP Batam menggelar rapat koordinasi percepatan Rempang Eco-City bersama Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama yang juga dihadiri oleh Asisten Perencanaan Komando Daerah Militer (Kodam) 1 Bukit Barisan, Kepala Zeni Kodam 1 Bukit Barisan, Komando Distrik Militer (Kodim) 0316 Batam, dan perwakilan PT MEG. situasi tersebut akan yang akan menempatkan masyarakat dalam posisi kerentanan berlapis, bukan tidak mungkin menjadi objek kekerasan, seperti yang dilakukan oleh tim keamanan PT MEG beberapa waktu yang lalu serta kekerasan polisi pada September 2023 yang silam.
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menilai kekerasan dan dan proses hukum terhadap masyarakat Pulau Rempang sampai penetapan tersangka bukan bertujuan untuk menegakkan hukum, tetapi membungkam perjuangan masyarakat Pulau Rempang dalam mempertahankan ruang hidupnya. Ini adalah kriminalisasi terhadap masyarakat Pulau Rempang. Hal ini sebagai bentuk keberpihakan negara terhadap korporasi (pemodal) dengan mengorbankan rakyat. Dalam hal ini negara mengabaikan dan mengingkari kewajibannya melindungi dan menghormati hak asasi warganya sebagaimana diatur dalam konstitusi, Undang-Undang Ham No. 39 Tahun 1999, dan berbagai instrumen hukum lainnya.
LBH Pekanbaru menilai sikap pemerintah Batam yang membiarkan masyarakat Rempang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis secara berulang adalah perbuatan pelanggengan kejahatan Hak Asasi Manusia terhadap warga negara. Kami juga memandang Pemerintah Kota Batam maupun Kecamatan Galang adalah pihak yang memfasilitasi kejahatan kemanusiaan di Rempang terjadi. Negara melalui aparat kepolisian harus memandang masyarakat Rempang sebagai pejuang hak asasi manusia atas lingkungan hidupnya dan harus memberikan perlindungan terhadap pejuang hak asasi manusia atas lingkungan hidupnya sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 2 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang Yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup Yang Baik dan Sehat; memandatkan bahwa orang yang memperjuangkan lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Selain itu LBH Pekanbaru juga melihat kejadian keberulangan ini adalah kesalahan Negara yang tidak mampu melaksanakan kewajibannya untuk memastikan jaminan ketidakberulangan kepada masyarakat Rempang yang telah menjadi dan/atau mengalami pelanggaran HAM sebagaimana diatur dalam poin 164 standar norma dan pengaturan tentang pembela HAM. Meskipun demikian Negara sebagai wali dari sistem hak asasi manusia internasional harus mengambil langkah-langkah perlindungan untuk melawan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh PT MEG, karena kita memandang kehadiran PT MEG sebagai entitas bisnis di Pulau Rempang telah gagal dalam menghormati maupun mempromosikan hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab sebagai perusahaan untuk mempromosikan dan melindungi HAM dan kebebasan fundamental yang diakui secara universal.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) melihat kekerasan yang kembali terjadi kepada warga Rempang merupakan tindakan pengabaian yang secara terus-menerus dilakukan oleh Negara, utamanya Kepolisian kepada warga yang terdampak PSN. Kekerasan berupa penyerangan yang dilakukan oleh satuan pengamanan PT MEG menunjukkan bahwa proyek PSN ini telah mengabaikan bahkan merusak prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC) sebagaimana telah digariskan dalam Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP), yang dalam hal ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan persetujuan maupun ketidaksetujuannya dalam proyek ini. Hal ini jelas berakibat pada hilangnya hak atas rasa aman sebagaimana diatur di dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 45 serta pasal 30 UU 39/1999.
Selain itu, KontraS menilai penetapan tersangka kepada 3 orang warga Rempang oleh Polresta Barelang tidak dilakukan dengan profesional, proporsional, dan transparan sehingga telah dilakukan tanpa dasar yang kuat. Kepolisian tidak lagi bertindak sebagaimana untuk kepentingan umum melainkan hanya untuk kepentingan korporasi. Kriminalisasi yang menimpa 3 warga ini jelas tidak sesuai dengan tugas pokok Kepolisian sebagaimana diatur di dalam Pasal 13 UU 2/2002. Selain itu, kriminalisasi ini KontraS lihat hanya digunakan sebagai upaya untuk merusak reputasi, menghalang-halangi korban untuk aktif menyuarakan penolakannya hingga memberikan teror kepada pihak-pihak yang bersangkutan dengan korban.
Berdasarkan uraian di atas, maka kami dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang mendesak:
- Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera melakukan pembatalan proyek strategis Rempang Eco City, karena terbukti mengancam keamanan dan keselamatan serta berpotensi menghilangkan identitas kultural dan historis Masyarakat Adat Pulau Rempang;
- Presiden RI Prabowo Subianto, segera memerintahkan semua Kementerian terkait melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tempatan Pulau Rempang beserta dengan wilayah kelola dan sumber-sumber kehidupannya;
- Kepala Kepolisian Negara RI, untuk segera memerintahkan Kepala Polresta Barelang untuk menghentikan proses hukum terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Rempang dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), serta memastikan semua tim keamanan PT MEG yang melakukan kekerasan terhadap Masyarakat dan Barang pada 17 Desember 2024 segera ditetapkan sebagai tersangka;
- Kepala Kepolisian Negara RI, untuk segera memerintahkan Kepala Polresta Barelang agar menindaklanjuti laporan warga Pulau Rempang di Polresta Barelang, yang saat ini hanya menetapkan 2 (dua) orang Tersangka dari pihak tim keamanan PT MEG, namun sampai dengan saat ini kami tidak ada kejelasan mengenai siapa yang ditetapkan sebagai tersangka dan proses hukumnya sudah sampai pada tahap mana.
- Kepala Kepolisian Negara RI segera melakukan audit, evaluasi kinerja terhadap Polresta Barelang yang dalam beberapa tindakan dan kerjanya tidak mencerminkan prinsip-prinsip Melindungi, Mengayomi, dan Melayani khususnya kepada Masyarakat Adat Tempatan Pulau Rempang, melainkan cenderung dan diduga berpihak kepada PT MEG;
- Panglima TNI memerintahkan Inspektorat Jenderal TNI Angkatan Darat untuk melakukan Audit, Review, Evaluasi, Pemantauan, dan Kegiatan Pengawasan Lainnya terkait dengan keterlibatan Komando Daerah Militer (Kodam) 1 Bukit Barisan dan Satuan Pelaksana Dibawanya, terkhusus Komando Resor Militer (Korem) 033 Wira Pratama dan Komando Distrik Militer (Kodim) 0316 Batam dalam Proyek Rempang Eco City yang bertentangan dengan Peran, Tugas dan Fungsi TNI, serta mengusut tuntas dugaan keterlibatan Prajurit TNI yang mencoba menjemput Tim Keamanan PT MEG yang tertangkap tangan melakukan perusakan spanduk masyarakat;
- Komisi Kepolisian Nasional baik bersama-sama maupun secara sendiri- sendiri sesuai dengan kewenangannya masing-masing berdasarkan Peraturan Perundang-undangan bersama dengan Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman Republik Indonesia (ORI), dan LPSK melakukan pengawasan terhadap kinerja Polresta Barelang, serta meminta Polresta Barelang segera menghentikan proses hukum terhadap 3 (tiga) orang Masyarakat Rempang dengan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), dan Memberikan Perlindungan serta Pemulihan yang efektif bagi Masyarakat Adat Rempang;
- Kepala Kepolisian Negara RI berkoordinasi dengan Kementerian Kehutanan dan ATR/BPN RI, segera memerintahkan Kepolisian Daerah Kepulauan Riau untuk memastikan PT MEG meninggalkan Pulau Rempang karena diduga belum memiliki Hak Pengelolaan, sehingga Masyarakat dapat menjalani aktivitas dengan Aman dan Damai;
Jakarta, 24 Januari 2025
Narahubung:
Edy Kurniawan Wahid, YLBHI
Teo Reffelsen, WALHI
Syamsul Agus Alam, PPMAN
SOLIDARITAS NASIONAL UNTUK REMPANG
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
LBH Pekanbaru
WALHI Riau
Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
Trend Asia
LBH Mawar Saron Batam
Lembaga Studi & Bantuan Hukum Masyarakat Kepulauan (LSBH MK)
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
Amnesty International Indonesia
Transparency International Indonesia
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
---- ----
[1] Sahputra, Yogi Eka, “ Manajemen PT MEG Jawab Tudingan Soal Serang Penolak PSN Rempang dengan Panah, dalam https://www.tempo.co/hukum/manajemen-pt-meg-jawab-tudingan-soal-serang-penolak-psn-rempang-dengan-panah--1183209