slot terbaikcapcut88pastigacor88slot thailandslot pulsaslot pulsaslot gacor hari inislot pulsaslot danaslot gacor hari inislot gacor terbaikslot gacor maxwinslot gacor 2024slot gacor resmislot pulsaslot gacor 2024slot gacor hari inislot gacor terbaikslot pulsaslot gacor terbaikslot gacor hari inislot danaslot gacor terpercaya
Simposium penyintas: 1 tahun bencana di Pasigala (Palu, Sigi & Donggala) 2019 | WALHI

Simposium penyintas: 1 tahun bencana di Pasigala (Palu, Sigi & Donggala) 2019

Kegiatan simposium penyintas ini dilaksanakan di Cafe Tanaris Jln. Juanda No. 26 Palu, Sulawesi Tengah dari tanggal 25-26 September 2019. Kegiatan Simposium ini digagas oleh WALHI Sulteng, Solidaritas Perempuan Palu, Sheep Indonesia, Sulteng Bergerak, Yappika-Action Aid, KPKPST, YLBH-APIK Sulteng, Libu Perempuan dan organisasi mahasiswa Perempuan Normarae. Hari pertama, pagi hingga sore dilaksanakan kelas (workshop) bagi penyintas yang berasal dari kota Palu, Sigi dan Donggala. Dari kota Palu penyintas datang dari huntara (hunian sementara) Petobo dan Balaroa, dari Kabupaten Sigi sebagian besar penyintas datang dari huntara Desa Rogo, sedangkan dari Kabupaten Donggala penyintas datang dari huntara Desa Rano, Jono Oge, Bangga dan Desa Toviora.     

Kelas tersebut menyoal pelayanan hak dasar yang difasilitasi Sofyan Eyank sebagai pegiat kebencanaan di Indonesia, kemudian pemenuhan sumber ekonomi yang difasilitasi oleh Farid dari Eksekutif Nasional WALHI dan proteksi bagi perempuan dan anak yang difasilitasi oleh Dewi Rana Amir dari Libu perempuan. Dari ratusan peserta yang hadir pelibatan perempuan menjadi prioritas utama WALHI Sulawesi Tengah. Hal ini bisa di lihat dari kelas-kelas workshop yang sebagian besar diikuti oleh ibu-ibu. Jalannya diskusi dalam kelas-kelas tersebut berlangsung informal dan komunikatif. Hal ini ditunjng oleh fasilitator yang punya pengalaman dalam memfasilitasi diskusi-diskusi bersama warga. Sebagian peserta banyak membagi pengalamannya sebagai penyintas yang hidup di huntara selama setahun. Masalah-masalah itu terkait modal usaha, jaminan hidup, huntara, pengangguran dan kepastian zonasi wilayah bencana.

Diskusi ini ditujukan untuk menyerap problem-problem mendasar dari penyintas pasca bencana 28 September 2018. Selain itu, hasil diskusi ini juga akan didorong untuk melahirkan kebijakan yang dapat menjamin hak-hak para  penyintas baik itu ekonomi, sosial dan budaya.

Malam hari, kegiatan simposium dilanjutkan dengan diskusi dan refleksi 1 tahun penanganan bencana oleh organisasi masyarakat sipil di Sulawesi Tengah. Pemantik pertama adalah Abdul Haris Direktur Walhi Sulteng. Kedua, Neni Muhidin sebagai peyintas sekaligus pegiat kebencanaan dan literasi di Sulawesi Tengah. Ketiga, Adriansa Manu Koordinator Sulteng Bergerak. Keempat, Juli Savana dari WALHI Sulawesi Tengah yang memaparkan hasil temuan risetnya terkait bagaimana peran perempuan  dalam situasi tanggap darurat, pemulihan hingga tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Peserta diskusi yang hadir tidak hanya para penyintas saja, namun juga dari perwakilan agensi yang bekerja melakukan penanganan bencana dari berbagai isu. Dari jumlah peserta yang hadir, nampak tidak terlalu banyak karena sebagian besar peserta mengambil waktu istirahat karena mengikuti workshop dari pagi hingga sore. Meskipun demikian, diskusi berjalan komunikatif antara peserta dan pemantik diskusi.

Diskusi ini juga banyak memaparkan temuan dan refleksi atas penanganan bencana di Sulawesi Tengah. Seperti yang dikatakan oleh Abdul Haris yang merefleksikan kejadian bencana 28 September 2019, dia megatakan pemerintah atau kita masyarakat sipil tidak memiliki pengetahuan kebencanaan, ini bisa dilihat dari lemahnya pemerintah merespon tanggap darurat – situasi pada saat itu chaos, kita tidak tahu siapa yang memiliki otoritas. Sehingga kedepan, kita mesti mendokumentasikan apa yang telah kita lakukan dan tidak mengulangi kesalahan sebelumnya. Selain itu, ada juga masalah data yang valid sampai dengan saat ini. Setiap organisasi pemerintah memiliki data sendiri-sendiri, tidak terintegrasi satu sama lain. Soal lain adalah pendanaan atau alokasi anggaran kaitannya dengan pemulihan pasca bencana. Ini menjadi polemik di masyarakat. Lebih jauh itu, sebagai refleksi Abdul Haris menganggap tidak ada harapan kepada pemerintah saat menangani proses penanganan bencana khususnya di Pasigala. Ini menjadi pemnatik bagi peserta diskusi. 

Sebagian besar peserta yang hadir tidak banyak memberi pertanyaan, tapi memberi tanggapan dan kritik terhadap apa yang dilakukan pemerintah maupun agensi yang telah bekerja selama satu tahun di  Pasigala. Salah satu argumentasi peserta diskusi menanyakan apakah setiap terjadi bencana adalah peluang bagi eksploitasi sumber daya alam – apalagi terkait penetapan zona rawan bencana. Pertanyaan ini di jawab oleh Adriansa yang mengatakan telah terjadi privatisasi penanggulangan bencana. Negara melepas tanggung jawabnya dari penyntas. Dia juga menambahkan bahwa anggaran kebencanaan di Sulawesi Tengah hanya 1 persen dari total APBD. Mestinya anggaran kebencanaan 10 persen, itu sangat rasional karena Sulteng termasuk dalam wilayah rawan bencana.   

Hari kedua, masih di tempat yang sama, diskusi formal dilaksanakan dengan megundang nara sumber dari Komnas HAM perwakilan Sulteng yang diwakili oleh Fajar Ahmad, Komnas Perempuan diwakili oleh Yunianti Chuzaivah, BNPB RI diwakili oleh Ibnu Asar Kasubdit Rehabilitasi dan Rekonstruksi, dan perwakilan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah yang diwakili oleh Ihsan Basir Dinas Perlindungan Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Diskusi ini sebagian besar diikuti oleh penyintas dari Pasigala dan dari berbagai organisasi masyarakat sipil penyelenggara kegiatan simposium. Diskusi disesi pertama berjalan lancer, setiap nara sumber memotret penanganan bencana dari perspektif dan kewenangan masing-masing. Namun, saat sesi tanya jawab dan diskusi, sebagian besar peserta menanyakan realisasi kebijakan yang telah dijanjikan oleh pemerintah seperti huntara dan jaminan hidup yang belum jelas. Sasaran utama pertanyaan penyintas memang ditujukan untuk pemerintah daerah dan BNPB. Diskusi sempat berlangsung tegang karena perdebatan antara penyintas dan pihak BNPB, namun ketegangan ini dapat diselesaikan dengan tindak lanjut dari tuntutan yang dibacakan oleh penyintas kepada BNPB RI yang diminta segera menyelesaikan problem-problem tersebut. selain itu, pihak Komnas HAM, dan Komnas Perempuan juga akan menindaklanjuti tuntutan penyintas berdasarkan kewenangan yang mereka miliki.     

Diakhir diskusi ini, penyelenggara simposium juga menyerahkan dokumen poin-poin rekomendasi hasil workshop/kelas yang dilaksanakan pada hari pertama kepada seluruh nara sumber.