Pernyataan Sikap; Forum Bersama (Forbes) Petani Latemmamala “Menjerat Petani kecil-tradisional menggunakan UU No. 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (selanjutnya disebut UU P3H), bak memukul lalat menggunakan Bulldozer”, tegas Ahmad Sofian dalam keterangannya sebagai ahli, pada 7 Maret 2018 di P.N. Watansoppeng. Sebab, dalam konsideran UU P3H menimbang bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan hidup masyarakat. Sehingga dalam rangka pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin efektifitas penegakan hukum. Sementara itu, peraturan perundang – undangan yang ada sampai saat ini (UU No.41/1999 tentang Kehutanan) tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan secara terorganisasi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka dibentuklah UU P3H. Selanjutnya, terdapat Ketentuan Umum/General Principal atau asas – asas umum yang memayungi seluruh ketentuan pasal dalam UU P3H sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 UU P3H. Seperti Pasal 1 angka 21, jelas dinyatakan bahwa “Setiap orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisir”. Sedangkan dalam Pasal 1 angka 6, menyatakan bahwa “Terorganisir adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan bertindak secara bersama – sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri, bukan untuk keperluan komersil”. Seperti diketahui, fakta yang terungkap pada persidangan. Jamadi, Sukardi dan Sahidin (para Terdakwa) adalah petani kecil yang berladang secara tradisional menanam kopi, cengkeh, jahe, tomat dan tanaman palawija lainnya. Menebang pohon kayu hanya semata – mata untuk keperluan sandang, pangan dan papan, bukan untuk keperluan komersil.
Ladang yang dikelola oleh para terdakwa seluas ± 0,5 Ha menjadi satu – satunya sumber penghidupan mereka bersama istri dan anak – anaknya. Mereka (para Terdakwa) lahir, tumbuh besar dan hidup secara turun temurun bersama keluarganya di dalam Kawasan hutan Laposo Niniconang. Dengan demikian, kami menilai bahwa pihak kehutanan dalam hal ini Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan dan Kehutanan Wilayah Sulawesi telah MENYALAHGUNAKAN PERUNTUKAN UU P3H. Sehingga hal ini berdampak pada Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang KELIRU. Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kami dari FORBES Petani Latemmamala menuntut : 1). Bebaskan Jamadi, Sukardi dan Sahidin dari jeratan UU P3H!!!; 2). STOP Penyalahgunaan UU P3H; 3). Tegakkan Putusan MK Nomor 95/PUU-XII/2014; 4). STOP Penjarakan petani yang hidup dalam kawasan hutan; 5). Jalankan Reforma Agraria Sejati; Organ yang tergabung : (LBH Makassar, L-Haerindo, WALHI Sul-sel, FMN Makassar, KPA Sul-sel, HIMAHI FISIP UNHAS, BEM UNM, SP Anging Mammiri, FPSS, FOSIS UMI, PEMBARU Sul-sel, FORMAT, FORMASI MASPUL, DEMA UINAM, BEM KEMA Pertanian UNHAS, KAMRI, GEMAR, KALONG, IMPS Marioriawa, IMPS Marioriwawo, IMPS Lalabata, IMPS UIM, IMPS UMI, KAPAS) Soppeng, 13 Maret 2018