Selembar Kertas dan Jejak Kejahatan Korporasi

 width=

Dari Hulu hingga Hilir, Jejak Pelanggaran Hukum dan HAMAPP-Sinar Mas group Ditemukan dalam Selembar Kertas Jakarta-Lebih dari tiga dekade, hutan tanaman industri (HTI) atau lebih tepat disebut dengan kebun kayu telah menjalankan praktik bisnisnya di Indonesia. Alih-alih didorong sebagai bagian dari “mengatasi” pembalakan liar yang massif di era orde baru, kebun kayu justru pada akhirnya menjadi predator bagi hutan alam dan kawasan ekosistem esensial lainnya, seperti ekosistem rawa gambut. Dengan dukungan fasilitas negara yang begitu limpah termasuk sokongan pendanaan yang tidak terputus dari lembaga keuangan baik nasional maupun multi nasional, bisnis kebun kayu di Indonesia terus melanggengkan kekuasaannya baik secara ekonomi maupun politik. Tidak tanggung-tanggung, meskipun telah melakukan berbagai pelanggaran hukum, pelanggaran terhadap hak asasi manusia baik hak ekosob maupun sipil dan politik, sektor kebun kayu dengan turunan produksinya berupa pulp dan kertas, menguasai tanah dan hutan Indonesia begitu luas. Lebih dari 10 juta hektar dikuasai oleh korporasi, dan dua raksasa besar yakni Asia Pulp and Paper-Sinar Mas group dan APRIL. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau menyebutkan “penguasaan tanah oleh APP yang mencapai 2,6 juta hektar di 5 provinsi, yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Dari 5 propinsi tersebut, sebagian besar perusahaan APP berada di propinsi Riau. Namun di sisi yang lain, luasnya penguasaan mereka tidak dibarengi dengan tanggungjawab mereka terhadap konsesinya. Ini dapat dilihatdari realisasi penanaman perusahaan HTI dari tahun 2011 hingga 2015, hanya mampu seluas 2.115.924,27 hektar atau 45,97% dari rencana tanam, hingga mereka terus menyasar hutan alam. Juga kegagalan mereka dalam mengawasi konsesinya terhadap kebakaran. Dan kegagalan mereka dilimpahkan biaya lingkungannya kepada negara dan publik. Sehingga kami menduga kuat, bahwa ini merupakan modus land banking yang dilakukan oleh bisnis kebun kayu. Direktur WALHI Kalimantan Timur menyatakan “Penguasaan kawasan hutan di Kalimantan Timur oleh ndustri rakus lahan dengan mengkonversi hutan sangat mengkhawatirkan. Dari total 42 perusahaan hutan tanaman industri dengan total luasan 1,590.184 hektar atau hampir setara dengan luas propinsi Bangka Belitung, lebih dari 50 persen dikuasai group raksasa APP dan APRIL.

Situasi ini mengakibatkan konflik tenurial semakin meluas. Komitmen Presiden untuk menyelesaikan konflik dengan melalui skema kemitraan, justru akan semakin melanggengkan penguasaan hutan dan tanah”. Berlembar-lembar kertas yang dihasilkan dengan jejak-jejak yang penuh dengan dugaan kejahatan lingkungan dan kemanusiaan. Dari hulunya, wilayah Kalimantan yang dijadikan sebagai wilayah penanaman, Sumatera seperti Jambi, Riau dan Sumatera Selatan yang selain memiliki wilayah tanam, juga memiliki mill hingga pengolahan kertas PT. IKPP di Serang Banten yang mencemari sungai Ciujung. Para raksasa penguasa industri pulp and paper konon memiliki tanggungjawab secara sosial dan lingkungan, seperti komitmen APP – Sinar Mas group lewat Forest Conservation Policy (FCP) yang pada tahun ini memasuki tahun ke-5. Namun fakta di lapangan menunjukkan, bahwa komitmen tersebut tidak lebih hanyalah bagian dari pencitraan sebuah industri yang mendapatkan banyak sorotan dari masyarakat global, dengan berbagai fakta kejahatan yang dilakukan. Tewasnya Indra Pelani, pemuda tani Tebo Jambi di konsesi PT. WKS menunjukkan wajah militeristik industri kebun kayu ini.

Rudiansyah, Direktur ALHI Jambi menyatakan bahwa Hingga 5 tahun komitmen FCP dijalankan, konflik di Jambi misalnya tidak mampu diselesaikan oleh APP. Lalu bagaimana APP bisa mengatakan bahwa mereka mampu selesaikan konflik, jika bukan hanya sekedar klaim untuk menangguk profit lebih besar lagi. Direktur WALHI Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengatakan bahwa “hingga saat ini tidak ada perubahan yang mendasar bagi korporasi untuk bergerak lebih maju pada upaya penghormatan terhadap hak asasi manusia dan keberlanjutan lingkungan. Putusan bersalah terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (PT. BMH) dalam kebakaran hutan dan lahan di Sumatera Selatan. Sayangnya hingga saat ini, meski sudah divonis bersalah oleh pengadilan, namun hingga saat ini belum ada eksekusi terhadap PT. BMH dan tidak ada ketegasan dari KLHK, apakah akan melanjutkan proses hukum berikutnya”. Jika demikian, kami tentu mempertanyakan sesungguhnya sustainability itu untuk apa dan bagi siapa? Kami menilai bahwa sustainibilty justru lagi-lagi untuk melanggengkan bisnis mereka dan kekuasaan yang terus mengambil peran melindungi atau korporasi, bahkan pada perusahaan-perusahaan yang terbukti telah melakukan pelanggaran hukum dengan atas nama keberlanjutan investasi. Kebijakan landswap menjadi satu bukti, bahwa negara justru menjadi bagian dari lingkar impunitas terhadap kejahatan korporasi, dan negara sedang merencanakan sebuah konflik baru dan mendesign bencana ekologis di masa yang akan datang. Paska korsup KPK Ri di sektor kehutanan dan perkebunan, belum ada perbaikan dan penindakan untuk semua bentuk pelanggaran praktik pengelolaan industri kebun kayu di Kalimantan Barat. Karena itu pemerintah harus segera melakukan review atas semua izin kebun kayu di Kalbar.

KPK harus segera melanjutkan tanggungjawabnya untuk segera melakukan penindakan atas pelanggaran praktik pengembangan industri kebun kayu dari penyalahgunaan wewenang pejabat negara, serta kerugian negara yang ditimbulkan sebagai bagian dari dukungan bagi perbaikan tata kelola sumber daya alam di Indonesia, tegas Anton P Widjaya, Direktur WALHI Kalimantan Barat. Pada akhirnya, jika negara tidak mau dikatakan sedang melakukan kejahatan lingkungan atau pelanggaran HAM itu sendiri, maka WALHI mendesak kepada negara untuk menjalankan kewajiban Konstitusinya dengan memutus rantai impunitas terhadap bisnis yang melakukan kejahatan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia melalui penegakan hukum dan mereview perizinan di sektor kebun kayu. Demi kepentingan penyelamatan hutan alam dan terlindunginya wilayah kelola rakyat, moratorium berbasis capaian untuk minimal 25 tahun menjadi urgensi yang harus segera dilakukan oleh pemerintah, dengan tujuan membenahi carut marutnya tata kelola hutan dan sumber daya alam di Indonesia, Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menegaskan dalam penutup siaran pers ini. (selesai)  Jakarta, 12 Februari 2018  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Narahubung: Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi Eksekutif Nasional WALHI di 081808131090 Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

  1. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
  2. Rudiansyah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi di 081366699091
  3. Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif WALHI Riau di 081371302269
  4. Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumsel di 0813100068838
  5. Anton P Widjaya, Direktur Eksekutif WALHI Kalbar di 0811574476
  6. Fathur Roziqin Fen, Direktur Eksekutif WALHI Kaltim di 08115448002