Sesat Sejak Diniatkan, WALHI Desak Presiden Jokowi Tarik Diri dari Pembahasan RUU Perkelapasawitan

 width= Jakarta, 26.03.2018-Rancangan Undang-Undang (RUU) Perkelapasawitan terus didorong oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi agenda penting dalam Program Legislasi Nasional tahun 2018. Meskipun organisasi masyarakat sipil, termasuk pemerintah menyatakan bahwa RUU Perkelapasawitan tidak ada urgensinya. “Tim Kajian Hukum WALHI telah melakukan analisis komprehensif terhadap RUU ini, baik secara filosofis, maupun pasal-pasal turunannya yang kami nilai berbahaya. RUU ini berpotensi tumpang tindih dengan peraturan yang sudah ada, antara lain Undang Undang Perkebunan dan Undang Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. RUU Perkelapasawitan ini tidak mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian perkara kedua undang-undang tersebut sehingga berpotensi melanggar hak asasi petani yang dilindungi oleh Konstitusi Republik Indonesia, UUD 1945. Dalam kajian WALHI, RUU ini hanya menjadi alat untuk melegalkan kejahatan yang selama berpuluh-puluh tahun telah dijalankan untuk melanggengkan bisnis mereka”, tegas Even Sembiring, Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan. WALHI menilai DPR RI mengabaikan fakta bahwa selama ini perkebunan sawit telah melahirkan berbagai krisis, baik krisis lingkungan hidup maupun krisis kemanusiaan di satu sisi. Di sisi yang lain, klaim sebagai komoditas yang menyumbang devisa negara dan mensejahterakan rakyat, hanya isapan jempol. Faktanya, kerugian negara justru begitu besar dari buruknya praktik bisnis yang dijalankan oleh perkebunan sawit, dan ketika terjadi krisis, mereka mengalihkan krisis tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dan kembali dibebankan kepada rakyat. Ditengah fakta ini, negara justru terus menerus mensubsidi perusahaan-perusahaan besar. Pengabaian lain terhadap fakta perkebunan sawit adalah ketimpangan penguasaan lahan oleh perkebunan sawit skala besar adalah persoalan mendasar yang belum terselesaikan. RUU Perkelapasawitan hanya akan melanggengkan ketimpangan penguasaan lahan oleh korporasi.  Berdasarkan hasil kajian Kajian Sistem Tata Kelola Komoditas Kelapa Sawit oleh Direktorat Penelitian Pengembangan Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Struktur penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit terbesar perusahaan swasta dengan luas penguasaan mencapai 10,7 juta hektar. Empat Propinsi dengan Jumlah perkebunan kelapa sawit terbesar antara lain; Propinsi Riau mencapai 2,4 juta hektar. Kalimantan Tengah seluas 2,4 juta hektar, Kalimantan Timur seluas 2,1 juta hektar dan Kalimantan Barat seluas 1,6 juta hektar. Dari total luasan lahan perkebunan yang dikuasai oleh perusahaan swasta 43,9% dikuasai oleh 53 grup perusahaan. Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menyatakan “di tengah tahun politik, dimana tekanan partai politik begitu besar jelang pilkada serentak dan pemilihan Presiden 2019, kami khawatir RUU ini akan dijadikan sebagai transaksi politik untuk mengebut pembahasan dan pengesahan RUU ini. Terlebih kita tahu, bahwa RUU ini digagas oleh partai Golkar dan PDIP. RUU ini juga jelas bertentangan dengan semangat Inpres moratorium dan kontradiktif dengan rencana Presiden mengeluarkan Inpres moratorium sawit yang telah digagas sejak tahun 2016 lalu.” Untuk itu, karena sejak diniatkan, RUU ini sudah sesat, maka WALHI mendesak Presiden menarik diri dari pembahasan RUU Perkelapasawitan, sehingga RUU ini menjadi hilang relevansinya untuk dibahas dan disahkan. Selain itu WALHI mendesak agar Presiden dan DPR RI fokus pada perbaikan kelemahan-kelemahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang juga mempunyai permasalahan terkait keberpihakan pada rakyat dan lingkungan masih sangat relevan mengatur sektor perkebunan menyeluruh, termasuk hal perkelapasawitan. Mempercepat reforma agraria untuk mewujudkan keadilan bagi rakyat dan menyelesaikan ketimpangan penguasaan lahan, ujar Khalisah menutup siaran pers ini. (selesai)  Narahubung: Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi WALHI di 081808131090 Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi:

  1. Even Sembiring, Manager Kajian dan Pembelaan Hukum Lingkungan di 085271897255
  2. Fatilda Hasibuan, Manager Kampanye Hutan dan Perkebunan di 081260767526

Catatan untuk editor:

  1. Hampir 80% produksi sawit nasional di ekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar Internasional, terutama untuk pasar India, Uni Eropa dan China. 31 grup perusahaan menguasai sekitar 81% ekspor sawit. Jumlah ekspor sawit dari 10 group perusahaan saja mencapai 13,4 juta ton pada periode Juli 2015 hingga Maret 2016. Grup perusahaan ini selain mengusai lahan juga menguasai pasar ekspor sawit.
  2. Kepentingan korporasi dalam RUU ini, yang melegalkan kejahatan yang dilakukan investasi, antara lain;

-      Keberpihakan terhadap investasi dan abai terhadap hak rakyat dan kondisi lingkungan. -        Berpotensi menambah beban keuangan negara dan membiarkan pelanggaran HAM sektor perkebunan terus  berlanjut. Membuka peluang pemanfaatan bahkan pembukaan ekosistem gambut untuk perkebunan kelapa sawit. Ketentuan ini tentunya bertentangan dengan semangat perlindungan ekosistem gambut dan upaya Pemerintah mencegah kebakaran hutan dan lahan. -    Posisi Inpres Moratorium tidak akan berdaya melawan ketentuan RUU ini apabila disahkan; Adanya ketentuan yang menegasikan skema pertanggungjawaban pidana dengan pembatas sistem pertanggungjawaban adminsitrasi belaka. - Seharusnya pemenuhan pelanggaran administrasi bisa dijadikan pemenuhan unsur melawan hukum pada beberapa ketentuan pidana. -     Skema pemutihan tindak pidana yang berada di kawasan hutan. Walaupun ketentuan ini mengatur khusus bagi Pekebun, namun ada ancaman ketentuan ini disalahgunakan dengan pemalsuan dokumen peralihan lokasi kebun perorangan skala besar dan korporasi menjadi milik Pekebun untuk proses percepatan legalisasi kebun. - Pemberian fasilitas/ intensif khusus kepada penanam modal/ investasi, yaitu pengurangan pajak penghasilan badan; pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang; pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi. -  Pembebasan atau penangguhan pajak pertambahan nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; keringanan pajak bumi dan bangunan; dan/atau bantuan pemasaran produk melalui lembaga atau instansi.  Hal ini bertentangan dengan upaya Pemerintah yang berusaha meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Selain itu, dalam prinsip keadilan, seharusnya yang mendapatkan kemudahan dan subsidi adalah penduduk miskin bukan pengusaha skala besar yang sudah sepatutnya mempunyai kemampuan untuk memenuhi kewajibannya secara penuh. - Membuka peluang landbanking, dimana ditentukan penguasaan lahan seluas paling banyak 100.000 hektar untuk satu Badan Usaha, bukan tiap holding company. Ketentuan ini membuka celah bagi holding company membuat “perusahaan boneka” yang seolah tidak terafiliasi dengannya. -  Penggiringan sistem budidaya masyarakat hanya pada komoditi kelapa sawit. Hal ini akan mendorongan percepatan konversi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit.