Tahun Politik, Tentukan Masa Depan Keadilan Ekologis

Siaran Pers Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Dalam Peluncuran Tinjauan Lingkungan Hidup 2018 Jakarta-Pada hari ini (17 Januari 2018), WALHI meluncurkan tinjauan lingkungan hidup 2018. Ulasan tinjauan lingkungan hidup ini berisikan ulasan berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi sepanjang tahun 2017 dan dampak yang mengikutinya seperti bencana ekologis, sedikitnya ada 302 kasus lingkungan hidup yang terjadi di 13 provinsi di Indonesia dan 182 diadvokasi secara langsung oleh WALHI, ada 163 orang dikriminalisasi dan mengalami tindak kekerasan karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dan ruang hidupnya. Ulasan ini juga melihat aktor-aktor utama dan bagaimana “sepak terjang” masing-masing aktor yang mempengaruhi kejadian lingkungan hidup selama satu tahun. Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati menyatakan “dari berbagai persoalan lingkungan hidup yang terjadi sepanjang tahun 2017, WALHI berkesimpulan bahwa perubahan struktur agraria masih jauh dari harapan, ketimpangan penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber agraria masih begitu nyata, pembenahan tata kelola sumber daya alam belum terjadi, kasus-kasus lingkungan hidup masih belum dapat diselesaikan secara struktural dan sistematis, upaya pemulihan krisis lingkungan hidup, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat jalan di tempat, meskipun regulasinya telah dibuat, kejahatan korporasi semakin menancapkan kuku-kuku dominasinya, pembangkangan dilakukan secara sistematis oleh kuasa korporasi, demokrasi dikooptasi. Pada ujungnya bangsa ini menghadapi situasi darurat ekologis, dengan rentetan bencana ekologis yang menurunkan kualitas hidup manusia’. Kita dihadapkan pada situasi darurat ekologis.

Lalu bagaimana masa depan perjuangan keadilan ekologis di tahun politik ini? WALHI membacanya dalam konteks dan situasi yang akan berlangsung, pilkada serentak 2018 dan Pilpres 2019. Mau tidak mau kita meletakkannya dalam konteks situasi yang terjadi, karena WALHI melihat demokrasi prosedural pemilu sebagai sebuah tantangan, karena di sinilah jalan bagi kekuatan ekonomi dan politik untuk berkonsolidasi, tentu saja bukan dalam kerangka kepentingan penyelamatan lingkungan hidup dan rakyat, namun bagi kepentingan pelanggengan kuasa politik dan ekonominya. Di sisi yang lain, WALHI melihat bahwa tahun politik 2018 ini justru dapat digunakan oleh kekuatan warga negara untuk memutus rantai relasi kuasa modal dan politik tersebut, dan menyuarakan agenda-agenda lingkungan hidup dan persoalan-persaoalan yang dialami oleh rakyat, mengisi demokrasi prosedural menjadi demokrasi yang lebih substansial. 17 pemilihan Gubernur akan dilakukan di wilayah-wilayah yang memiliki persoalan lingkungan hidup yang kompleks, namun para kontestan baik partai politik maupun calon kepala daerah masih belum membahas agenda-agenda yang akan dilakukan, termasuk komitmen penyelamatan lingkungan hidup, persoalan agraria, dan persoalan rakyat lainnya. Hiruk pikuk pemilu bisa mengabaikan perhatian pengurus negara pada persoalan struktural lingkungan hidup dan sumber daya alam, karena sebagian besar pengurus negara, dari Presiden, Wakil Presiden dan Menteri-Menterinya adalah “petugas partai”. Demikian juga publik akan tergiring pada isu-isu yang dimunculkan oleh elit politik dan tak lebih hanya komoditas politik. Ada rencana kerja pembangunan (RKP) 2018 dimana sebagian besar berisi dukungan penuh negara terhadap investasi melalui mega proyek infrastruktur, dan industri pariwisata dan target RPJMN yang pasti akan digenjot untuk bisa dipenuhi. Dalam tinjauan lingkungan hidup 2018 ini, WALHI juga memproyeksikan 3 skenario yang akan terjadi. Skenario pertama, negara semakin berada pada titik nadir, dominasi kuasa korporasi semakin kuat, karena negara terus memfasilitasi. Skenario ke-2, negara berwajah ganda. Satu wajah membuat kebijakan yang populis, namun wajah lainnya membuat kebijakan destructive. Skenario ke-3, negara baik yang kembali menempatkan kedaulatan rakyat di atas segalanya. Tentu kita berharap skenario ke-3 yang akan terjadi. Namun dibutuhkan prasyarat-prasyarat yang begitu berat, yakni kekuatan rakyat yang memiliki kesadaran poltik untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya. (selesai)   Jakarta, 17 Januari 2018 Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)

 width=Narahubung : Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi Eksekutif Nasional WALHI di 081808131090.