Surat Somasi WALHI Melalui Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim Kepada DPMPTSP Provinsi Jawa Barat atas Izin Lingkungan PLTU 1 x 1000 MW Cirebon

Bandung.Sehubungan telah diterbitkannya surat Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat, yaitu :

  1. Keputusan Kepala DPMPTSP Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 660/07/19.05.0 /DPMPTSP/ 2017 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan dan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kapasitas 1 x 1000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana tertanggal 13 Juli 2017 (Keputusan kelayakan lingkungan hidup PT.CEP);
  2. Keputusan Kepala DPMPTSP Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 660/08/19.1.05.0/DPMPTSP/2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kapasitas 1 x 1000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana tertanggal 17 Juli 2017 (izin lingkungan PT.CEP)

Maka Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengajukan keberatan  terbitnya surat keputusan Kepala DPMPTSP  Jawa Barat dan menolak secara tegas pembangunan proyek pembangkit listrik tenaga uap batu bara tersebut. Melalui Kuasa Hukum WALHI yang tergabung dalam Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim di Jl.Sidomulyo No.26 Bandung, dimana dalam hal ini diwakili oleh Syahri,SH telah melayangkan Surat Somasi kepada Kepala DPMPTSP Provinsi Jawa Barat  Dr.Ir.H.Dadang Mohamad, MSCE. Selain itu tembusan Surat Somasi ini disampaikan juga kepada Gubernur Jawa Barat dan Dinas Lingkungan Hidup Jawa Barat. Surat Somasi tertanggal 13 November 2017 dengan nomor 019/SKB/LBH/Bdg/XI/2017 tersebut telah dikirimkan. Dalam surat yang ditandatangani oleh Syahri,SH dan Lasma Natalia HP, SH serta Asriyadi Tanama,SH tersebut disampaikan  beberapa dasar alasan keberatan dan penolakan, yaitu :

  1. Bahwa keputusan izin lingkungan PT CEP sebagaimana dimaksud di atas mengandung cacat hukum, baik substantif maupun prosedural, sehingga berdasarkan Pasal 37 ayat (1) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, izin lingkungan dapat dibatalkan;
  2. Bahwa keputusan izin lingkungan PT CEP sebagaimana dimaksud di atas diterbitkan sebagai perubahan atas Izin Lingkungan PT CEP yang lama yakni Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Provinsi Jawa Barat Nomor 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016, yang dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2016. Izin Lingkungan yang lama ini telah diputuskan cacat yuridis dan diperintahkan dicabut oleh Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta, sehingga seharusnya prosedur perubahan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan yang mengatur perubahan Izin Lingkungan atas KTUN yang masih sah dan berlaku tidak dapat digunakan dalam penerbitan Izin Lingkungan yang baru ini;
  3. Bahwa Pasal 114a Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tidak berlaku untuk Izin Lingkungan, karena terminologi “Izin Pemanfaatan Ruang” dibatasi secara limitatif dalam Pasal 163 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. Sekalipun dalam PP No. 15 Tahun 2010 terdapat terminologi “Izin lain berdasarkan ketentuan perundang-undangan,” jika dibaca secara struktural bersama ayat (2), izin dimaksud hanya mencakup izin yang diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Sifat kewenangan yang diberikan ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan dalam penerbitan Izin Lingkungan, yang diberikan secara atributif kepada “Menteri, Gubernur dan/atau Bupati/Walikota” berdasarkan skala dan besaran kegiatan dan/atau usaha;
  4. Bahwa Izin Lingkungan sebagaimana dimaksud tidak dilakukan secara transparan dan partisipatif. Proses penerbitan Izin Lingkungan tidak melibatkan partisipasi warga terdampak, terutama para penggugat dalam perkara nomor 124/G/LH/2016/PTUN-BDG, maupun organisasi lingkungan hidup sebagaimana dimandatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan. Hal ini akan mengulangi kesalahan hukum yang sama yang telah diangkat para penggugat dalam gugatan tata usaha negara terhadap Izin Lingkungan PT CEP yang lama ;
  5. Bahwa dengan tidak dilakukannya mekanisme partisipasi publik sesuai dengan peraturan yang berlaku, masyarakat terdampak maupun organisasi lingkungan hidup juga kehilangan kesempatan untuk memberikan masukan susbtantif terhadap dokumen lingkungan hidup. Hal ini juga merupakan salah satu permasalahan dalam penerbitan Izin Lingkungan PT CEP yang lama, yang diulangi lagi dalam penerbitan in casu dan dengan demikian dapat diuji kembali;
  6. Bahwa tindakan DPMPTSP Prov. Jawa Barat yang mengeluarkan Izin Lingkungan baru dengan menyalahi prosedur yang berlaku, tanpa melibatkan partisipasi warga masyarakat terdampak, dan tanpa itikad baik mengakomodir perbaikan substantif sebagaimana telah disampaikan dalam gugatan TUN atas Izin Lingkungan PT CEP yang lama bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah diuraikan di atas dan dengan demikian cacat yuridis dan dapat dibatalkan oleh pemberi izin.

Pada bagian akhir Surat Somasi, Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim meminta Kepala DPMPTSP Jawa Barat untuk segera mencabut Keputusan Kepala DPMPTSP Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor : 660/08/19.1.05.0/DPMPTSP/2017 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Pembangunan dan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kapasitas 1 x 1000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana tertanggal 17 Juli 2017 (Izin Lingkungan PT.CEP). “Kami melihat saat ini pemerintah berupaya melakukan akrobat hukum untuk melanjutkan proyek pltu tersebut. Keterlanjuran pembangunan malah dibuat pembenarannya dengan perbagai macam cara penerbitan peraturan dan ijin yang melanggar tata cara pemerintahan yang baik. Ini berbahaya bagi upaya perlindungan hukum karena ijin lingkungan yang sejatinya alat untuk melindungi lingkungan hanya menjadi syarat administratif saja,” ucap Dwi Sawung manajer energi dan perkotaan WALHI. Lebih lanjut Tim Adokasi Hak Atas Keadilan Iklim mendesak agar Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Jawa Barat untuk  memenuhi serta melaksanakan SOMASI tersebut dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak surat ini diterima. “ Apabila tidak memenuhinya, maka kami akan menempuh upaya hukum lebih lanjut, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku , “ tegas Syahri menambahkan. Demikian siaran pers ini kami sampaikan untuk dipublikasikan segera. Terima Kasih. Narahubung Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim

  1. Syahri (LBH Bandung )                       : 0822 1446 2369
  2. Dadan Ramdan (WALHI Jawa Barat ) : 0821 1675 968
  3. Dwi sawung (WALHI Nasional ) :  +63 999 4120029

*PLTU 1 x 1000 MW Cirebon 2  Proyek PLTU batu bara Cirebon 2 dengan kapasitas 1.000 megawatt merupakan investasi swasta dengan komposisi Marubeni (35%), Samtan (20%), Korea Midland Power (10%), IMECO (17,75%), dan Indika Energy (6,25%) dan berada dalam konsorsium PT. Cirebon Energi Prasarana (CEPR). Perjanjian penjualan energi listrik (PPA) antara PT.CEPR dengan PLN selama 25 tahun. Estimasi investasi proyek tersebut sebesar 2,2 miliar dollar AS, dimana 80% dari total investasi berasal dari pinjaman JBIC,  Bank Exim Korea Selatan, dan Bank Swasta  Jepang. Bank swasta Belanda juga memberikan kerjasama pembiayaan untuk proyek tersebut. Surat Somasi : [pdfjs-viewer url="https%3A%2F%2Fwp_walhi.local%2Fwp-content%2Fuploads%2F2017%2F11%2FSomasi-WALHI_DPMPTSP.pdf" viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true] English Version PR : [pdfjs-viewer url="https%3A%2F%2Fwp_walhi.local%2Fwp-content%2Fuploads%2F2017%2F11%2FPR_Cirebon_LegalNotice.pdf" viewer_width=100% viewer_height=1360px fullscreen=true download=true print=true]