slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor gampang menangslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Siaran Pers: Penurunan Pasukan TNI/Polri dan Wacana Mengelompokkan KKB sebagai Kelompok Teroris | WALHI

Siaran Pers: Penurunan Pasukan TNI/Polri dan Wacana Mengelompokkan KKB sebagai Kelompok Teroris

Siaran Pers
Merespons Situasi Papua:
Penurunan Pasukan TNI/Polri dan Wacana Mengelompokkan KKB sebagai Kelompok Teroris

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] dan Imparsial, serta sejumlah organisasi masyarakat sipil di Papua menyayangkan tindakan pemerintah di sektor pertahanan dan keamanan dalam merespons situasi yang terjadi di Papua. Dalam beberapa bulan terakhir, situasi di Papua, terutama di daerah konflik seperti Intan Jaya dan Nduga kian mencekam. Pasalnya, konflik bersenjata antara TNI/Polri dengan Tentara Pembebasan Nasional (TPN)-Organisasi Papua Merdeka (OPM) kerap kali memunculkan korban dari warga sipil. Kehadiran negara dari waktu ke waktu di Papua hanya menambah luka bagi Orang Asli Papua dengan langkah yang kontradiktif dalam mengambil keputusan. Hal ini terlihat dari penurunan pasukan TNI/Polri serta wacana redefinisi KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) dan TPN-OPM sebagai organisasi teroris.

Kedua langkah tersebut menunjukkan masih kuatnya cara pandang sekurititasasi terhadap Papua sehingga Pemerintah tidak hanya gagal dalam memahami akar konflik Papua yang sebenarnya, tapi juga membuka jalan bagi penggunaan pendekatan keamanan (baca: militeristik) dalam penyelesaiannya. Hal ini dapat dilihat dari langkah pemerintah dua tahun silam (2019) dalam merespons ekspresi warga Papua atas peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya. Pasca peristiwa rasisme, Pemerintah Indonesia merespons dengan langkah pengamanan. Mula-mula melakukan pelambatan lantas memblokade akses internet, tapi, seiring pecah kekerasan, pemerintah Indonesia mengirim penambahan personel keamanan.

Langkah tersebut senyatanya tidak membuahkan hasil meredam situasi konflik, bahkan rangkaian peristiwa kekerasan di Papua tak kunjung berhenti. Pada 2020 lalu, KontraS menemukan sedikitnya ada 49 peristiwa kekerasan di Papua seperti penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, intimidasi serta tindakan tidak manusiawi yang didominasi oleh Polri dan TNI. Pada 2021, kematian warga sipil atas konflik bersenjata kembali terjadi. Langkah kontradiktif dalam merespons situasi Papua tersebut masih dilakukan. Alih-alih menarik pasukan TNI/Polri dari Papua, pemerintah justru menurunkan kembali—atau dengan dalih yang digunakan pemerintah sebagai “pertukaran”—pasukan TNI/Polri di tengah konflik yang terjadi di Papua. Sedangkan berbagai fakta kekerasan akibat operasi keamanan menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan militeristik selama ini terhadap Papua hanya melahirkan bencana kemanusiaan.

Dengan ketidakjelasan operasi yang hadir di Papua, penurunan pasukan TNI/Polri menjadi isu yang tidak bisa dijawab dengan dalih “pertukaran” pasukan. Pasalnya, penurunan pasukan TNI/Polri tidak diketahui angka pasti, jumlah, serta penempatan wilayahnya. Terlebih lagi, penurunan pasukan yang dilakukan demi meredam konflik tidak menjawab permasalahan kemanusiaan yang selama ini terjadi di Papua.

Kemudian, kewenangan dan tanggung jawab dalam hal pengerahan kekuatan TNI dalam kerangka Operasi Militer Selain Perang (OMSP) ada pada Presiden dengan pertimbangan DPR (keputusan politik negara) sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2008 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang menegaskan bahwa pengerahan kekuatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) harus berdasarkan keputusan politik pemerintah. Dengan dasar ketentuan tersebut, maka pengerahan kekuatan TNI di Papua dan pelibatannya di dalam berbagai operasi (OMSP) jika tidak ada dasar kebijakan politik negara yang melandasinya dan apalagi dilakukan secara berlebihan, jelas melanggar ketentuan di UU TNI.

Adapun regulasi lainnya yakni dalam Pasal 4 ayat (1) UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Papua menyatakan bahwa urusan pertahanan keamanan sebagai kewenangan yang dikecualikan dalam kewenangan daerah Papua. Ketentuan tersebut semakin memberi legitimasi pengaturan pertahanan keamanan (salah satunya pengerahan pasukan) mutlak menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini terkesan mengabaikan Konvensi Jenewa 1949 yang melahirkan pengungsian dan pelanggaran hak hidup serta hak konstitusional warga negara di Nduga, Intan Jaya, Puncak Papua dan Mimika dari tahun 2018 hingga 2021.

Situasi di Papua akan kian semakin memburuk dengan wacana terkait redefinisi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) - Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ingin dimasukkan ke dalam klasifikasi organisasi teroris.[1] Wacana mengelompokkan KKB dan TPN-OPM dalam klasifikasi organisasi teroris adalah langkah yang terburu-buru serta berpotensi abuse of power. Pasalnya, ada problem akuntabilitas dalam penurunan pasukan TNI/Polri. Kami melihat bahwa wacana tersebut hanya menjadi celah bagi negara untuk melegitimasi langkah TNI dalam keamanan domestik melalui UU Terorisme yang berakibat pada makin buruknya situasi di Papua.

Hal ini kami simpulkan dari berbagai catatan kami yakni bahwa TNI mencoba kembali masuk ke ranah sipil, seperti tidak berjalannya restrukturisasi koter (komando teritorial) yang justru semakin berkembang sejalan dengan pemekaran provinsi dan kabupaten yang berpotensi dimanfaatkan sebagai instrumen politik, dan peradilan militer yang sejauh ini belum dapat menampilkan dirinya sebagai sebuah mekanisme peradilan yang paling efektif dan obyektif dalam mengadili kasus-kasus yang melibatkan anggota TNI.

Selain itu, dampak pelabelan teroris terhadap TPN OPM cepat atau lambat juga akan membawa dampak psiko-sosial di masyarakat. Orang yang berasal dari Papua yang menetap di daerah lain di Indonesia juga berpotensi dilabeli sebagai teroris oleh masyarakat setempat. Belajar dari rangkaian peristiwa sebelumnya, kultur rasisme belum hilang sepenuhnya. Dengan label tersebut, kejadian rasisme seperti di asrama Papua di Yogyakarta dan Surabaya akan dengan mudah terjadi kepada asrama mahasiswa Papua lainnya.

Penggunaan kekerasan hanya akan memicu eskalasi kekerasan, dan dapat mengakibatkan pelanggaran serius hak asasi manusia, dan semakin kentalnya ketidakpercayaan warga Papua atas otoritas Indonesia. Upaya damai, meskipun rumit dan memakan waktu, harus terus dilakukan dengan memberi kesempatan kepada pihak netral yang percaya kelompok bersenjata untuk menjajaki perundingan dan mengkomunikasikan tuntutan, apapun itu. Pemerintah harus membuka akses media independen untuk menghindari kesimpangsiuran berita, stigma kriminal dan narasi atau informasi yang tidak seimbang. Pemerintah juga harus membuka akses bagi pemantau dan bantuan kemanusiaan untuk masyarakat sipil yang terdampak akibat krisis ini. Situasi ini juga harus dilihat sebagai ketidakpuasan masyarakat Papua terhadap praktek kebijakan Pemerintah di Papua. Oleh karenanya, dalam krisis ini Pemerintah Indonesia harus mampu menjawab akar persoalan sesungguhnya di Papua secara menyeluruh, termasuk berbagai ketidakdilan struktural dan impunitas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak sejumlah pihak untuk:

Pertama, melakukan pendekatan yang lebih humanis, bukan dengan pendekatan keamanan maupun dengan cara-cara militeristik dan kental akan kekerasan. Hal ini bisa dimulai dengan menarik pasukan dari beberapa daerah di Papua. Pendekatan penyelesaian konflik harus dilakukan secara komprehensif dan menyentuh akar persoalan. Pemerintah harus segera mencari titik temu dan membangun dialog dengan perwakilan representatif dan kredibel yang mewakili dan atau diakui oleh rakyat Papua. Pemerintah juga harus memberikan kesempatan kepada warga Papua untuk dapat menyuarakan Hak untuk Menentukan Nasib Sendiri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ICCPR sebagai ekspresi warga negara karena hal itu sebagai respons atas permasalahan ketidakadilan;

Kedua, membatalkan wacana redefinisi KKB di Papua atau TPN-OPM sebagai organisasi teroris. Hal tersebut merupakan langkah yang emosional dan tidak memikirkan dampak-dampak yang terjadi kedepan. Pendekatan dengan metode stigmatisasi justru semakin menambah rumit persoalan dan tak akan menyelesaikan persoalan ketidakadilan;

Ketiga, Pemerintah Pusat memperkuat komunikasi dengan seluruh elemen Pemerintah Daerah seperti Gubernur, Bupati, DPRD, Kapolda, Kapolres, tokoh masyarakat adat, pemimpin agama, tokoh pemuda untuk duduk bersama mencari jalan keluar dan mencari format ideal jalan penyelesaian apa yang tepat dan menghentikan kekerasan yang telah terjadi berlarut-larut.

Jakarta, 7 April 2021

KontraS - Imparsial - Walhi – Walhi Papua - LBH Papua - TIKI Papua - SKPKC Fransiskan Papua - Pusaka Bentala Rakyat - KPKC SINODE GKI

Narahubung:

KontraS – 081391969119
Imparsial – 081259668926
LBH Papua – 082199507613
SKPKC Papua - 082199668664

 

------

[1] Hal itu disampaikan oleh Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi III DPR RI, pada 23 Maret 2021